Kiblat itu orientasi nilai yang memberi kita panduan ke arah mana dan dengan cara bagaimana kita harus melangkah. Rasa adil tak pernah boleh kita lupakan. Langkah dan segenap tindakan tak boleh mengabaikan arti keadilan tadi. Keadilan bagi sesama pedagang menjadi perkara penting. Keadilan bagi sesama warga suatu masyarakat menjadi cita-cita ideal.
Juga keadilan bagi seluruh rakyat di suatu negara. Keadilan bagi sesama manusia terdengar seperti teriak perjuangan lintas etnis, lintas agama, lintas bangsa. Ini perjuangan tertinggi yang bisa diimpikan manusia. Tapi persaingan di dunia bisnis tidak seperti itu. Dunia bisnis telanjur membiarkan semangat untuk menang sendiri. Bisnis dan ilmu silat memiliki kesamaan dasar: di atas gelanggang hanya ada juara satu juara, tidak ada yang lain, karena juara kedua sudah terkapar tinggal nama.
Ketika kita belum tercaplok perdagangan bebas, persaingan dunia bisnis ini sudah mengerikan. Orang sampai bilang: di dalambisnistakadasaudaratakada kawan. Bisnis ya bisnis. Biarpun saudara, utang harus ditagih. Biarpun kawan, utang harus dikejar. Kita mengejarnya siangmalam tanpa mengenal lelah. Sesudah era perdagangan bebas menguasai kita, hidup terasa lebih menakutkan. Siapa malas tergilas, siapa lemah terinjakinjak.
Mereka yang kuat menguasai pasar dan dengan begitu mereka menguasai dunia. Iklan sebuah produk di Amerika Serikat menyatakan: nomor satu di Amerika, nomor satu di dunia. Dulu, pernyataan itu terasa menghibur karena ada sejenis heroisme Amerika yang segar, humor tentang kelebihan diri yang terasa narsistis, tetapi kita terima dengan senyum penuh pengertian.
Namun sekarang, humor di balik iklan tersebut mengandung sejenis ancaman untuk mendominasi seluruh dunia dan kita menjadi yang didominasi dan diinjak-injak. Para aktor dalam dunia perdagangan bebas kelihatan jejingkrakan penuh watak adigang, adigung, adiguna dengan sesumbar: “Siapa berani melawanku? Inilah aku. Inilah aku....” Sekali lagi, yang malas tertindas, yang lemah terinjakinjak tak berdaya, yang kuat jaya dan menjadi raja seperti di dunia binatang buat yang menggunakan hukum homo homini lupus .
Di dunia seperti itu, kata belas kasihan terhapus dari kamus kehidupan semua orang. Orang telah menjadikan dirinya mesin. Ilmu dan teknologi mutakhir menjadi andalan utama. Jika ilmu dan teknologi tak mencukupi, digunakanlah akal. Bahkan hidup dipenuhi pula oleh sikap serba-akal-akalan dan tipu-menipu. Tapi tipumenipu di sini haruslah canggih dan tak kelihatan. Pihak yang ditipu pun sampai tak merasa bahwa dirinya ditipu.
*** Dalam perdagangan global tembakau, hal itu tampak sangat nyata. Gerakan antitembakau, yang menggunakan alasan membela kesehatan masyarakat, berlangsung mulus dan penuh percaya diri di kalangan aktor-aktor utamanya. Semangat membela kesehatan masyarakat itu seperti tak terbantah.
Tapi kalau kita berpikir agak lebih cermat dan kritis, sebuah negara besar yang selamanya hanya mengejar kepentingan diri sendiri untuk tetap menjadi yang terbesar, mengapa tiba-tiba berubah menjadi begitu lemah lembut dan penuh welas asih kepada negara lain? Sejak kapan negara itu menaruh perhatian pada kesehatan masyarakat negara-negara lain? Kita dikecoh tapi tak merasa terkecoh. Sabda para pemimpinnya didengar oleh para pemimpin dunia. Kehendak baik yang datang dari pemerintahnya dianggap tugas suci oleh pemerintah berbagai negara yang tunduk, taat, dan patuh kepada mereka.
Dan ada saja yang kepatuhannya kepada mereka terasa begitu berlebihan. Kepatuhan itu disertai niat tanpa ragu untuk mengorbankan rakyat sendiri. Aturan global mengenai tembakau ditelan mentahmentah oleh pemerintah negara lain yang menjadi abdi setianya. Dan aturan mematikan itu di-copy paste —seperti ditelan tanpa lebih dulu dikunyah— untuk diberlakukan bagi rakyatnya, para petani tembakau dan para industriwan yang mengolah tembakau tersebut.
Mantra gaib pun bergaung di seluruh dunia: tembakau musuh kita. Lalu kita saksikan suatu perubahan mendadak: tanpa ba tanpa bu, artinya tanpa ada suatu temuan ilmiah yang meyakinkan, merokok yang dulu “mengganggu” jantung, pertumbuhan janin dan lain-lain mendadak berubah: merokok membunuhmu. Ini akal-akalan yang menggelikan. Tapi sebagai kekuatan yang penuh akal, apa yang hanya bersifat akal-akalan pun dipercaya. Berjuta-juta manusia percaya akan apa yang tak pernah dialaminya.
Berjuta-juta manusia percaya akan apa yang tak pernah dilihatnya. Di pasar bebas hari ini, pebisnis tembakau terbesar menguasai segalanya. Juga termasuk menguasai para penguasa. Mereka disuruh membuat peraturan ini dan itu yang menguntungkan bisnis mereka. Dan para penguasa itu anehnya mau melakukannya. Ini mungkin jenis penguasa inlander yang kagum pada pebisnis yang kulitnya putih, tetapi hatinya hitam kelam. Dia mengelola pabrik di sini, tetapi tak pernah pabriknya membeli tembakau di sini. Ini pabrik besar yang tak pernah bersentuhan dengan petani yang menyediakan bahan mentah.
Pabrik yang tak ada sangkut pautnya dengan produk lokal pun dibiarkan oleh pemerintah yang kagum pada pebisnis yang putih kulitnya. Pabrik itu bahkan dilindungi. Banyak dalih bisa dikemukakan mengapa mereka tak menaruh peduli kepada para petani lokal. Mereka tak butuh tembakau petani di sini karena mereka bertanam tembakau di tempat lain.
Usaha ini sukses luar biasa. Bahkan dia pun memengaruhi perumus kebijakan untuk membuat suatu aturan yang menguntungkan dirinya. Kebijakan itu pun dibuat. Pasar dikuasai dengan menggunakan dukungan ilmu dan teknologi mutakhir. Tembakau dipojokkan dengan argumen kesehatan yang begitu gencar. Meski begitu usaha mematikan tembakau lokal itu belum juga berhasil. Argumen kesehatan dianggap tidak mempan, kandas di jalan.
Orang tak begitu mendengarkannya. Mereka beralih ke argumen ekonomi bahwa mengonsumsi tembakau—dalam hal ini kretek— merupakan pemborosan. Tapi ini pun tak didengar orang. Kemudian digunakanlah argumen moral bahwa mengonsumsi kretek itu haram. Begitu langkah mereka. Tapi sejauh ini tak terasa apa pengaruhnya. Sebenarnya dunia sudah dikuasai kekuatan-kekuatan monopolistik yang luar biasa besar. Mereka ibarat raksasa, Batara Kala, yang telah mencaplok dunia. Mereka telah berkuasa.
Dunia ada di dalam genggamannya. Tapi mereka lupa bagaimana cara mengunyah semuanya sampai tandas. Batara Kala pun termangu-mangu melihat kebesaran dirinya. Dia heran, mengapa yang kecil tak semuanya tercaplok.
Mohamad Sobary
Koran Sindo, 18/03/2016
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan
0 comments:
Post a Comment