Wujudnya secara praktis adalah kemauan rakyat harus menjadi cita-cita yang diselenggarakan para pemimpin yang terpilih melalui proses yang demokratis. Mereka mengemban misi untuk mewujudkan demokrasi yang substantif, yaitu pemerataan, kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian.
Jika pemimpin nasional bersama-sama dengan pemimpin daerah mampu mewujudkan demokrasi yang substantif itu, otomatis kedaulatan bangsa di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan dapat dipertahankan. Pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota merupakan sarana untuk melaksanakan kedaulatan rakyat tersebut. Konstitusi memberikan kewenangan penuh kepada rakyat untuk memilih figur pemimpin dari anggota masyarakat yang dianggap mumpuni untuk mengelola urusan publik.
Kekuasaan di tingkat lokal dipergilirkan untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik dengan ciri kompeten, kredibel, berintegritasdanberakseptabilitas. Setiap anggota masyarakatdijaminhaknya untukdapat dipilih (right to candidate) dan memilih (right to vote) pada hari pemungutan suara.
Penataan Siklus Pemilu
Penyelenggaraan pilkada serentak juga merupakan upaya menata siklus pemilu yang selama ini terkesan amburadul. Penataan siklus pemilu erat kaitannya dengan kinerja tiga aktor pemilu, yaitu penyelenggara, partai politik, dan pemilih.
Siklus pemilu yang ideal akan memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara untuk merencanakan pemilu secara matang. Alokasi waktu yang sempit dan perubahan regulasi yang sangat dinamis mengakibatkan tahapan pemilu/pilkada tidak terkelola dengan baik. Hal ini akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu/pilkada. Penataan siklus juga memberi ruangyangcukupbagi KPU dan para stakeholders untuk melakukan evaluasi pilkada secara utuh dan menyeluruh.
Pada akhirnya diperoleh suatu standar penyelenggaraan pilkada yang ideal, ajek, dan memenuhi prinsip bebas dan adil. KPU juga dapat melakukan konsolidasi organisasi, anggaran, danperaturanuntuk menghasilkan standar kompetensi yang dibutuhkan petugas pada setiap jenjang, kebutuhan anggaran yang ideal untuk setiap item, dan regulasi yang dapat menjawab tantangan petugas di lapangan.
Penataan siklus pemilu juga memberi kesempatan kepada partai politik untuk melakukan institusionalisasi. Hal ini merupakan kebutuhan mendesak mengingat posisi dan peran partai politik sangat penting dalam sistem demokrasi. Begitu strategisnya peran dan posisi partai politik sehingga Schattscheider (1942) mengatakan political parties created democracy .
Partai politik yang terlembagakan dapat dilihat dari ketersediaan sumber daya kader yang andal, sumber keuangan yang mencukupi, pengorganisasian yang kuat, kepemimpinan yang tangguh, serta aturan organisasi yang lengkap dan dilaksanakan secara konsekuen. Meminjam pengertian klasik Samuel Huntington, pelembagaan partai politik terjadi ketika organisasi parpol telah mendapatkan value and stability (nilai dan stabilitas).
Jika parpol telah berhasil memformulasi dan menginternalisasi nilainilai organisasionalnya serta dalam periode waktu tertentu terdapat stabilitas internal, parpol dapat dikatakan terlembagakan dengan baik. Penyelenggaraan pilkada dengan jadwal yang berbeda di setiap daerah membuat konsentrasi partai politik secara nasional terkuras untuk menghadapi pertarungan kekuasaan di daerah.
Akibatnya partai politik tidak punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi internal, dalam hal ini menata sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan, mengembangkan sistem pengaderan dan kepemimpinan yang kuat. Dalam jangka panjang, partai politik akan mengalami krisis kader yang layak dipromosikan menjadi pimpinan baik di lingkup internal partai maupun untuk mengisi kekuasaan pada lembaga legislatif dan eksekutif. Krisis kader akan memberi peluang masuknya politisi selebritas dan para borjuasi yang miskin ideologi untuk mengisi kekuasaan.
Dengan modal uang dan popularitas, mereka memiliki kesempatan yang besar untuk memenangi kontestasi. Kekuasaan di tangan para borjuasi jelas tidak dapat diharapkan untuk menegakkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian bangsa yang berkebudayaan. Pemerataan, kesejahteraan, dan keadilan yang menjadi cita-cita otonomi daerah akan terabaikan. Situasi yang demikian dapat memicu instabilitas politik di daerah dan mendorong lahirnya gerakan-gerakan separatis yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada level pemilih, penataan siklus pemilu dapat mendorong rasionalitas pemilih. Masyarakat memiliki ruang bernapasuntukmenilaikinerja partai politik yang akan mengusung para kandidat. Mereka juga memiliki cukup waktu untuk mengukur dan menilai aspek kompetensi, kredibilitas, dan integritas para bakal calon yang dipromosikan partai politik untuk mengisi kursi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selain itu, masyarakat dapat terhindar dari rasa jenuh dan bosan menghadapi empat jenis pemilihan dalam lima tahun.
Pilkada serentak sesuai dengan desain UU Nomor 1 Tahun 2015 jo UU Nomor 8 Tahun 2015 dilaksanakan pada tiga gelombang. Gelombang pertama pada 2015 untuk 9 provinsi dan 260 kabupaten/ kota, gelombang kedua pada Februari 2017 untuk 7 provinsi dan 94 kabupaten/ kota, dan gelombang ketiga pada 2018 untuk 17 provinsi dan 154 kabupaten/kota.
Pada 2027 akan digelar pilkada serentak secara nasional. Konsekuensi untuk menyerentakkan pilkada, akan ada masa jabatan kepala daerah yang terpotong satu tahun, yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih pada gelombang ketiga tahun 2023.
Memperbaiki Tata Kelola Pemerintahan
Pilkada serentak dan langsung merupakan upaya mewujudkan demokratisasi di aras lokal. Pemimpin daerah yang terpilih secara demokratis dituntut untuk mengelola pemerintahan dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Pengambilan keputusan politik di daerah dilakukan dengan cara partisipatif.
Pemerintah secara rutin melakukan konsultasi publik untuk mendengar dan berdialog dengan warga dalam rangka memahami dan mendalamikebutuhanmereka. Kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak saja mengandalkan anggota DPRD sebagai mitra untuk mencari solusi dan mengembangkan kreativitas dalam melakukan percepatan pembangunan. Pemerintahjustrumendorong lahirnyaforum-forumwargayang aktif mendiskusikan permasalahan daerah.
Ruang publik didesain agar lebih hidup dan dinamis. Pemerintah semakin kaya dengan hasilanalisisdankajiantentangdinamika pemerintahan dan pembangunandidaerah. Forumwarga dapatmelahirkansuaturekomendasi kebijakan dan program yang akan didorong menjadi keputusan politik daerah. Ruang dan struktur kesempatan masyarakat sipil dan kelompok bisnis untuk berpartisipasi dalam pembangunan mesti dibuka selebar-lebarnya.
Visi, misi, dan program kerja pemerintah akan lebih cepat terealisasi jika mendapat dukungan penuh dari semua elemen masyarakat. Sinergi, sinkronisasi, dan integrasi di antara elemen menjadi modal yang sangat besar dan efektif untuk mewujudkan pemerataan, kesejahteraan, dan keadilan sebagai tujuan akhir otonomi daerah. Agar masyarakat dapat berpartisipasi secara maksimal, pemerintah daerah harus memberi dan menjamin akses informasi yang seluas- luasnya tentang aktivitas pemerintahan.
Pemerintah dapat bersinergi dengan agen-agen pembaru di daerah untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dan meningkatkan keterampilan mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Setelah 16 tahun pelaksanaan otonomi daerah dan 10 tahun pelaksanaan pilkada langsung, pemerintah daerah belum sepenuhnya mewujudkan keadilan yang substantif.
Pergerakan governance index untuk pemerintah di tingkat provinsi cenderung meningkat, tetapi tidak signifikan. Berdasarkan hasil kajian kemitraan, government index pemerintah provinsi pada 2008 berada pada angka 5,1 dan meningkat menjadi 5,7 pada 2012. Dengan skala pengukuran 0 sampai 10, governance index pemerintah provinsi di Indonesia masih kategori cukup.
Pemerintah kabupaten/ kota sebagai ujung tombak pelaksanaan otonomi daerah malah government index -nya lebih buruk, berada pada angka 4,9 tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat belum melakukan refleksi dan interaksi untuk membangun daerah secara optimal. Inilah tantangan besar para pemimpin daerah hasil Pilkada Serentak 2015 dan tahun-tahun mendatang.
Pemerintah harus mampu menaikkan governance index agar lanskap tata kelola pemerintah lebih responsif terhadap kebutuhan publik. Alokasi anggaran pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan penanggulangan kemiskinan yang besar akan dapat menjawab kebutuhan publik jika diikuti dengan sistem checks and balances sebagai faktor kunci dalam demokrasi.
Untuk itu, peran DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah mutlak diperlukan dalam melakukan fungsi pengawasan agar kinerja pemerintah daerah tidak menyimpang dari tujuan substantif demokrasi. Kedaulatan politik secara nasional yang dicirikan dengan kemampuan negara untuk menjaga kemandirian dan mengaktualisasikan kemerdekaannya dalam seluruh aspek kehidupan bernegara dapat diwujudkan jika tata kelola pemerintah dapat diperbaiki secara utuh dan menyeluruh.
Tata kelola pemerintahan yang mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi akan berdampak pada kinerja ekonomi daerah sebagai penyokong utama kinerja ekonomi nasional. Semakin baik kinerja ekonomi nasional sebuah negara akan membuat demokrasi semakin stabil dan terkonsolidasi.
Terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial merupakan perekat kebangsaan dan kebinekaan. Ikatan kebangsaan dan kebinekaan melahirkan semangat persatuan nasional yang kuat dalam rangka mewujudkan kedaulatan di bidang politik.
Ferry Kurnia Rizkiyansyah
Koran SIndo, 18/03/2016
Koran SIndo, 18/03/2016
Anggota KPU RI 2012–2017
0 comments:
Post a Comment