
Tapi, ah, tak semua manusia seperti aku. Apa aku yang bukan manusia, ya? (Mikir keras disingkat miras). Tak semua manusia rupanya suka kesederhanaan. Kalau bisa dirumiti, ngapin dipermudah? Makanya itu, manusia seringkali sibuk membahas ini-itu. Manusia seringkali suka dimintai pendapat. Manusia seringkali suka digoda menjadi Tuhan yang bisa menyetujui ini-itu. Singkatnya, manusia seringkali lepas dari kemanusiaannya. Berlagak menjadi Tuhan, eh, jatuh-jatuhnya menjadi binatang.
Manusia juga doyan sekali buat kategori yang bertolak punggung. Ada tua-muda, kaya-miskin, laki-perempuan, baik-buruk, tinggi-rendah. Kalo menurut Ferdinand de Saussure ini disebut oposisi biner. Dan menurut dia, di sini tak ada yang lebih hebat. Keduanya sama-sama hebat. BAIK tidak lebih hebat daripada BURUK sebab tak akan ada BAIK kalo tak ada BURUK. Sangat sederhana.
Tapi, lagi-lagi, manusia bikinnya jadi rumit. Bagi kita, pernyataan om Ferdinand de Saussure ini tak benar. Menurut kita, yang disebut pertamalah yang lebih hebat. Jadi, yang terhebat dari baik-buruk, tinggi-rendah, laki-perempuan, tua-muda, masing-masing adalah: BAIK, TINGGI, LAKI, dan TUA.
OK, baik, kita terima itu sebagai yang betul. Tapi, gimana dengan hitam-putih dan kiri-kanan? Setahuku, yang lazim itu hitam-putih, bukan putih-hitam. Yang lazim itu juga kiri-kanan, bukan kanan-kiri. Apakah itu maksudnya yang lebih hebat adalah hitam dan kiri? Mestinya begitu.
Tapi, lagi-lagi, ah, semua terserah selera kita. Semuanya jadi rumit. Nyatanya, kita melabeli dunia kurang ajar sebagai dunia hitam. Kita juga dinilai sopan kalau memberi dan menerima dengan tangan kanan. Padahal, jika menganut logika tua-muda, tinggi-rendah, baik-buruk, bukankah mestinya yang lebih hebat itu HITAM dan KIRI?
Ya, sudahlah. Tak usah diperrumit. Saya sukanya sederhana. Saya hanya mau bilang gini, mengapa kita suka sekali akhir-akhir ini menjadi Tuhan? Mengapa kita suka sekali saling mengingkari? Mengapa kita mendadak amnesia? Mengapa kita mendadak sensi? Ada apa?
Begini, tak masuk akal aja bagiku ketika kita selalu menggusur diskusi bertajuk “kiri”, sampe-sampe kita lupa kalo tokoh pendiri bangsa ini berasal dari “kiri”. Lihat itu, “Festival Belok Kiri” selalu dibelokkanankan. Apakah kanan memang udah bagus-bagus amat?
Yang tak lebih masuk akalku, ada apa dengan negeri ini, terutama dengan Ormas FPI yang selalu gelisah dengan tajuk unjuk kesenian “Saya Rusa Berbulu Merah”. Apakah tajuknya harus diganti menjadi “Berbuluh Putih” supaya kalian diam? Apakah tajuknya harus “Berbuluh Hijau” supaya itu disebut religius? Atau, harus tak berbulu dan berbaju sekaligus supaya dinilai polos? Dan, karena polos, bisa disetir kemana-mana?
Sudahlah, tak usah jadi Tuhan. Mungkin, kalian lebih baik dari Tan Malaka. Tapi, apa salah kalo kita mengenang orang? Setahuku, orang meninggal, betapapun dia buruk, dia akan selalu dikenang sebagai yang baik. Didoakan malah. Dan, keknya, Tan Malaka ga jahat-jahat amat. Ato, aku salah? Orang di liang kubur masih ditolak. Ini zaman apa? #MIKIR!
Ya, saya paham kalian alergi Tan Malaka karena dia itu komunis dan atau kiri. Tapi, kalo Komunis, emangnya kenapa? Karena negeri ini kaco dulunya gegara komunis? Emangnya udah fakta kalo peristiwa sejarah buram kita ini dimotori oleh komunis?
Baik. Mari kita terima dulu kalo yang bikin rusak negeri ini adalah komunis. Tapi, apa itu karena Tan Malaka dan Bung Karno dan lain-lain dan lain-lain?
Baik, kita terima lagi itu karena Tan Malaka dan Bung Karno. Lalu, negara ini merdeka karena siapa? Ada ga pengaruh Tan Malaka? Ada ga pengaruh Bung Karno? Ada ga pengaruh Tjokroaminoto? Kalo ada, bisa ga dibilang kalo kita ini merdeka karena kiri dan komunis? Terus, kalo bisa, kita ini hidup dari kiri dan komunis juga bukan? Lha, mengapa kini kita menguber-uber yang tak mengenal kita dan yang tak kita kenal? Parahnya, mengapa kita menolak orang yang di liang kubur? Sekali lagi #MIKIR!
Sudahlah, biar ga rumit, intinya ini yang mau kubilang. Saya paham, bagi kita komunis itu berarti tak beragama. Karena itu, saya ingin membelokkanankan atau membelokkirikan pemahaman itu di sini. Kalo salah, tolong diluruskan, jangan dibelokkan lagi!
Menurutku, komunis itu bukan berarti ga percaya Tuhan, bukan berarti ga beragama. Ok, pernah komunis membakar gereja dan masjid (emangnya yang lain ga pernah?). Di RUsia itu dulunya banyak. Bahkan di negeri ini, Gereja di bakar di Aceh dan Masjid di Papua. Mereka beragama bukan? Jadi, membakar gereja, mesjid, dan yang lain bukan berarti ga beragama dan ga ber-Tuhan. Camkan itu!
Itu dominan karena rongrongan politis. Sama seperti ini, perang salib. Siapa bilang mereka yang berperang di perang salib ini sebagai tidak beragama dan ber-Tuhan? Yang ada, mereka justru kecanduan agama dan Tuhan! Sadarlah kawan! Yang namanya perang, di sana yang kuat adalah politik. Yang namanya politis di sana ga ada agama. Yang namanya ga ada agama ya perang. Lha kini kita perang, berarti kita tak beragama. Begitukah?
Makanya itu, jangan marah-marah hanya karena simbol agama. Agama bukan simbol. Kita beragama, bukan bersimbol! Kita sudah banyak berantam karena termakan simbol. Ga cape-cape juga ya? Seperti ini, misalnya. Saya kutikpkan dari Denny Siregar untuk Anda.
Kata Denny, sebenarnya pada saat perang Shifin, pasukan Muawwiyah sudah hampir kalah oleh Imam Ali as. Hanya, Muawwiyah cerdik. Ia paham bahwa di barisan Imam Ali as banyak kaum khawarij yang tergila-gila dengan agama. Lalu, mereka pun menaruh Alquran di atas tombak sebagai tanda negosiasi, padahal itu untuk mengulur waktu.
Benar saja, melihat ALquran, kaum Khawariz di barisan Imam Ali as langsung tereak-tereak bahwa mereka harus menghormati Alquran.padahal, Imam Ali as sudah berkata bahwa itu taktik licik supaya lawan bisa menyusun strategi kembali dan terhindar dari kekalahan saat itu juga.
Nah, begitulah kita. Kita seringkali mengatasnamakan agama. Hanya karena ada embel-embel agama seakan-akan kita sudah suci. Hanya karena sering ke gereja, maka kita mengklaim bahwa kita ini suci. Hanya karena taat solat, maka kita mengklaim yang lain kafir.
Kita jadi mendewakan simbol. Seakan gereja ga bisa menjadi tempat maksiat. Seakan masjid ga bisa sarang teroris. Seakan kitab suci ga bisa membunuh. Seakan Alquran tak bisa dipelintir. Yesus pernah marah karena kenisah jadi tempat berjualan, bukan?
Itu artinya masjid dan gereja bisa menjadi pembantaian kalo kalian hanya datang untuk rapat, bukan untuk beribadah. Kalo kalian datang untuk mendekatkan diri dengan Tuhan lalu menjauhkan-Nya dari orang lain.
Jadi, tak usah cemberut ketika baru-baru ini pernah Alquran dibikin jadi barang bukti. Bukan berarti Alquran itu jelek. Tapi, karena ada orang sedang memelintirnya. Sama seperti yang dilakukan Muawwiyah. Asal tau aja, kalo saja kau memukul kepalaku berkali-kali dengan Alkitab, aku pasti gerot dan mungkin mati. Lalu, apakah polisi tak bisa membuat Alkitab sebagai barang bukti kejahatan?
Terakhir, saya mau bilang, aku ini pengagum Tan Malaka dan Bung Karno. Kalo mereka komunis makanya aku jadi komunis, tak masalah. Emangnya kalo aku komunis dan kau tak kuganggu lebih buruk dari kalo aku beragama dan kau selalu kuhantam dengan Alkitab? #MIKIR dong!
Riduan Situmorang
Pencinta Humor yang Tak Lucu
0 comments:
Post a Comment