Evelyin Waugh bahkan berkata bahwa perubahan merupakan satu-satunya bukti adanya kehidupan. Dengan kata lain, kalau tak berubah, sesungguhnya kita sedang tak hidup. Saya tak mau mengatakan bahwa pengguna taksi manual (argo) dan yang sejenisnya sebagai yang tak hidup, tetapi nyata sekali bagi saya bahwa mereka kini sedang antiperubahan. Mereka tidak hanya tak sigap, mereka bahkan tak siap menerima perubahan. Padahal, perubahan, dalam apa pun itu, selalu menjadi kemestian yang melilit peradaban.
Ya, perubahan, terutama untuk berubah memang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Setidaknya, begitulah Rhenald Kasali pernah mengatakan. Sulit karena memang kita masih mengagungkan masa lalu hingga buta pada masa depan. Kita masih melulu terdoktrin bahwa tikus selalu menakuti kucing, kucing menakuti anjing, dan seterusnya, dan seterusnya. Padahal kini, seperti kata Sarlito Wirawan Sarwono, tikus tidak lagi takut pada kucing, dan kucing sudah acap tidur bersama dengan anjing.
Segera Sadar!
Yang mau saya pahamkan di sini adalah, ayolah, segera sadar karena sekitar sudah berubah. Dan yang terpenting, kita memang harus berubah. Jangan lagi terpaku pada kejayaan masa silam karena itu sudah menjadi sejarah. Sangat konyol jika kita mengaung-agungkan masa lalu jika itu membuat kita menolak masa depan.
Dan, satu hal yang pasti, masa depan ada pada pelukan teknologi. Menolak teknologi merupakan bentuk sederhana dari menolak masa depan. Stephen Covey, penulis buku Seven Habits, pernah menegaskan bahwa perubahan itu memang sangat menyakitkan, terutama bagi mereka yang sekarang berada pada zona nyaman. Tetapi, akan lebih menyakitkan, bahkan mematikan kalau kita tak ikut berubah serta menikmati perubahan.
Kembali ke latar masalah mengapa artikel ini ditulis. Adanya perkelahian antara kedua belah pihak bisnis: argo dan online, menurut saya, adalah sebuah proses melahirkan titik keseimbangan. Seperti kata para ahli, adanya gempa bukan pertanda adanya bencana. Gempa bukan bencana. Gempa justru menjadi pertanda bahwa bumi kita masih hidup. Dari gempalah kemudian dicari titik keseimbangan. Dalam kehidupan manusia, dari demonstrasilah kemudian terlahirkan titik kesepemahaman. Dari demonstrasilah terlahir kejayaan. Kita sudah mengalaminya melalui tumbangnya Suharto pada 1998 silam.
Tetapi, bukan berarti kejayaan hanya akan lahir dari keberisikan. Banyak orang kemudian berubah justru pada diam. Maksud saya, perubahan tidak harus melahirkan kebisingan. Dan, kalau harus bising, marilah buat itu menjadi titik cerah untuk mencapai keseimbangan baru. Khusus untuk kebisingan para penunggang taksi di Ibu Kota, maksud saya biarlah itu menjadi urusan pasar. Tak usah lagi ikut membuat kebisingan di daerah lain. Cukup satu kebisingan.
Nah, bagaimana membuat kebisingan ini menjadi titik pencerahan? Mari serahakan itu pada pasar. Pasarlah yang menilai mana yang disukai mana yang tidak. Mana yang hanya bising kosong, mana bising berisi. Toh, kalau hanya satu jenis barang yang dipasarkan, maka yang terjadi adalah monopoli. Dan pada ranah ekonomi, monopoli merupakan penyakit. Pada kondisi pasar monopoli, harga sama sekali tak bisa diraba dan ditebak. Semua tergantung pengusaha dan ujung-ujungnya yang menderita adalah rakyat.
Keadilan
Tetapi begitupun, kita harus menjenguk ke bagian dalam. Sebab, perkelahian di antara mereka bukan perkara siap tak siap menerima perubahan. Barangkali, ada sisi politisnya. Tetapi, yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa kedua belah pihak yang bertikai kini sedang memperjuangkan ladangnya. Dalam artian, mereka sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Karena itu, mereka pun saling meradang dan menghantam. Anarkisme berkelindan, bahkan pembantaian dipertunjukkan secara vulgar kepada kita.
Pada tataran ideal, mereka yang berseteru ini adalah rakyat. Yang menghantam rakyat dan yang dihantam pun rakyat. Tidak ada pemerintah di sana. Nah, di mana letak pemerintah? Mereka ada di balik layar. Merekalah yang sesungguhnya menyebabkan perkelahian ini tersaji. Jadi, dasarnya bukan semata perubahan dan keengganan untuk berubah, melainkan juga masalah keadilan. Pemerintah tak sigap menerima perubahan sehingga rakyat yang sudah berubah dan yang masih mengagungkan masa lalu bentrok pada satu titik. Inilah akar masalahnya sebenarnya.
Sialnya, ketidaksigapan pemerintah ini bukan perkara kemarin sore. Sudah kita ketahui, bahwa taksi berbasis online sudah muncul lebih dari setahun. Mengapa tidak sejak dari tahun lalu mereka bentrok? Ternyata, mereka bentrok karena pemerintah diam dan mendiamkan. Masyarakat seakan sedang menanti kapan pemerintah turun dan membawa sabda keadilan. Ternyata, pemerintah tak hadir-hadir juga. Hasilnya, perusahaan lama semakin usang dan kerdil, sementara perusahaan baru semakin mengilap dan besar. Timbullah kecemburuan.
Ironisnya, perusahaan lama dipungut biaya yang tak kecil berikut urusan birokrasi yang rumit, ada lagi keharusan uji KIR, sementara perusahaan baru yang semakin besar tidak dipungut apa-apa. Inilah wajah dari ketidakadilan. Saya tak mau mengatakan bahwa mereka pantas melakukan anarkisme, tetapi saya mau mengatakan bahwa pemerintah terlalu lamban membaca perubahan. Pemerintah terlalu bebal. Teknologi memang harus diterima, tetapi perlakuan yang sama harus dilakukan.
Ya, nasi sudah menjadi bubur. Perkelahian sudah tersaji. Menyesal memang karena perkara serupa mestinya dapat diantisipasi pemerintah dengan mempelajari masalah-masalah serupa yang pernah dialami negara maju. Bukankah mestinya kalau kita ingin maju, maka harus menengok masalah negara maju manakala menjemput kemajuan sehingga kita bisa meminimalisasi masalah yang barangkali akan menghantam kita?
Saya mengatakan ini karena andai kita sigap, mestinya kita melihat masalah serupa yang pernah menimpa Amerika Serikat, Perancis, Iggris. Perancis, misalnya, harus menurunkan beribu-ribu polisi ke Paris pada 25 Juni 2015 silam. Sebulan berikutnya, kericuhan juga terjadi di New York. Diturunkannya beribu-ribu polisi ini menjadi indikasi awal betapa masalah ini dapat bergejolak dan membahayakan. Di sinilah kita gagal membaca masa depan.
Yang pasti kini, sejak kebisingan di Ibu Kota, ada pelajaran yang kita petik, yaitu taksi argo akan semakin usang. Masyarakat sudah berbasis online. Karena itu, pemerintah harus hadir dengan pedang keadilannya. Beri perlakuan yang sama. Bila perlu, remajakan semua taksi jadi berbasis online. Kalau diperlakukan sama, niscaya kecemburuan tidak akan ada lagi.
Memang, senjakala akan memungut taksi argo, tetapi bukan berarti mereka akan tiada. Mereka justru semakin muda dan gesit karena sudah tampil dengan darah baru. Kalau skema ini berlaku, senjakala taksi argo adalah simbol dari kemajuan dan kemenangan dalam evolusi. Tetapi kalau sebaliknya, senjakala taksi argo justru menjadi kiamat. Semoga kita dapat memahaminya!
Pegiat Literasi, Aktif di Pusat Latihan Opera Batak Medan, serta Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan.
0 comments:
Post a Comment