Sunday 21 February 2016

SJ




SJ adalah inisial yang mestinya dipakai untuk melindungi pemilik nama yang sebenarnya. Ini berkaitan dengan penulisan identitas dalam dunia pers, mana kala menyangkut perkara yang berkaitan dengan masalah pidana. Namun kini hal itu sudah diabaikan. SJ sejak awal dituliskan kependekkan dari Saipul Jamil, dengan sebutan penyanyi dangdut, juri acara yang kurang lebih sama. Dengan demikian tertera dengan jelas siapa itu SJ. Lengkap dengan kondisi terakhir, wajahnya seperti apa dalam pemeriksaan kepolisian.

Kalau sudah demikian,demikian pula peristiwa yang kini menimpa Ipul, nama panggilan yang lebih akrab. Bahwa ia dituduh melakukan pelecehan seksual kepada seorang anak lelaki di bawah umur, masih 17 tahun, di rumahnya. Pelecehan apa, dengan cara bagaimana, meski masih berupa cerita satu pihak—belum menjadi fakta, belum juga data sesungguhnya, telah terceritakan. Media sosial menyambut meriah kasus-kasus seperti ini.

Apa lagi Ipul memang selebritas yang menyediakan banyak perjalanan hidup untuk dikontroversialkan. Sebagai anggota grup dangdut G4UL pun juga bisa heboh—hanya soal rencana reuni setelah dia sukses, tapi batal. Pernikahan yang singkat dengan Dewi Persik, setelah perkenalan yang singkat, 4 bulan, juga penuh dengan bumbu dan menu perceraian.

Kemudian kecelakaan lalin saat ia mengemudi menewaskan istri kedua, dengan tambahan sang istri tengah hamil dua bulan. Belum lagi perjalanannya menjadi bakal calon wakil wali kota Serang. Bagi Ipul menjadi berita lebih sebagai hasil, dibandingkan hasil itu sendiri. Upaya “nyalon”, walau dicibiri sejak awal oleh bahkan sahabat-sahabatnya adalah pemberitaan, pernyataan kehadiran dirinya. Juga ketika menjadi juri paket dangdut dengan menempatkan diri sebagai tokoh antagonistis, tokoh yang nyinyir. Dan nyinyir adalah kritik tanpa alasan yang jelas. Asal beda, asal dicemooh pun cukup baginya. Dan itu bisa ditampilkan setiap hari, selama 4 atau 5 jam, di samping acara sejenis lainnya.

Dengan demikian nama Saipul Jamil menjadi ingatan publik, dan SJ pun tak disinggung. Tak ada kode etik, tak ada peraturan bagaimana seharusnya. Bahkan lebih dari itu : ngapain juga pakai inisial kalau semua orang sudah tahu. Lebih dari tahu peristiwa pun dikuliti sampai ke tulang peristiwa yang sama, adakah di masa lampau. Apa komentar Dewi Persik, atau Nina Rose—yang pernah ditaksir, atau nama lain dalam lingkaran dekatnya. Yang itu-itu sama, dan seakan tersamar tapi mereka ini menjabarkan secara panjang lebar.

Pada titik itu keadaan menjadi memrihatinkan, menjadi kurang baik bagi kehidupan pers. Apa yang terjadi pada Ipul, sudah terjadi—dan masih terjadi saat ini, pada sosok perempuan bernama Jessica Wongso. Yang konon dalam sehari bisa 20 kali ditayangkan melalui televisi, dari berbagai stasiun siar, mengenai kasus pembunuhan yang melibatkannya. Bayangkan rekonstruksi kasus pembunuhan, lengkap dengan racun, ditambahi hasil pemeriksaan kejiwaan, dan atau kisah masa lampau dan rumor horor, semua tersaji sekarang berseri.

Bahkan kalau kita tak perduli sama sekali dengan jenis berita seperti ini, tak mungkin bisa mengelak sama sekali. Lepas dari materi berita bisa diaduk dan diudak, hiruk pikuk, hingar bingar, berebut perhatian. Dan berlebihan. Dan karenanya menjengkelkan. Dan bertanya tanya sendiri : seperti inikah pemberitaan pers kita sekarang ini? Apa yang salah dengan keserakahan ketika mengolah laporan? Apakah tak ada cara lain yang baik dan benar seperti sebelumnya?

Berita SJ bisa berarti tentang Saipul Jamil, juga bisa berarti SUDAH JENUH. 
Arswendo Atmowiloto
Koran Jakarta
Budayawan 

0 comments: