Sunday 21 February 2016

Memahamimu-Memahamiku


Memahamimu-Memahamiku
bagaimana aku memahamimu perempuan bermata purnama

sedang kau selalu datang dengan curiga
sudahlah, mari akhiri tengkar ini
tak kau lihat pohon yang selalu merungut
pada awan, pada angin, pada hujan
lalu, mereka cemberut sebelum saling memagut
dan hutan pun bergelayut

bagaimana kau memahamiku pria bermata elang
sedang aku selalu menimbun rindu tanpa kau tahu
sudahlah, mari mulai cerita baru
tak kau lihat kebun di belakang
ada cacing, ada tanah, ada pohon
lalu, mereka bersetubuh setelah sebelumnya saling menguntit

Tubuh Rumahku/1
tubuhku yang sintal ini adalah rumah
yang dikuyup remang. gelap. sunyi.
tikus-tikus dan cicak-cicak cekikikan
mencakar jendela. mataku berdarah
mereka tak berhenti dan semakin buas
kali ini kau lewat dengan matamu yang berbuih
kita sibuk dengan kebencian. di matamu. di mataku
hari berlalu tanpa kata yang berkelindan
sepi semakin menggugat
tapi kita saling menghujat

Tubuh Rumahku/2
tubuhku menjelma menjadi teras
sepi pengunjung. atap-atapnya bolong
ada serangga memapah jaring
kutu-kutu berjingkrak dan berkejaran
kali ini, mereka membuat sarang
membuat lubang di telingaku
telinga itu berdarah. infkesi. bengkak
kau masih lewat dengan kakimu yang keropos
kusapa kau dengan lidah yang berdirit. payah.
kau tak menoleh
kau, oh, berlari dengan gesitnya
aku bertanya dan mencari dengan mata silau
ah, tak ada yang kau kejar, tak ada yang mengejarmu!
atau? aku yang buta setelah mata berdarah?
setelah telinga menuli?
kita tak saling mendengar
masih bertengkar

Tubuh Rumahku/3
rumahku tubuhku. semakin dikebut sepi.
tak ada tikar tergelar
tak ada tamu. tak ada laku-laku malu
semakin gersang setelah matahari terlalu menikam
hujan dan badai bertukar peran
kadang mengembus, kadang mendengus
cicak, tikus, serangga, rayap tertindih bosan
tubuhku kerontang tinggal rangka. lapuk.
tak ada lagi dirit-dirit gerak binatang
tikus-tikus mencari tempat baru untuk cekikikan
kamu masih sempat kulihat. lewat
setahuku, kau masih serupa denganku: dikebut sepi
tapi, ah, kau lewat saja
bahkan membuang ludah pun kau merasa rugi

rumahku tubuhku sudah menjelma sepi
sedang kau tak lagi datang. meski hanya untuk lewat
matahari dan hujan sudah melewatkan episode
mengitari musim ke musim
kau juga tak lewat
adakah kau sudah tamat?
atau? sepimu sudah ada yang memiliki
di sini. di kedalaman tubuhku.
aku masih menunggu kau lewat
bermimpi untuk sekeping sepi yang akan berujung
adakah itu di tanganmu?

Daun dan Angin
kita membungkuk
ah, tak ada yang mengangguk
kita mabuk dan kikuk
setelah angin menjenguk
dan, kemudian kita mencoba untuk tak mengerti
mengapa daun digugur angin
tetapi masih saling memesrai
meski nanti akan dihunjam dalam sebuah waktu yang rahasia
mereka masih saling mencintai
tak ada yang mengangguk
tetapi kita akan saling menjenguk

ah, kita mencintai, sebenarnya saling mengintai
mungkin kau akan daun yang gugur
mungkin juga aku

Catatan
Penulis, pegiat sastra dan budaya di PLOt Medan. Puisi Esainya dibukukan Jurnal Sajak di Konspirasi Suci dan Baris Tanya untuk Indonesia.

0 comments: