Pemikiran ketatanegaraan Indonesia tampaknya tetap dinamis walaupun
telahterjadiperubahanterhadap UUD 1945 pada 1999 sampai 2002.
Bahkan, hasil perubahan UUD 1945 itu sendiri menjadi pangkalberbagaipemikiran, baik yang cenderung ke arah sebelum perubahan maupun gagasangagasan baru memperbaiki kelemahan yang sering kali memang baru dapat diketahui dan disadari ketika dilaksanakan. Setelah gagasan mengembalikan GBHN dengan konsekuensi mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi, muncul gagasan penghapusan lembaga DPD.
Keberadaan DPD dipandang tidak efektif dan efisien serta belum membuktikan kebermanfaatannya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menilai tepat tidaknya penghapusan DPD, kiranya perlu dilihat dua hal penting agar tatanan bangsa semakin matang, tidak maju mundur. Pertama, apa argumentasi pemikiran pembentukan DPD. Kedua, mengapa kinerja DPD belum optimal sehingga jelas kebermanfaatannya bagi kehidupan bangsa.
Argumentasi Pembentukan DPD
Pembentukan DPD setidaknya dilandasi oleh dua argumentasi utama. Pertama, sebagai suatu negara demokrasi menghendaki keterlibatan rakyat dalam pemerintahan. Rakyat dalam hal ini tidak hanya dimaknai sebagai individu warga negara, tetapijugameliputikepentingan dari kesatuan-kesatuan sosial, termasuk daerah sebagai kesatuan bukan hanya rakyat, melainkan juga wilayah dengan kondisi geo-grafis dan sumber daya alam.
Karena itu, di samping perwakilan politik, yang diasosiasikan mewujud dalam bentuk DPR, dibutuhkan adanya lembaga yang memenuhi keterwakilan daerah. Dengan demikian keberadaan DPD sebagai bentuk keterwakilan daerah dalam pengambilan kebijakan di tingkat pusat berbeda dengan Senat di Amerika Serikat dan House of Lord di Inggris yang pada awalnya lebih merupakan tempat untuk mewadahi para aristokrat. UUD 1945 sebelum perubahan telah mengenal keterwakilan daerah dalam bentuk unsur utusan daerah dalam keanggotaan MPR.
Pada masaOrdeBaru, pengisian anggota MPR dari utusan daerah merupakan otoritas penuh presiden. Pada umumnya, yang ditunjuk sebagai anggota MPR utusan daerah saat itu adalah pejabat muspida provinsi beserta istri. Keberadaan perwakilan daerah di satu sisi tetap diperlukan, namun di sisi lain perlu perubahan karena bertentangan dengan argumentasi kedua, yaitu bahwa anggota lembaga perwakilan harus dipilih melalui pemilihan umum, bukan diangkat atau ditunjuk oleh presiden.
Di awal reformasi, perbaikan dilakukan dengan mengubah mekanisme pengisian keanggotaan yang semula oleh presiden, menjadi dipilih oleh DPRD provinsi. Akhirnya, melalui perubahan UUD 1945, utusan daerah bertransformasi menjadi lembaga sendiri, yaitu DPD, sebagai lembaga untuk menampung keterwakilan daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilu.
Kewenangan Konstitusional
Pembentukan DPD dibekali dengan kewenangan konstitusional sebagai lembaga perwakilan, yaitu di bidang legislasi, pengawasan, bujet, dan nominasi. Namun, konstruksi yang dipilih bukan kewenangan yang sama kuat dengan DPR, atau yang sering disebut sebagai soft bicameral. DPD dapat mengusulkan dan ikut membahas rancangan undang-undang tertentu terutama yang terkait dengan daerah. Kewenangan yang tidak berimbang dengan DPR tidak berarti dengan sendirinya DPD kehilangan ruang untuk berperan.
Memengaruhi hukum dan kebijakan agar sesuai dengan aspirasi daerah tentu tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk kekuasaan yang sama. Memengaruhi warna kebijakan lebih dapat dilakukan dalam proses deliberasi ketika suatu kebijakan akan dibuat. Hal ini diwadahi dalam kewenangan DPD mengusulkan dan ikut membahas suatu rancangan undang-undang. Demikian pula halnya dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan daerah.
Sayangnya, kewenangan konstitusional yang ada dan tidak seimbang itu semakin diperlemah pada tataran undangundang dan Tata Tertib DPR. Undang-undang MD3 pada awalnya bahkan menempatkan DPD bukan sebagai co-partner dalam proses legislasi dan pengawasan, melainkan sebagai lembaga yang subordinat. Kewenangan DPD dijalankan melalui kewenangan yang dimiliki DPR. Sebagai sesama lembaga perwakilan, tidak aneh jika publik banyak membandingkan antara kinerja DPR dan DPD. Pembandingan ini memang tidak proporsional karena keduanya memiliki kewenangan yang berbeda.
Namun tentu saja hal ini tidak boleh menjadi alasan tanpa upaya yang berarti. Ketidakseimbangan kewenangan dapat dikurangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Jika kewenangan lembaga terbatas, kualitas sumber daya manusia akan mampu menembus keterbatasan itu. Sayang, hingga saat ini belum dirumuskan mekanisme pencalonan dan persyaratan calon anggota DPD yang mampu mengenkurasi calon-calon berkualitas.
Revitalisasi DPD
Penghapusan DPD dapat diterima pada saat DPR telah mampu menampung keterwakilan daerah. Artinya, anggota DPR yang dipilih dari suatu dapil juga dapat menjalankan fungsi mewakili daerah itu sebagai satu kesatuan bukan hanya individu pemilih, melainkan juga wilayah dengan segala sumber daya yang terdapat di dalamnya. Sebaliknya, sistem dan kultur politik yang berjalan ternyata justru berjalan ke arah dominasi keterwakilan politik.
Hal itu ditunjukkan dengan dominasi pengaruh partai politik yang semakin besar terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan para anggota DPR. Jangankan bergerak ke arah keterwakilan daerah, menjadi lembaga yang menampung keterwakilan politik individu pemilih pun semakin menipis karena dominasi partai politik. Dalam konteks demikian, keberadaan DPD masih dibutuhkan demi menjaga aspirasi daerah tetap dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan nasional, dan mengimbangi dominasi perwakilan politik.
Yang diperlukan adalah revitalisasi melalui aturan hukum yang mengembalikan dan menjaga kewenangan konstitusional DPD sesuai putusan MK, serta perbaikan mekanisme dan persyaratan calon anggota DPD guna peningkatan kualitas anggota. Ini tentu saja membutuhkan kesadaran dan kerelaan pembentuk undang-undang, DPR dan presiden.
Bahkan, hasil perubahan UUD 1945 itu sendiri menjadi pangkalberbagaipemikiran, baik yang cenderung ke arah sebelum perubahan maupun gagasangagasan baru memperbaiki kelemahan yang sering kali memang baru dapat diketahui dan disadari ketika dilaksanakan. Setelah gagasan mengembalikan GBHN dengan konsekuensi mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi, muncul gagasan penghapusan lembaga DPD.
Keberadaan DPD dipandang tidak efektif dan efisien serta belum membuktikan kebermanfaatannya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menilai tepat tidaknya penghapusan DPD, kiranya perlu dilihat dua hal penting agar tatanan bangsa semakin matang, tidak maju mundur. Pertama, apa argumentasi pemikiran pembentukan DPD. Kedua, mengapa kinerja DPD belum optimal sehingga jelas kebermanfaatannya bagi kehidupan bangsa.
Argumentasi Pembentukan DPD
Pembentukan DPD setidaknya dilandasi oleh dua argumentasi utama. Pertama, sebagai suatu negara demokrasi menghendaki keterlibatan rakyat dalam pemerintahan. Rakyat dalam hal ini tidak hanya dimaknai sebagai individu warga negara, tetapijugameliputikepentingan dari kesatuan-kesatuan sosial, termasuk daerah sebagai kesatuan bukan hanya rakyat, melainkan juga wilayah dengan kondisi geo-grafis dan sumber daya alam.
Karena itu, di samping perwakilan politik, yang diasosiasikan mewujud dalam bentuk DPR, dibutuhkan adanya lembaga yang memenuhi keterwakilan daerah. Dengan demikian keberadaan DPD sebagai bentuk keterwakilan daerah dalam pengambilan kebijakan di tingkat pusat berbeda dengan Senat di Amerika Serikat dan House of Lord di Inggris yang pada awalnya lebih merupakan tempat untuk mewadahi para aristokrat. UUD 1945 sebelum perubahan telah mengenal keterwakilan daerah dalam bentuk unsur utusan daerah dalam keanggotaan MPR.
Pada masaOrdeBaru, pengisian anggota MPR dari utusan daerah merupakan otoritas penuh presiden. Pada umumnya, yang ditunjuk sebagai anggota MPR utusan daerah saat itu adalah pejabat muspida provinsi beserta istri. Keberadaan perwakilan daerah di satu sisi tetap diperlukan, namun di sisi lain perlu perubahan karena bertentangan dengan argumentasi kedua, yaitu bahwa anggota lembaga perwakilan harus dipilih melalui pemilihan umum, bukan diangkat atau ditunjuk oleh presiden.
Di awal reformasi, perbaikan dilakukan dengan mengubah mekanisme pengisian keanggotaan yang semula oleh presiden, menjadi dipilih oleh DPRD provinsi. Akhirnya, melalui perubahan UUD 1945, utusan daerah bertransformasi menjadi lembaga sendiri, yaitu DPD, sebagai lembaga untuk menampung keterwakilan daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilu.
Kewenangan Konstitusional
Pembentukan DPD dibekali dengan kewenangan konstitusional sebagai lembaga perwakilan, yaitu di bidang legislasi, pengawasan, bujet, dan nominasi. Namun, konstruksi yang dipilih bukan kewenangan yang sama kuat dengan DPR, atau yang sering disebut sebagai soft bicameral. DPD dapat mengusulkan dan ikut membahas rancangan undang-undang tertentu terutama yang terkait dengan daerah. Kewenangan yang tidak berimbang dengan DPR tidak berarti dengan sendirinya DPD kehilangan ruang untuk berperan.
Memengaruhi hukum dan kebijakan agar sesuai dengan aspirasi daerah tentu tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk kekuasaan yang sama. Memengaruhi warna kebijakan lebih dapat dilakukan dalam proses deliberasi ketika suatu kebijakan akan dibuat. Hal ini diwadahi dalam kewenangan DPD mengusulkan dan ikut membahas suatu rancangan undang-undang. Demikian pula halnya dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan daerah.
Sayangnya, kewenangan konstitusional yang ada dan tidak seimbang itu semakin diperlemah pada tataran undangundang dan Tata Tertib DPR. Undang-undang MD3 pada awalnya bahkan menempatkan DPD bukan sebagai co-partner dalam proses legislasi dan pengawasan, melainkan sebagai lembaga yang subordinat. Kewenangan DPD dijalankan melalui kewenangan yang dimiliki DPR. Sebagai sesama lembaga perwakilan, tidak aneh jika publik banyak membandingkan antara kinerja DPR dan DPD. Pembandingan ini memang tidak proporsional karena keduanya memiliki kewenangan yang berbeda.
Namun tentu saja hal ini tidak boleh menjadi alasan tanpa upaya yang berarti. Ketidakseimbangan kewenangan dapat dikurangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Jika kewenangan lembaga terbatas, kualitas sumber daya manusia akan mampu menembus keterbatasan itu. Sayang, hingga saat ini belum dirumuskan mekanisme pencalonan dan persyaratan calon anggota DPD yang mampu mengenkurasi calon-calon berkualitas.
Revitalisasi DPD
Penghapusan DPD dapat diterima pada saat DPR telah mampu menampung keterwakilan daerah. Artinya, anggota DPR yang dipilih dari suatu dapil juga dapat menjalankan fungsi mewakili daerah itu sebagai satu kesatuan bukan hanya individu pemilih, melainkan juga wilayah dengan segala sumber daya yang terdapat di dalamnya. Sebaliknya, sistem dan kultur politik yang berjalan ternyata justru berjalan ke arah dominasi keterwakilan politik.
Hal itu ditunjukkan dengan dominasi pengaruh partai politik yang semakin besar terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan para anggota DPR. Jangankan bergerak ke arah keterwakilan daerah, menjadi lembaga yang menampung keterwakilan politik individu pemilih pun semakin menipis karena dominasi partai politik. Dalam konteks demikian, keberadaan DPD masih dibutuhkan demi menjaga aspirasi daerah tetap dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan nasional, dan mengimbangi dominasi perwakilan politik.
Yang diperlukan adalah revitalisasi melalui aturan hukum yang mengembalikan dan menjaga kewenangan konstitusional DPD sesuai putusan MK, serta perbaikan mekanisme dan persyaratan calon anggota DPD guna peningkatan kualitas anggota. Ini tentu saja membutuhkan kesadaran dan kerelaan pembentuk undang-undang, DPR dan presiden.
Janedjri M Gaffar
Koran Sindo, 22/02/2016
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
0 comments:
Post a Comment