Sunday, 21 February 2016

Menunggu KY Menyelamatkan MA

CALO perkara Mahkamah Agung lagi-lagi tertangkap. Penangkapan Kepala Sub-Direktorat Kasasi dan Perdata Khusus Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu bukti adanya percaloan di Mahkamah Agung.

Berbagai kalangan memprediksi sistem percaloan telah terbangun sejak lama oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perkaraperkara di Mahkamah Agung. Dalam bangunan kekuasaan negara hukum, Mahkamah Agung ditempatkan sebagai lembaga penegak hukum atau yudikatif.

Berbeda dari eksekutif dan legislatif, kewenangan Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan yudikatif sangat memengaruhi kualitas negara hukum sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Walhasil, jika Mahkamah Agung ada oknum-oknum yang bermain terkait perkara yang diselesaikan sudah habislah penegakan hukum di negara kita.

Hal ini mengingat peran Mahkamah Agung sebagai penguasa sistem peradilan, memiliki kekuatan putusan yang bersifat final dan mengikat dan memiliki daya paksa yang kuat dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang lain. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.

Pada sisi lain Undang-Undang Dasar 1945 juga mengamanatkan adanya kewenangan lembaga lain yaitu Komisi Yudisial untuk ikut serta dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan ini diamanatkan dalam Pasal 24 B Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan yang diamanatkan kepada Komisi Yudisial ternyata dalam perspektif para hakim agak kurang diterima.

Hal ini paling tidak dengan indikator pengujian Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Jo Pasal 13Aayat (2) dan ayat (3) UU No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Jo Pasal 14Aayat (2) dan ayat (3) UU No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

MK Mengabulkan
Inti dari pengujian yang dimohonkan oleh pemohon berlatar belakang profesi hakim tersebut adalah keberatan atas keterlibatan Komisi Yudisial RI untuk bersama Mahkamah Agung melakukan proses seleksi pengangkatan hakim. Permohonan tersebut tentunya aneh karena mengibaratkan para hakim menolak diawasi dan dikuatkan perannya oleh pihak eksternal Mahkamah Agung.

Anehnya lagi, Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian tersebut dengan amar putusan mengabulkan dengan menghapus kewenangan Komisi Yudisial untuk terlibat dalam proses pengawasan hakim pada tingkat pertama.

Uraian atas kondisi di atas tentunya sangat tidak konsekuen terkait upaya negara kita melakukan penguatan penegakan hukum melalui prinsip check and balance. Idealya dalam proses pengawasan di tubuh Mahkamah Agung terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama, Mahkamah Agung harus menyadari kekuasaan yang dijalankan dalam membuat putusan merupakan sebuah kekuasaan penegakan konstitusi yang secara serta merta harus dibangun melalui proses penguatan putusan yang diperoleh dari dukungan pengawasan lembaga eksternal dan internal. Internal dalam hal ini adalah Mahkamah Agung, sedangkan eksternal dalam hal ini adalah Komisi Yudisial. Kedua, peran Komisi Yudisial yang dipahami bukan hanya sebagai wujud dari pola pengawasan, akan tetapi peran penguatan.

Di sini Komisi Yudisial harus memperankan soft power tindakan penguatan yaitu dengan cara semisal jika ditemukan penyimpangan untuk langsung memberikan informasi kepada Mahkamah Agung dan kemudian secara bersama-sama menyelesaikan masalah tersebut dengan Mahkamah Agung.

Yang perlu dihindari adalah peran hard power pengawasan oleh Komisi Yudisial seperti ketika Komisi Yudisial menemukan penyimpangan di MA, maka KY memublikasikan sehingga dapat diprediksikan akan menjadi muara kejatuhan nama baik lembaga Mahkamah Agung.

Ketiga, penguatan Komisi Yudisial perlu dipahami oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bukan hanya difokuskan oleh hakim. Lebih dari sekadar out, proses administrasi yang ada di Mahkamah Agung juga menjadi bagian dari upaya penguatan Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.
Ketiga poin penting di atas, menjadi instrumen wajib yang harus dihadirkan di Mahakamah Agung selain upaya-upaya strategis dalam perubahan sistem di Mahkamah Agung sendiri. Semua tentunya harus diawali dari kesadaran semua pihak untuk bersama-sama menegakkan hukum secara adil sehingga akan bermuara pada wujud kepastian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
 
Muhammad Junaidi
Koran Sindo, 22/02/2016
Muhammad Junaidi, dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM).   

0 comments: