Tuesday, 23 February 2016

Politik ala Jokowi

Pelan tapi pasti, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sedang menuju titik ekuilibrium baru. Meski di awal kerap dipandang skeptis, praktis Jokowi melewati satu tahun lebih kepemimpinannya dengan baik dan relatif stabil.
Memang tidak semuanya bisa dikontrol. Tapi, arah konsolidasi politik yang dilakukan Jokowi dinilai cukup efektif dan direspons oleh publik positif. Jika ada kesan kabinet yang dipimpinnya tidak kompak dan berjalan sendiri-sendiri, memang tidak bisa dihindarkan sebagai ekses bangunan koalisi berdasarkan partai politik pengusungnya.

Konsolidasi Politik

Situasi terakhir mengindikasikan tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan sejati. Ini tercermin ketika partai-partai politik bergerak untuk merevisi aliansi politiknya pascapemilihan presiden. Praktis, kini hanya menyisakan Partai Gerindra sebagai oposisi pemerintahan di parlemen, setelah Partai Demokrat mengambil sikap ambigu terhadap pemerintahan Jokowi-JK.

Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menuju sikap yang nyata dan terang mendukung pemerintahan Jokowi. Masuknya PAN misalnya tentu bukan tanpa reserve. Karena sulit untuk tidak mengatakan bahwa ada hasrat kuat untuk mendapatkan jatah posisi di kabinet.

Ini juga terkait track record PAN yang selama ini selalu menjadi bagian dari pemerintahan yang sedang berkuasa. Secara kasatmata sesungguhnya Jokowi sedang bekerja ekstrakeras untuk membangun poros kekuatan baru untuk mengamankan kebijakan politik dan pemerintahannya.

Hal ini disadari oleh kenyataan bahwa hubungan Jokowi dengan partai- partai pengusungnya kerap mengalami pasang-surut, terutama dengan PDIP. Terhadap Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, Hanura, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia), Jokowi sudah memberikan kesempatan pada awal pembentukan kabinetnya.

Dalam perspektif lain, hal itu bisa dibaca sebagai bentuk keengganan Jokowi menanggung beban politik dari partai pengusungnya. Maka jika di kemudian hari terdapat ketidakberesan kinerja menterinya, tentu hak Jokowi sebagai presiden untuk melakukan pergantian.

Beda Jokowi dengan SBY

Ada yang berbeda di antara kepemimpinan Jokowi dan pendahulunya. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kita hampir pasti disuguhi dengan rutinitas agenda rapat—meski tidak diketahui apakah hasilnya ditindaklanjuti di lapangan atau tidak.

Bahkan di akhir jabatannya misalnya, SBY menjadi gemar sekali menyampaikan imbauan, instruksi, bahkan curhat dan keluhannya ke publik. Seolah-olah tidak ada ruang lagi bagi SBY untuk berbuat sesuatu yang monumental untuk mengakhiri jabatannya. Tak heran jika lantas publik mempertanyakan apa sesungguhnya warisan atau legacy SBY selama 10 tahun pemerintahan.

Berbeda dengan Jokowi yang justru melakukan antitesisnya. Tidak tampak Jokowi mengumpulkan para menterinya dalam jumlah besar, kecuali ketika rapat-rapat periodik di Kompleks Istana. Selebihnya, Jokowi turun langsung ke lapangan melakukan inspeksi. Bahkan tak cukup sekali bagi Jokowi untuk memastikan instruksinya dijalankan atau tidak oleh bawahannya.

Mungkin tidak mudah bagi Jokowi membongkar kultur lama yang terbangun bahwa menjadi presiden, menteri, atau kepala daerah bukanlah jalan untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan jabatannya. Jabatan itulah yang harus diorientasikan memberikan pelayanan terhadap masyarakat, bukan sebaliknya.

Tentu saja, apa yang dilakukan Jokowi tidak alpa dari kritik, bahkan hujatan sekalipun. Namun, pepatah “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu” kini tengah dijalankan Jokowi. Artinya, saatnya sekarang bekerja, dan silakan hasilnya dievaluasi melalui Pemilihan Umum 2019 atau setelah kepemimpinan lima tahun selesai.

Masa Depan Politik Jokowi

Pertanyaan awam segera muncul, apakah langkah-langkah politik Jokowi sekarang murni semata-mata untuk kerja, kerja, dan kerja? Tidakkah itu tak terkait dengan persiapan pencalonan Jokowi untuk jabatan presiden kedua kalinya? Dalam diskusi-diskusi politik di ruang terbatas, ada ungkapan yang lazim dipahami bahwa upaya mempertahankan kekuasaan itu justru sudah dimulai saat hari pertama dinyatakan menang atau memulai memerintah.

Dalam konteks ini, wajar jika tak ada ruang sedikit pun yang luput dari perhatian Jokowi. Baik dalam menjalankan kinerja pemerintahan maupun dalam membangun citra positif keberhasilan pemerintahannya. Ujung dari semua itu adalah bagaimana politik ala Jokowi dimainkansemaksimalmungkin dan dalam kendali sepenuhnya.

Lantas, apa tanda-tandanya? Hemat penulis bahwa Jokowi sangat yakin dengan dukungan politik yang berasal dari publik terhadapnya. Karena itu, Jokowi berani melawan mainstream partai politik saat ini. Jokowi bahkan tampak bergeming oleh tekanan-tekanan politik dari segelintir kader PDIP untuk melakukan perombakan kabinet.

Strategi politik Jokowi yang terkesan menjauh dari PDIP dalam beberapa fragmen pengambilan keputusan merupakan sinyal kuat bahwa setiap saat Jokowi bisa saja menanggalkan atau meninggalkan PDIP. Artinya, Jokowi benar-benar ingin memosisikan dirinya dalam radar politik yang aman untuk berhitung pada 2019.

Di tengah citra partai politik yang terus tergerus, pilihan politik Jokowi yang mengambil jarak tertentu dengan partai politik memang bisa dipahami. Jika citra positif dan ekspektasi publik terhadap Jokowi dapat dijaga dan dirawat sampai akhir- akhir masa jabatannya, Jokowi bahkan bisa bebas memilih maju dengan partai politik mana pun, dan tidak harus dengan partai politik besar.

Bagi Jokowi, popularitas dan elektabilitas yang tinggi ditambah dengan figur personal yang kuat di publik merupakan modal utama untuk kembali bersaing di Pilpres 2019. Bagi partai politik, faktor Jokowi di atas akan sangat menarik dalam melipatgandakan insentif elektoral dalam pemilu. Inilah masa depan politik Jokowi, masa depan politik yang tidak sematamata bergantung pada partai politik, tapi karena kuatnya figur di tengah masyarakat. Wallahualam.
Isran Noor
Koran Sindo, 23/02/2016
Ketua Umum Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI)  

0 comments: