Tuesday, 23 February 2016

KPK dalam Spketrum Tata Negara

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus diakui merupakan organ baru dalam ketatanegaraan Indonesia pascareformasi. Kenyataan ini menjadikan KPK sebagai anak kandung reformasi.
Reformasi menghendaki pembentukan lembaga antirasuah itu karena korupsi yang marak terjadi sejak 1955. Sulit disangkal betapa pemberantasan korupsi sejak 1955 selalu menemui jalan terjal. Politik dan hukum pemberantasan korupsi selalu “panas” pada awalnya, namun pada akhirnya mati atau “melempem”.

Kombinasi komplikasi politik dengan kelemahan aparatur hukum menjadi penyebab terbesar melempemnya pemberantasan korupsi. Asal-Usul Korupsi dalam sejarah dunia menjadi penyebab tenggelamnya bangsa-bangsa dari panggung kehidupan. Imperium Romawi dan monarki-monarki absolut lainnya tenggelam, terkubur, dari panggung kehidupan karena terlilit dengan korupsi.

Gaius Verres dalam kasus Romawi sekadar contoh sedemikian korupnya memperjualbelikan cara dan pemilihan alat dalam melaksanakan hukuman mati. Pemilihan konsul pada masanya -begitulah yang dicatat oleh sejumlah sejarawanadalah peristiwa penuh suap para cukong kepada pemilih.

Sementara itu pemberian Piagam Monopoli perdagangan atas komoditas tertentu kepada berbagai perusahaan besar pada abad ke-17 di Inggris oleh monarki menandai tindak korup di negeri itu pada zamannya. Apakah negeri-negeri itu yang mengawali pembentukan organ, yang dalam tata negara mutakhir disebut independen? Jawabannya, tidak.

Menjelang penghujung abad ke-19— tepatnya pada 1870—Amerika negara berkredo demokratis itu terlilit monopoli korporat korup. Eksplorasi, produksi, pemurnian, pengangkutan, dan penjualan minyak oleh sejumlah perusahaan yang tampak berdiri sendiri-sendiri dan tak terkait antara satu dan lain dalam kenyataan terintegrasi secara horizontal di bawah kendali John Davison Rockeffeler.

Itulah awal kemunculan apa yang sejak itu—hingga saat ini—dikenal dengan nama trust. Nama yang diberi oleh John D Rockeffeler, bos Standard Oil. Monopoli ala trust inilah, yang selain mencemaskan, juga menakutkan berbagai kalangan, terutama di Cleveland, Amerika Serikat.

Selain menghadapi monopoli minyak milik John D Rockeffeler, mereka juga menghadapi Cornelius Vanderbilt, jagoan di bidang perkeretaapian. “Peduli amat dengan hukum, dan bukannya aku punya kekuasaan,” katanya suatu saat pada 1870 menandai hebatnya orang ini.

Praktik monopolistik yang berpadu dengan kesengsaraan rakyat, yang telah lebih dahulu diamali oleh petani sesudah perang saudara (1860-1864), menambah kejengkelan rakyat. Karena tak tahan, rakyat akhirnya melawan mereka. Kemudian lahirlah gerakan rakyat, gerakan populis, sebelum akhirnya berubah menjadi gerakan progresif.

Pada 1873-1874 mereka berhasil mengirimkan wakilwakilnya ke Kongres. Mereka inilah yang memprakarsai pembentukan Interstate Commerce Act 1887. Di dalamnya diatur Interstate Commerce Commission dan disusul tiga tahun kemudian dengan pembentukan Federal Commerce Commission Act 1890.

Semua komisi ini berkapasitas hukum sebagai organ independen, mengikuti, atau mencontoh hal yang sama, First and Second Bank of Amerika 1816—cikal bakal The Federal Reserve. Nama yang terakhir ini dipakai untuk mengelabui dan mengecoh rakyat Amerika dari status hukum ketatanegaraan Bank tersebut sebagai sentral.

Bank ini berstatus independen dengan konsekuensi tak bisa diurus oleh pemerintah. Kapasitas independen organ- organ itu bernilai hukum sebagai pembatasan atas kekuasaan yang diberlakukan tidak hanya presiden, tetapi juga Kongres. Praktis, presiden dan Kongres tidak bisa mencampuri urusan atau implementasi fungsi organ itu.

Padahal, presiden menurut konstitusi mereka satu-satunya figur sekaligus lembaga tata negara pemegang kekuasaan melaksanakan undang-undang. Pembenaran konstitusional terhadap kapasitas independen yang diberikan kepada The Federal Reserve dan Interstate Commerce Commission tidak terletak pada keberadaan organ atas perintah undang-undang (UU).

Pembenarannya didasarkan doktrin John Marsahal, ketua Mahkamah Agung Amerika yang pertama sekaligus orang yang menyandang predikat sebagai peletak dasar judicial review dalam tata negara Amerika.

Dalam catatan Ralph Anderson, John Marshall berpendapat bahwa Kongres sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan pembentukan UU berwenang mendelegasikan sebagian kewenangan melaksanakan UU kepada organ lain selain presiden. Itulah doktrin Marshal, yang setidaknya menurut ilmuwan tata negara di negara Amerika saat ini Erwin Chemerinsky, disebut doktrin delegation of authority .

Kacau

Presiden Indonesia bersama- sama DPR membentuk UU, sesuatu yang jelas berbeda secara fundamental dengan presiden menurut tata negara Amerika. Presiden Amerika tidak ikut bersama Kongres membentuk UU. Itu sebabnya doktrin tersebut logis diberlakukan di Amerika karena presiden tidak ikut membentuk UU.

UU hanya dibentuk oleh Kongres dan karena itu Kongres berwenang mendelegasikan sebagian kewenangan melaksanakan UU kepada organ lain, selain presiden. Dalam kasus di Indonesia doktrin itu tidak logis. Presiden Indonesia bersama DPR membentuk UU. Perbedaan prinsip konstitusi inilah yang menjadi letak irasionalitas penerapan doktrin delegation of authority di Indonesia.

Celakanya, entah mengecoh atau tidak, UU KPK memiliki ketentuan yang sungguh tidak mungkin tidak berkualifikasi inkonstitusional. Pasal 6 huruf e UU KPK, disebutkan; tegas memberi kewenangan kepada KPK “memonitor penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara.

” Terminologi “pemerintahan negara” yang dinormakan dalam Pasal 6 huruf e UU KPK tentu bila ditafsir secara ekstensif akan meliputi kekuasaan melaksanakan UU, membentuk UU, dan mengadili UU. Bila demikian, hukumnya KPK menjadi cabang kekuasaan tersendiri. KPK secara konstitusional akan berada di atas layaknya MPR masa lalu.

Menariknya, soal sepenting ini gagal dikenali, apalagi dicermati oleh pemrakarsa perubahan UU KPK. Atmosfer politik berkarakter, bukan propaganda— intens dan serempak yang kini terus menanjak pada derajat tertentu—tampaknya akan menutup ruang nalar konstitusional yang memungkinkan penerapan doktrin delegation of authority sebagai sebentuk kekacauan pemikiran hukum ketatanegaraan.

Penerapan doktrin itu menandai betapa liberalisasi sistem hukum Indonesia, khususnya subsistem hukum pemberantasan korupsi, tak mudah dikoreksi. Liberalisasi pemikiran hukum tata negara mungkin akan terus dijadikan senjata pamungkas dalam pertempuran melawan korupsi. Kekacauan ketatanegaraan seperti libe-ralisasi sistem hukum mungkin sebagai penyebab lain suburnya korupsi.

Dalam kenyataannya dunia tidak menyediakan banyak orang yang bergairah dengan pengawasan. Dunia pun tak menyediakan banyak orang yang memandang penyadapan “laksana mawar yang sedang merekah”. Orang sebaik apa pun yang berada di tengah kekacauan sistem ketatanegaraan, jujur, akan menjadi korup, bahkan tiran paling cerdas. Kekacauan ketatanegaraan dalam sejarahnya adalah penyumbang tak terkira terhadap menggilanya korupsi.

Margarito Kamis
Koran Sindo, 23/02/2016
Doktor Hukum Tata Negara,
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Khairun Ternate 

0 comments: