Triyanto Triwikromo

Sesat Pikir Para Binatang ilustrasi Munzir Fadly
PELAJARAN pertama agar kau bisa
bekerja dengan baik di kebun binatangku, Kalam, adalah mengetahui dengan
saksama satwa apa yang bersemayam di dalam jiwamu,” kata Nuh, Direktur
Kebun Binatang Halasnom berkaki pincang berusia 54 tahun itu, pada hari
kelima aku bekerja.
Mematuhi anjuran itu, aku melihat dengan sangat serius aneka satwa
berenangan di kolam, burung-burung di pepohonan, dan binatang-binatang
laut yang dipelihara di akuarium raksasa.
“Menurutmu binatang apa yang bersemayam di jiwaku? Harimau, singa, kuda nil, monyet, kecoa, atau anjing?”
“Tak seorang pun tahu binatang apa yang merasuki jiwamu. Hanya kau
yang bisa merasakan,” kata Nuh seperti menirukan ayat-ayat di sebuah
kitab yang disucikan, “Kau hanya perlu bergaul dengan mereka, maka salah
satu satwa akan menunjukkan betapa ia adalah kembaranmu di dunia
binatang.”
Tentu tidak mudah mencari siapa diri kita di dunia binatang. Bisa
saja aku menganggap diri sebagai jerapah, tetapi ternyata hanya siput.
Bisa saja merasa lebih menyerupai kambing, tetapi ternyata aku
dinosaurus.
Bukan tidak mungkin aku hanya seekor tungau.
PADA hari pertama bekerja, aku
sebenarnya berusaha mengenal apa pun yang hidup dan mati di Halasnom.
Akan tetapi karena datang pada pukul 21.00 saat listrik padam, aku hanya
berhadapan dengan langit dan bumi. Agak gelap. Dari semacam asrama di
kebun binatang itu, aku melihat bulan redup dan sedikit bintang. Angin
dingin menusuk-nusuk tubuhku yang ringkih dan menggigil.
“Malam ini, kalau tidak bisa tidur, bacalah Kitab Kekejaman Para Binatang. Buku
itu akan mengajarimu memahami kemarahan para satwa dan
tindakan-tindakan yang harus kaulakukan ketika hewan-hewan itu ingin
membunuh pengunjung kebun binatang,” Nuh mendesis sambil memberiku
senter.
Dalam cahaya senter yang minim itu, aku membaca buku itu dan
kusimpulkan: singa hanya mencabik-cabik tubuh manusia jika mereka
terlebih dulu disakiti; ular kobra tidak akan menyemburkan bisa jika
manusia tak memusuhi binatang berkepala seperti sendok itu.
Pada hari kedua Nuh masih mengurungku di perpustakaan. Aku masih
belum melihat binatang-binatang yang bertengger di pepohonan atau
bergelantungan dari dahan ke dahan. Aku belum bisa menatap buaya
menghantamkan ekor ke tubuh anak sapi malang. Aku belum bisa mengamati
ikan-ikan tersesat di rerimbun ganggang. Dari jendela, aku bisa melihat
cakrawala. Ada gelap dan terang yang dipisahkan oleh cakrawala itu.
“Kau harus membaca buku Tak Ada Agama untuk Binatang Pertama.
Banyak orang menganggap binatang pertama yang diciptakan Tuhan adalah
kuda nil. Ada pula yang ngotot bilang: dinosauruslah nenek moyang
seluruh binatang di dunia. Jangan percaya! Di buku ini kau akan tahu:
hanya ularlah yang layak disebut sebagai hewan pertama. Ular tentu saja
tidak beragama. Jika beragama, ia tak mungkin mau bersekutu dengan
iblis.”
Tak tuntas aku membaca buku itu. Sementara kusimpulkan: jika para
binatang diberi kesempatan memeluk agama, sebaiknya mereka tidak memeluk
agama manusia. Agama para binatang—apa pun namanya—mungkin lebih bisa
menjadikan hewan-hewan saling mengasihi, tidak baku bunuh, dan
memuliakan sesama.
PADA hari ketiga Nuh mengajakku
mengenal seluruh lokasi kebun binatang. Ia juga memperkenalkan kepadaku
nama-nama pohon, bunga-bunga, jamur-jamur, benalu, dan tumbuh-tumbuhan
kecil lain yang sangat sulit kusebut namanya. Ada yang bernama
zigaregore. Ada yang bernama sosopapata. Aku tidak tahu dari bahasa apa
nama-nama tumbuhan itu. Mungkin dari bahasa yang hanya diketahui oleh
Nuh atau karangan belaka.
“Pohon-pohon ini akan menjadi tempat persembunyian terbaik jika
sewaktu-waktu ada binatang yang hendak membunuhmu. Karena itulah, jangan
lupa, sapalah mereka setiap kau lewat atau merawat mereka. Ajaklah
mereka berbicara. Pelajarilah bahasa bunga-bunga dan tetumbuhan.”
“Kau sering bercakap-cakap dengan mawar atau pohon durian?”
Nuh mengangguk. Saat itu pula Nuh tampak berbicara dengan pohon kelapa.
“Apa yang dikatakan pohon kelapa kepadamu?”
“Ia ingin agar kau memeluknya.”
Tak menunggu perintah, aku pun memeluk pohon kelapa itu.
“Ciumlah!”
Aku pun mencium pohon itu sepenuh hati.
“Jangan sampai pohon itu hamil!” Nuh bercanda.
Tidak! Tidak! Mungkin Nuh memang tahu pada suatu saat pohon kelapa
itu akan melahirkan sesuatu yang tak terduga. Mungkin Nuh paham pada
suatu ketika pohon kelapa itu bilang, “Aku sedang mengandung malaikat
berkepala kelinci. Karena itu, jangan pernah menganggap aku sebagai
pohon majal yang terlunta-lunta….”
Jadi, kupastikan Nuh tidak sedang bercanda.
PADA hari keempat aku tidak
melakukan tindakan-tindakan penting. Bersama Nuh, aku berjalan di antara
pepohonan, tetapi lebih sering mencuri-curi pandang pada matahari.
Matahari yang entah mengapa bias sinarnya berubah jadi ungu semua. Aku
juga memandang bulan. Bulan tak gaib. Bulan biasa. Bulan yang lebih
tampak sebagai punggung mangkuk berukir kepala naga. Aku juga menatap
bintang-bintang. Bintang-bintang biasa. Bintang-bintang berbentuk
kalajengking tanpa mata.
“Kebun binatang ini tidak berarti apa-apa tanpa matahari, bulan, dan
bintang. Tanpa benda-benda yang bertebaran di tatasurya kita itu, dunia
akan gelap. Dalam kegelapan, tak akan ada apa-apa yang bisa kita lihat,
bukan?” kata Nuh sambil mengajakku berjalan ke arah kolam.
“Mengapa kau mengajakku ke sini?”
“Aku ingin kau memandang bulan dan bintang di keheningan dan
kebeningan kolam. Ini keindahan yang sekali waktu perlu dirasakan saat
kau mulai jenuh bekerja di kebun binatang.”
“Kau pernah merasa bosan mengelola kebun binatang ini?”
Nuh menggeleng.
“Mengapa?”
“Karena ada sesuatu yang masih ingin kucari di sini. Besok, kau akan tahu, apa yang seharusnya kita cari di kebun binatang.”
PADA hari kelima, kau sudah tahu,
Nuh bercerita tentang hewan yang bersemayam di jiwa dan bagaimana
keharusan bergaul dengan para satwa.
“Apakah kau masih ingin mencari binatang apa yang bersemayam di jiwamu?”
“Masih,” kata Nuh.
“Selama ini belum pernah bertemu dengan hewan yang kaumaksud?”
“Hampir?”
“Hampir?”
“Ya,” kata Nuh, “Semula aku menganggap gajahlah binatang yang melekat
di jiwaku. Tidak ada binatang, kecuali gajah, yang begitu dekat
denganku. Karena itu saat mengawasi kebun binatang yang sangat luas ini,
aku selalu menunggang gajah. Kuajak gajah itu bercakap-cakap. Ia
seperti mengerti bahasaku. Aku seperti mengenal bahasa gajah. Kami
begitu intim. Kami begitu tak terpisahkan. Aku percaya pada apa pun yang
dikatakan sang gajah. Gajah percaya pada apa pun yang kukatakan. Para
karyawan bilang, ‘Pak Nuh telah berpacaran dengan gajah molek.’”
“Dan kau kemudian menikahi gajah itu?” aku bercanda sambil menghindar
dari kemungkinan bertabrakan dengan sepasang monyet yang berkejaran
memperebutkan setandan pisang.
“Tentu saja tidak. Gajah ternyata bukan kembaranku di dunia binatang.
Pada suatu hari ia menendangku dan menginjak kakiku. Kakiku remuk.
Kakiku pincang permanen hingga sekarang. Kembaran tak akan pernah
melukaimu dalam situasi apa pun. Seintim apa pun kau dengan hewan
kesukaan jika satwa itu melukaimu, tidak perlu ia kauanggap sebagai
kembaran,” kata Nuh bercerita lagi, “Sejak itu, Kalam, aku terus mencari
kembaranku di dunia binatang. Aku pernah intim dengan buaya, kuda nil,
merak, rusa, kepiting, dan ular, tetapi semuanya belum menunjukkan
tanda-tanda sebagai kembaranku.”
“Kau tidak putus asa mencari kembaranmu?” aku bertanya sambil menyaksikan dua badak bermain-main di kubangan dangkal.
“Aku tidak pernah putus asa. Kini aku sedang sangat intim dengan seekor macan tutul.”
“Ia telah menjadi hewan yang sepenuhnya jinak?”
Nuh menggeleng. Gelengan itu membuat aku membayangkan di
tengah-tengah auman singa, jerit monyet, cuitan burung jalak, kekacauan
berang-berang, kecerewetan kodok-kodok hijau, meong kucing-kucing kecil,
selak anjing-anjing berbintik hitam, keributan unta, dan lalu lalang
manusia yang berisik, macan tutul itu bisa saja mengoyak-ngoyak tubuh
Nuh di dalam kerangkeng. Kemarahan binatang tak bisa kita duga bukan?
“Kau tidak takut bergaul dengan macan tutul?”
“Aku tak pernah memiliki rasa takut,” kata Nuh pelan.
Nuh memang tak punya rasa takut. Hari itu, ia tampak bisa bergaul
dengan singa, beruang, ular kobra, dan buaya yang senantiasa menyeringai
dengan tanpa melibatkan pawang.
“Kau hanya perlu bergaul dengan mereka. Kau jangan menganggap
satwa-satwa itu sebagai makhluk lain!” kata Nuh mengulang nasihat
sebelum makan siang.
Setelah itu aku melihat para pengunjung kebun binatang menatap takjub hewan apa pun yang mereka temui.
“Kalau di kehidupan kedua diberi kesempatan menjadi hewan, kau ingin jadi apa?” Tanya seseorang pemuda kepada mungkin pacarnya.
“Cumi-cumi,” jawab sang perempuan mungil.
“Cumi-cumi kurang keren. Bagaimana kalau jadi tapir?”
“Tapir juga kurang keren. Bagaimana kalau babi?”
Tak ada jawaban yang memuaskan. Kedua makhluk itu mungkin akan
bertanya jawab sampai mereka menemukan satwa apa yang paling diidolakan.
HARI kelima bekerja di Halasnom ditutup dengan nasihat Nuh kepadaku. Nasihat itu jika dibuat buku kira-kira bisa diberi judul Sepuluh Ciri-ciri Kembaran Manusia di Kebun Binatang. Kata
Nuh, “Pertama, kembaranmu tidak akan pernah melukai atau membunuhmu.
Kedua, ia akan senantiasa mengajakmu bercakap-cakap jika kau
menginginkan. Ketiga, ia akan mengajarimu untuk lebih percaya kepada
Tuhan. Keempat, kembaranmu mengajakmu memuliakan persahabatan. Kelima,
ia tidak akan mengajakmu melakukan tindakan-tindakan buruk. Keenam,
kembaranmu tidak akan pernah mengencingi wajahmu. Ketujuh, ia selalu
mengajak berak bersama agar mendapatkan kebahagiaan bersama. Kedelapan,
ia tidak mengajak ke jamuan makan malam di comberan. Kesembilan, ia
tidak mengajak kentut bersama-sama meskipun hal itu mungkin bisa menjadi
orchestra terindah. Kesepuluh, kembaranmu tidak akan mengajari kamu
mencuri apa pun yang dimiliki makhluk lain. Tak ada korupsi meskipun
hanya mencuri sedikit jatah daging sang macan.”
Menurutku nasihat Nuh berlebihan. Nuh seakan-akan menganggap para
satwa sebagai makhluk kelas tinggi. Dalam pemahaman Nuh, para hewan
tampak menguasai manusia, dan bukan sebaliknya. Nuh menempatkan hewan
sebagai makhluk mulia dan manusia sekadar hewan bertulang belakang penuh
dosa.
“Apakah dalam setiap jiwa satwa ada citra Tuhan?” aku menggoda Nuh dengan pertanyaan konyol, sebelum kami berpisah.
“Aku tidak pernah melibatkan Tuhan dalam urusan satwa dan manusia.”
“Apakah ada citra malaikat?”
“Aku juga tidak pernah berurusan dengan malaikat.”
“Kau menganggap Tuhan dan malaikat telah mati?”
“Kau tidak perlu memaksaku mencampuradukkan persoalan surga dan kebun binatang, Kalam.”
“Apakah Tuhan terlepas dari persoalan kebun binatang?”
“Apakah kau menganggap akan ada kekacauan dan dosa di dunia binatang?
Apakah pada saat kiamat tiba akan muncul semacam juru selamat yang
menggiring para satwa ke surga Tuhan?” Nuh balik bertanya.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku melongo. Aku terpana pada pertanyaan tidak terduga itu.
Karena pertanyaan itu masih menggantung, aku tergoda melanjutkan
pertanyaan Nuh, “Apakah Tuhan juga akan mengirim banjir besar untuk para
binatang? Apakah Tuhan akan membakar kebun binatang ketika para satwa
itu ingin bercumbu dengan sesama atau memiliki berahi tak tertahankan
kepada para malaikat?”
Tentu saja Nuh tidak akan menjawab karena aku melontarkan pertanyaan
itu dalam hati. Mungkin karena tahu aku gelisah, Nuh menepuk-nepuk
pundakku. “Usiamu masih 20 tahun, Kalam. Cepat atau lambat kau akan bisa
menjawab pertanyaan apa pun dari orang lain ataupun dirimu sendiri. Aku
hanya ingin mengatakan kebun binatang itu bukan Taman Eden. Karena itu,
tidak perlu kau percakapkan tentang dusta ular, kejatuhan manusia, atau
hukuman Tuhan kepada para makhluk. Kebun binatang ini, jika kau tidak
hati-hati, justru bisa jadi neraka. Ibarat singa, ia akan bisa mengerkah
kepalamu.”
Tak kudebat perkataan Nuh. Aku percaya Nuh berkata benar.
Kini aku berdebar-debar menunggu apa pun yang bakal terjadi pada hari keenam aku bekerja di Halasnom.
“KALI pertama aku merasa bertemu
dengan kembaranku terjadi pada hari keenam aku bekerja,” kata Nuh, “Aku
mengira, kau juga akan menemukan kembaranmu pada hari keenam kau berada
di Halasnom.”
“Pagi ini aku belum bertemu satwa apa pun,” kataku.
“Dulu aku juga begitu. Namun tepat pukul 12.03 pada hari keenam aku
bekerja, puluhan gajah mengepungku. Tentu saja aku panik. Semula aku
mengira mereka akan meremukkan tubuhku dengan kaki-kaki yang kokoh atau
membanting dengan belalai yang panjang. Namun, ternyata gajah-gajah itu
justru seakan-akan menyembahku. Saat itu, mungkin saja mereka bilang,
‘Kaulah kembaranku! Kaulah kembaranku!”
“Kau yakin hari ini aku akan bertemu dengan kembaranku?”
Nuh mengangguk.
Entah mengapa kali ini aku tidak percaya kepada Nuh. Karena itulah,
kubiarkan Nuh tetap berada di perpustakaan, sedangkan aku memilih
berkeliling dari satu kandang ke kandang lain di Halasnom. Aku tertarik
untuk bergaul dengan hewan-hewan yang dianggap liar. Aku berharap salah
satu dari hewan liar pemuja kebebasan itu merupakan kembaranku di dunia
binatang.
Pagi itu sebelum Halasnom diserbu pengunjung, aku mencoba mengamati
sepak terjang kuda-kuda nil, buaya-buaya, hyena-hyena, bison-bison,
beruang-beruang, dan singa-singa.
Kepada bison-bison aku bilang, “Kalian pasti bukan kembaranku. Wajah kalian tidak cukup tampan.”
Kepada beruang-beruang aku berteriak, “Kalian satwa pemalas yang lamban. Kalian pasti bukan kembaranku.”
Kepada singa-singa aku bergumam, “Kalian memang perkasa. Siapa pun
gampang kalian bunuh. Kalian pasti bukan kembaranku. Lihatlah, aku tak
punya taring kuat, aku tak punya kuku runcing, badanku teramat
kerempeng.”
Kepada hyena-hyena aku tak berani berkata apa-apa. Aku hanya
membatin, “Andai saja kalian adalah binatang-binatang kembaranku, tentu
aku akan jadi makhluk paling perkasa di Halasnom. Aku akan bisa memangsa
siapa pun hidup-hidup.”
Hingga pukul 11.00 belum ada tanda-tanda aku bakal bertemu dengan
binatang kembaranku. Masih ada waktu satu jam untuk secara acak
mengunjungi binatang-binatang yang mungkin saja merupakan kembaranku di
dunia satwa. Karena itulah, aku pun bergegas menuju ke lokasi
angsa-angsa yang berkejaran dengan burung unta, rusa-rusa, orangutan
yang bercanda dengan aneka monyet, babi-babi liar, macan tutul, kijang
yang melamun, bebek-bebek pesolek, kucing-kucing besar, dan katak-katak
hijau.
“Ternyata tidak ada kembaranku di dunia binatang. Mungkin kembaranku
telah jadi fosil. Mungkin kembaranku adalah makluk-makhluk yang sudah
punah pada masa purba,” aku membatin ketika kulihat arloji menunjuk
pukul 11.59.
Aku salah duga. Pada pukul 12.03 dari semak-semak dan tanah-tanah
berlubang muncul begitu banyak cacing. Cacing-cacing berlendir dari
tanah becek berair itu bergerak begitu cepat dan segera mengepungku.
“Kembaranku hanya seekor cacing?” aku membatin.
Bisa ya bisa tidak. Aku harus menguji apakah hermafrodit berotot
melingkar dan longitudinal memenuhi kriteria sebagai kembaran. Aku harus
mengajak cacing-cacing itu bercakap-cakap. Bercakap-cakap, kau tahu,
adalah penguji paling sahih.
“Siapakah tuhanmu?” aku mendesis.
Cacing-cacing itu tidak menjawab. Mungkin memang mereka tidak bisa bicara.
“Apakah malaikat di dunia cacing juga memiliki sayap?”
Cacing-cacing itu tetap bungkam.
“Apakah cacing juga bisa jatuh ke dalam kubangan dosa. Kalian menggerogoti apel juga?”
Cacing-cacing itu tetap membisu.
“Apakah dunia cacing mengenal reinkarnasi?” aku terus mencecar dengan
pertanyaan kunci, “Apakah jika diberi kesempatan hidup kali kedua dan
seterusnya, apakah kalian ingin jadi cacing lagi?”
Cacing-cacing itu mulai merespons dengan cara lain. Mereka melakukan gerakan sama. Mereka seperti menggeleng bersama.
“Jadi kuda?”
Cacing-cacing itu terus bergerak-gerak.
“Jadi rajawali?”
Cacing-cacing mulai berjuang menirukan bahasa manusia.
Aku jijik dan geli membayangkan cacing-cacing itu sebagai kembaranku di dunia binatang.
“Apakah kau tidak ingin jadi manusia?”
Cacing-cacing itu tak menjawab. Cukup lama aku menunggu apa yang akan
dikatakan oleh para cacing. Mereka tampak bercakap-cakap sendiri
kemudian berbalik meninggalkan aku. Mereka bersama-sama menyusup ke
tanah becek dan menghilang.
“Menghilang? Tidak! Tidak!” kata Nuh setelah kuceritakan kisah para
cacing itu di perpustakaan, “Mereka menyusup ke kubangan-kubangan kecil
di kepalamu. Mula-mula mereka menempel di kakimu lalu bergerak
pelan-pelan ke kepala, setelah itu satu per satu menyelinap ke dalam
liang hidungmu.”
Aku tidak percaya pada penjelasan Nuh. Aku masih cukup waras untuk
memahami betapa setiap ucapan Nuh hanyalah sebuah khayalan. Akan tetapi
kenyataannya, aku merasa cacing-cacing itu makin karib dengan seluruh
bagian tubuhku. Cacing-cacing itu tak hanya berdiam di kepala, tetapi
menyebar hingga ke kemaluan hingga ke lubang anus. Mereka tak hendak
membunuhku. Mereka hanya melata ke sana kemari. Merasuk ke dalam
tubuhku. Merasuk ke dalam pikiranku.
“Kau tidak perlu kaget jika nanti malam cacing-cacing itu bilang,
‘Kami tidak mau menjadi manusia. Manusia itu makhluk paling konyol
sedunia. Sok kuasa. Sok pandai. Sok buas. Sok segalanya.’ Dulu para
gajah juga mengucapkan kata-kata semacam itu kepadaku,” kata Nuh.
Aku terdiam. Jika para cacing—dan mungkin binatang-binatang
lain—menganggap manusia hanyalah monster ganas, maka sesungguhnya mereka
itu berada dalam situasi sesat pikir yang luar biasa.
Atau jangan-jangan manusia memang makhluk berkasta terendah di dunia?
Aku—dengan kemungkinan kembaran seekor cacing—tidak akan menjawab
pertanyaan yang meledek kekerdilan manusia.
(Koran Tempo, 30-31 Januari 2016)
Semarang, Januari 2016
Triyanto Triwikromo memperoleh Penghargaan Pusat Bahasa 2009. Telah menerbitkan, antara lain, Surga Sungsang (buku cerita, 2014) dan Kematian Kecil Kartosoewirjo (buku puisi, 2015).
0 comments:
Post a Comment