Riduan Situmorang
BERBICARA mengenai pemuda berarti berbicara juga mengenai masa depan.
Berbicara mengenai masa depan berarti berbicara juga mengenai keamanan
negeri. Dalam konteks yang sama, berbicara mengenai keamanan negeri,
berarti juga harus berbicara mengenai seberapa rela, sadar, dan mampu
kita untuk membela negara. Apa sebenarnya bela negara?
Bela negara adalah sebuah HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep" \o "Konsep" \t "_top" konsep yang disusun dalam bentuk perangkat perundang-undangan oleh petinggi suatu negara tentang patriotisme demi kepentingan dan eksistensi negara yang bersangkutan. Jadi, bela negara bukan tentang seberapa gencar negara memberikan hak, melainkan seberapa sadar warga negara untuk memberikan kewajiban. Dia pun tidak sekadar terikat pada kepentingan negara, tetapi harus benar-benar terikat dan terikut pada kepentingan negara itu pula.
Tentu saja frase ”bela negara” dalam konteks kekinian bukan berarti harus angkat senjata dan hanya dilakukan oleh militer. Semua warga negara berhak, bahkan berkewajiban untuk melakukannya sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (3). Mengacu pada hal yang sama, dalam Pasal 30 Ayat (1) pun disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib dalam usaha pembelaan negara. Dalam hal ini, pengertian bela negara harus dimaknai sebagai upaya setiap warga negara untuk mempertahankan negara terhadap ancaman, baik dari luar maupun dari dalam negeri.
Tak Peduli
Dari luar, misalnya, bisa datang melalui modus bantuan dan komoditas. Orang menyebutnya perang budaya dan perang pasar. Sialnya, di sinilah kita sering tidak sadar atau yang lebih parahnya pura-pura tidak sadar.Sebagai hasilnya, lihatlah, gondang sembilan kini sudah lebih sering ditabuh di Johor dibandingkan di Sumatera Utara. Reog ponorogo dan tari pendet menjadi latar promosi Malaysia. Rendang pun sudah menjadi masakan tradisional Malaysia. Dewasa ini, angklung bahkan sudah diajarkan di sekolah-sekolah negeri tetangga, dan entah apa lagi yang akan menyusul.
Kita? Ah, sudahlah, kita terlalu asyik dengan gempuran budaya Barat. Imbasnya, kita lebih memilih produk bikinan Paris dan Italia daripada produk pribumi. Maka, jadilah batik-batik bodong dari Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera dapat dengan mudah ditemukan di berbagai toko cendera mata di negeri tetangga dengan label produk budaya mereka. Tak secuil pun label ”made in Indonesia”. Padahal, jelas-jelas itu karya perajin tradisional Indonesia. Tetapi, adakah yang peduli dan yang merasa kehilangan muka?
Dengan nasib yang sama, bahkan lebih tragis, jejak peradaban pun dikacaukan. Jejak yang mestinya bisa diorkestrasi sebagai deposit budaya ditinggalkan begitu saja, bahkan sengaja dijual untuk kantong sendiri. Maka, kini benda-benda itu ada yang tertidur pulas di lemari-lemari kaca museum—baik yang terurus maupun yang tak terurus—hingga akhirnya lapuk termakan zaman. Ada yang berpindah ke tangan makelar barang antik dan dipajang dengan megah di etalase lemari museum di berbagai kota besar di Eropa, atau dipajang di ruang tamu rumah orang kaya. Percayalah, itu semua merupakan gempuran terhadap budaya kita. Celakanya, kita membiarkannya karena tidak merasa kehilangan.
Seperti halnya jejak peradaban dan kebudayaan yang mengikutinya, deposit kekayaan alam seperti tambang pun diperkirakan akan bernasib sama. Jika tidak, negara lain melalui korporasinyalah yang akan menikmatinya. Lihat, bukankah banyak perusahaan mahabesar sekelas Freeport di sini? Dari mana mereka hidup dan besar kalau bukan dari Indonesia. Akan tetapi, apakah kita menikmatinya? Bukankah hingga kini daerah mutiara hitam Papua masih bergejolak hanya karena mereka miskin, padahal daerah mereka sangat kaya?
Ketahuilah, seperti kata Daoed Joesoef, semua pertanyaan yang berjejer ini ibarat avant tout suatu ekspresi dari keraguan. Bukan keraguan yang melemahkan, melainkan suatu keraguan yang menggalakkan semangat kritis untuk kembali bertanya dengan hati jernih. Yang dipertanyakan bukanlah diri pribadi kita, melainkan apa-apa yang selama ini telah kita perbuat dengan Tanah Air yang tentunya dilapisi semagat rasa cinta untuk membela negara. Bagaimana kita akan melakukannya?
Dalam syair lagunya yang berjudul Imagine, The Beatles pernah menarasikan bahwa negaralah satu-satunya dan yang sesungguhnya yang benar-benar mampu membuat kita rela berkorban jiwa. Bahkan, memang terkesan berlebihan dan terlalu imajiner, masih menurut The Beatles, andaikata—atau sebaiknya—negara tak perlu ada supaya kita tak bicara mengenai kerelaan mati demi negara. Artinya, tidak ada pengorbanan yang lebih baik kalau sampai mengorbankan jiwa raga. Dan, seperti kata The Beatles lagi, tidak ada pengorbanan yang lebih baik kalau tidak pada negara.
Tentu, pernyataan ini masih subjektif dan masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi, hal itu sudah sangat terang meneguhkan bahwa pada prinsipnya, negara membutuhkan apa yang bisa kita lakukan untuknya, sekecil apa pun itu! Tak perlu harus berdarah-darah atau seheroik yang dinarasikan The Beatles. Yang penting, jelas dan ikhlas. Dari mana kita memulainya?
Arthur Ashe—olahragawan asal AS yang pada akhirnya didera banyak penyakit—pernah mengatakan “mulailah dari mana kamu berada, pergunakanlah dari apa yang kamu miliki, dan lakukanlah apa yang kamu bisa”. Artinya? Kita tidak perlu harus ke istana untuk mengabdi negara, tak perlu harus kaya raya, dan tak perlu harus mahir. Lakukanlah dari keadaan kita sekarang, tentu harus dengan ikhlas.
Senada dengan itu, JF Kennedy juga pernah berkata, “Jangan tanya apa yang diperbuat negara padamu, tetapi tanyalah apa yang kamu perbuat untuk negara”. Hal itu memiliki pesan bahwa kita tidak boleh sekadar bersikap memprotes dan memprotes. Percayalah, banyak pemuda yang dulunya gagah dalam organisasi kepemudaan telah melakukannya. Bahkan, para pemuda ini tercatat lantang dalam mengkritisi rezim Orde baru. Tetapi, lihatlah, ketika pemuda yang dulu menumbangkan rezim Orde baru ini kemudian duduk di istana, mereka hanya diam. Tidak ada perubahan. Bahkan, kita kemudian meringis ketika mengetahui bahwa kini mereka sudah dipenjarakan karena kasus korupsi. Apakah hal demikian merupakan cerminan dari rasa cinta tanah air?
Mengimani
Yakinlah selain bela negara, cinta tanah air itu bukan tentang sekadar mengamini Indonesia, tetapi juga harus mengimaninya. Dia harus persis bagaimana kita mencintai diri sendiri. Persis bagaimana kita merasakan getaran cinta. Sederhananya, jika saja rasa cinta itu dimaterialisasikan, dia menjadi sebuah pengakuan terhadap 1.280 suku bangsa yang mendiami negeri ini, terhadap pulau-pulau besar dan kecil sebanyak 17.840 buah, terhadap lautan seluas 5,9 juta kilometer persegi, atau 75,32% dari total area nasional, terhadap keberagaman yang menjadi pengikat jaringan primordial, dan lain-lain yang terikut dalam nuansa kebangsaan.
Tetapi, apakah cukup hanya dengan sebuah pengakuan? Tidak, dia harus dilengkapi lagi dengan perlakuan yang didasari rasa cinta untuk membela negara. Maka, pengakuan bahwa kita “orang Indonesia” memiliki konsekuensi, yaitu sebuah perlakuan supaya kita benar-benar menjadi “manusia Indonesia”. Bagaimana itu terjadi? Dengan dada membusung dan sikap tegas: aku “orang Indonesia”, siap mengabdi kepentingan dan keluhuran Indonesia demi “manusia Indonesia”.
Maka, seperti yang sudah ditegaskan di awal, bahwa berbicara mengenai masa depan berarti harus berbicara mengenai pemuda, tentu menuntut aksi nyata dari pemuda. Pemudalah yang menjadi tonggak. Soekarno sudah menegaskannya dengan ungkapan yang melegenda, yaitu “beri saya seratus pemuda, maka akan saya guncang dunia”. Tetapi, pemuda yang seperti apa? Apakah yang berleha-leha dan terhanyut dalam gempuran budaya Barat, apakah yang doyan protes, tetapi miskin alternatif, apakah yang menjual aset bangsa, atau yang malah membantu pihak “musuh”?
Ketahuilah, seperti apa pun Anda, selagi masih mempunyai hati untuk Indonesia, Anda, terutama Anda yang muda, dibutuhkan di negeri ini. Maka, jika Anda seorang pemuda yang berbakat dalam hal sastra, gemakanlah Indonesia melalui sastra. Terbanglah setinggi-tingginya dalam kepakan Garuda dan Sang Saka Merah Putih. Bila perlu dan itu tidak berlebihan, raihlah Nobel Sastra.
Jika Anda seorang pemuda yang berbakat bernyanyi, bernyanyilah dengan semangat Indonesia. Jika Anda akademisi, belajarlah dan membelajarkan anak-anak bangsa untuk kelak melepaskan negeri ini dari kutukan kebodohan. Ingat, Anda, terutama yang masih muda dibutuhkan di negeri ini karena di tanganmulah kemakmuran dan keutuhan NKRI akan terukir!
Bela negara adalah sebuah HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep" \o "Konsep" \t "_top" konsep yang disusun dalam bentuk perangkat perundang-undangan oleh petinggi suatu negara tentang patriotisme demi kepentingan dan eksistensi negara yang bersangkutan. Jadi, bela negara bukan tentang seberapa gencar negara memberikan hak, melainkan seberapa sadar warga negara untuk memberikan kewajiban. Dia pun tidak sekadar terikat pada kepentingan negara, tetapi harus benar-benar terikat dan terikut pada kepentingan negara itu pula.
Tentu saja frase ”bela negara” dalam konteks kekinian bukan berarti harus angkat senjata dan hanya dilakukan oleh militer. Semua warga negara berhak, bahkan berkewajiban untuk melakukannya sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (3). Mengacu pada hal yang sama, dalam Pasal 30 Ayat (1) pun disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib dalam usaha pembelaan negara. Dalam hal ini, pengertian bela negara harus dimaknai sebagai upaya setiap warga negara untuk mempertahankan negara terhadap ancaman, baik dari luar maupun dari dalam negeri.
Tak Peduli
Dari luar, misalnya, bisa datang melalui modus bantuan dan komoditas. Orang menyebutnya perang budaya dan perang pasar. Sialnya, di sinilah kita sering tidak sadar atau yang lebih parahnya pura-pura tidak sadar.Sebagai hasilnya, lihatlah, gondang sembilan kini sudah lebih sering ditabuh di Johor dibandingkan di Sumatera Utara. Reog ponorogo dan tari pendet menjadi latar promosi Malaysia. Rendang pun sudah menjadi masakan tradisional Malaysia. Dewasa ini, angklung bahkan sudah diajarkan di sekolah-sekolah negeri tetangga, dan entah apa lagi yang akan menyusul.
Kita? Ah, sudahlah, kita terlalu asyik dengan gempuran budaya Barat. Imbasnya, kita lebih memilih produk bikinan Paris dan Italia daripada produk pribumi. Maka, jadilah batik-batik bodong dari Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera dapat dengan mudah ditemukan di berbagai toko cendera mata di negeri tetangga dengan label produk budaya mereka. Tak secuil pun label ”made in Indonesia”. Padahal, jelas-jelas itu karya perajin tradisional Indonesia. Tetapi, adakah yang peduli dan yang merasa kehilangan muka?
Dengan nasib yang sama, bahkan lebih tragis, jejak peradaban pun dikacaukan. Jejak yang mestinya bisa diorkestrasi sebagai deposit budaya ditinggalkan begitu saja, bahkan sengaja dijual untuk kantong sendiri. Maka, kini benda-benda itu ada yang tertidur pulas di lemari-lemari kaca museum—baik yang terurus maupun yang tak terurus—hingga akhirnya lapuk termakan zaman. Ada yang berpindah ke tangan makelar barang antik dan dipajang dengan megah di etalase lemari museum di berbagai kota besar di Eropa, atau dipajang di ruang tamu rumah orang kaya. Percayalah, itu semua merupakan gempuran terhadap budaya kita. Celakanya, kita membiarkannya karena tidak merasa kehilangan.
Seperti halnya jejak peradaban dan kebudayaan yang mengikutinya, deposit kekayaan alam seperti tambang pun diperkirakan akan bernasib sama. Jika tidak, negara lain melalui korporasinyalah yang akan menikmatinya. Lihat, bukankah banyak perusahaan mahabesar sekelas Freeport di sini? Dari mana mereka hidup dan besar kalau bukan dari Indonesia. Akan tetapi, apakah kita menikmatinya? Bukankah hingga kini daerah mutiara hitam Papua masih bergejolak hanya karena mereka miskin, padahal daerah mereka sangat kaya?
Ketahuilah, seperti kata Daoed Joesoef, semua pertanyaan yang berjejer ini ibarat avant tout suatu ekspresi dari keraguan. Bukan keraguan yang melemahkan, melainkan suatu keraguan yang menggalakkan semangat kritis untuk kembali bertanya dengan hati jernih. Yang dipertanyakan bukanlah diri pribadi kita, melainkan apa-apa yang selama ini telah kita perbuat dengan Tanah Air yang tentunya dilapisi semagat rasa cinta untuk membela negara. Bagaimana kita akan melakukannya?
Dalam syair lagunya yang berjudul Imagine, The Beatles pernah menarasikan bahwa negaralah satu-satunya dan yang sesungguhnya yang benar-benar mampu membuat kita rela berkorban jiwa. Bahkan, memang terkesan berlebihan dan terlalu imajiner, masih menurut The Beatles, andaikata—atau sebaiknya—negara tak perlu ada supaya kita tak bicara mengenai kerelaan mati demi negara. Artinya, tidak ada pengorbanan yang lebih baik kalau sampai mengorbankan jiwa raga. Dan, seperti kata The Beatles lagi, tidak ada pengorbanan yang lebih baik kalau tidak pada negara.
Tentu, pernyataan ini masih subjektif dan masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi, hal itu sudah sangat terang meneguhkan bahwa pada prinsipnya, negara membutuhkan apa yang bisa kita lakukan untuknya, sekecil apa pun itu! Tak perlu harus berdarah-darah atau seheroik yang dinarasikan The Beatles. Yang penting, jelas dan ikhlas. Dari mana kita memulainya?
Arthur Ashe—olahragawan asal AS yang pada akhirnya didera banyak penyakit—pernah mengatakan “mulailah dari mana kamu berada, pergunakanlah dari apa yang kamu miliki, dan lakukanlah apa yang kamu bisa”. Artinya? Kita tidak perlu harus ke istana untuk mengabdi negara, tak perlu harus kaya raya, dan tak perlu harus mahir. Lakukanlah dari keadaan kita sekarang, tentu harus dengan ikhlas.
Senada dengan itu, JF Kennedy juga pernah berkata, “Jangan tanya apa yang diperbuat negara padamu, tetapi tanyalah apa yang kamu perbuat untuk negara”. Hal itu memiliki pesan bahwa kita tidak boleh sekadar bersikap memprotes dan memprotes. Percayalah, banyak pemuda yang dulunya gagah dalam organisasi kepemudaan telah melakukannya. Bahkan, para pemuda ini tercatat lantang dalam mengkritisi rezim Orde baru. Tetapi, lihatlah, ketika pemuda yang dulu menumbangkan rezim Orde baru ini kemudian duduk di istana, mereka hanya diam. Tidak ada perubahan. Bahkan, kita kemudian meringis ketika mengetahui bahwa kini mereka sudah dipenjarakan karena kasus korupsi. Apakah hal demikian merupakan cerminan dari rasa cinta tanah air?
Mengimani
Yakinlah selain bela negara, cinta tanah air itu bukan tentang sekadar mengamini Indonesia, tetapi juga harus mengimaninya. Dia harus persis bagaimana kita mencintai diri sendiri. Persis bagaimana kita merasakan getaran cinta. Sederhananya, jika saja rasa cinta itu dimaterialisasikan, dia menjadi sebuah pengakuan terhadap 1.280 suku bangsa yang mendiami negeri ini, terhadap pulau-pulau besar dan kecil sebanyak 17.840 buah, terhadap lautan seluas 5,9 juta kilometer persegi, atau 75,32% dari total area nasional, terhadap keberagaman yang menjadi pengikat jaringan primordial, dan lain-lain yang terikut dalam nuansa kebangsaan.
Tetapi, apakah cukup hanya dengan sebuah pengakuan? Tidak, dia harus dilengkapi lagi dengan perlakuan yang didasari rasa cinta untuk membela negara. Maka, pengakuan bahwa kita “orang Indonesia” memiliki konsekuensi, yaitu sebuah perlakuan supaya kita benar-benar menjadi “manusia Indonesia”. Bagaimana itu terjadi? Dengan dada membusung dan sikap tegas: aku “orang Indonesia”, siap mengabdi kepentingan dan keluhuran Indonesia demi “manusia Indonesia”.
Maka, seperti yang sudah ditegaskan di awal, bahwa berbicara mengenai masa depan berarti harus berbicara mengenai pemuda, tentu menuntut aksi nyata dari pemuda. Pemudalah yang menjadi tonggak. Soekarno sudah menegaskannya dengan ungkapan yang melegenda, yaitu “beri saya seratus pemuda, maka akan saya guncang dunia”. Tetapi, pemuda yang seperti apa? Apakah yang berleha-leha dan terhanyut dalam gempuran budaya Barat, apakah yang doyan protes, tetapi miskin alternatif, apakah yang menjual aset bangsa, atau yang malah membantu pihak “musuh”?
Ketahuilah, seperti apa pun Anda, selagi masih mempunyai hati untuk Indonesia, Anda, terutama Anda yang muda, dibutuhkan di negeri ini. Maka, jika Anda seorang pemuda yang berbakat dalam hal sastra, gemakanlah Indonesia melalui sastra. Terbanglah setinggi-tingginya dalam kepakan Garuda dan Sang Saka Merah Putih. Bila perlu dan itu tidak berlebihan, raihlah Nobel Sastra.
Jika Anda seorang pemuda yang berbakat bernyanyi, bernyanyilah dengan semangat Indonesia. Jika Anda akademisi, belajarlah dan membelajarkan anak-anak bangsa untuk kelak melepaskan negeri ini dari kutukan kebodohan. Ingat, Anda, terutama yang masih muda dibutuhkan di negeri ini karena di tanganmulah kemakmuran dan keutuhan NKRI akan terukir!
0 comments:
Post a Comment