SETELAH dilantik pertengahan bulan Februari lalu, masing-masing
kepala daerah/wakil kepala daerah segera tancap gas membangun
wilayahnya. Para pemimpin daerah tersebut mengemban amanah warga yang
tidak ringan. Seluruh harapan warga dibebankan kepada pemimpin daerah
untuk masa lima tahun mendatang.
Melihat ekspektasi dari masyarakat yang tinggi, semestinya kepala daerah/- wakil kepala daerah selama masa jabatan tidak diberikan cek kosong. Sebagai pejabat publik, akuntabilitas kepala daerah/ wakil kepala daerah harus dikedepankan.
Mereka tidak bisa sekehendak hati dalam menjalankan birokrasi pemerintahan. Keleluasaan wewenang jabatan seharusnya didedikasikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan membangun daerah. Tanpa akuntabilitas publik, pemimpin daerah akan cenderung otoriter.
Dalam konteks semacam itu, kepala daerah/wakil kepala daerah dituntut memiliki kinerja yang baik. Kinerja itulah yang idealnya menjadi pedoman bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang bersangkutan, dan publik untuk menilai prestasi pemimpinnya.
Sederhananya, kepala daerah/ wakil kepala daerah yang mempunyai kinerja bagus dapat dinilai berhasil dalam pemerintahannya. Sebaliknya, jika mereka berkinerja buruk maka kepemimpinannya boleh dikata gagal.
Berhasil atau gagal adalah rapor dari kepala daerah/wakil kepala daerah selama memimpin yang dijadikan refleksi dan penilaian terhadap pemimpin tersebut. Termasuk menjadi pertimbangan bagi masyarakat apabila pejabat itu maju kembali dalam pilkada (incumbent).
Ironisnya, persoalan prestasi incumbent seringkali dilupakan publik. Di daerah yang tingkat kematangan demokrasi warganya masih rendah, faktor subyektif (misal money politics) lebih dominan mempengaruhi keterpilihan calon kepala daerah dibanding faktor obyektif (misal track record atau prestasi calon).
Visi-misi
Lantas, bagaimana mengukur kinerja atau prestasi kepala daerah/wakil kepala daerah? Secara normatif, titik tolak penilaian kinerja kepala daerah/wakil kepala daerah berawal dari visi dan misi yang diusung sejak mereka mendaftarkan diri mengikuti Pilkada. Visi/misi merupakan ‘’tonggak perjuangan’’ pemimpin daerah.
Artinya, visi/- misi harus menjadi fokus perhatian utama yang wajib diwujudkan kepala daerah/- wakil kepala daerah. Sehingga, ketercapaian visi dan misi menjadi salah satu parameter penting untuk melihat keberhasilan pemimpin daerah.
Sayangnya, visi/misi yang pada awalnya diajukan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah tidak jarang hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan administratif calon semata. Terbukti, visi/misi calon sering hanya berupa dokumen instan yang disusun dalam tempo amat singkat, miskin dukungan data, tidak sustainabel, dan tidak rasional.
Karakter visi/misi seperti itu jelas akan menyulitkan kepala daerah/wakil kepala daerah beserta birokrasinya menjalankan roda pemerintahan berdasar fokus dan sasaran yang jelas.
Atau dalam bahasa pesimistis, pemerintahan dengan visi/misi yang ‘’tidak jelas’’ akan sulit diharapkan memiliki arah pembangunan yang jelas pula. Pada tataran praktis, visi dan misi dijabarkan lebih lanjut melalui kebijakan/ program teknis.
Visi/misi yang konsisten diimplementasikan melalui kebijakan- kebijakan teknis akan menentukan capaian kinerja kepala daerah/- wakil kepala daerah. Selain menilai ketercapaian visi dan misi, kinerja pemimpin daerah dapat dilihat pula dari sejauhmana urusan-urusan kewenangan daerah dapat diselenggarakan dengan baik.
Dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 11 dan 12 dinyatakan bahwa kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahan wajib di antaranya pelayanan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, ketenteraman, sosial, tenaga kerja, pangan, dan perhubungan.
Sedangkan urusan pemerintahan pilihan seperti pertanian, kelautan/perikanan, perdagangan, dan perindustrian. Dari perspektif kinerja penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan indikator kinerja utama atau indikator kinerja kunci untuk menilai kinerja dipandang perlu.
Pemerintah sendiri telah memiliki PP Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang di dalamnya terdapat aspek-aspek penilaian evaluasi kinerja. Dengan kata lain, hasil evaluasi tersebut bisa menjadi refleksi keberhasilan kepemimpinan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Urusan-urusan yang langsung berhubungan dengan masyarakat akan langsung bisa dirasakan oleh masyarakat. Misalnya, bagaimana persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan bagaimana kualitas pendidikan di daerahnya, atau kondisi jalan dan fasilitas umum lainnya.
Kinerja pemimpin daerah dapat pula dinilai dari sejauhmana mereka mampu menjalankan tugas-tugasnya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Upaya untuk mengukur kinerja kepala daerah/ wakil kepala daerah perlu ditradisikan, agar para pemimpin daerah terjaga akuntabilitasnya. Tidak ada jalan lain, sebagai langkah awal instrumen dan perangkat untuk menilai kinerja harus diperjelas dan dipertegas terlebih dahulu.
Melihat ekspektasi dari masyarakat yang tinggi, semestinya kepala daerah/- wakil kepala daerah selama masa jabatan tidak diberikan cek kosong. Sebagai pejabat publik, akuntabilitas kepala daerah/ wakil kepala daerah harus dikedepankan.
Mereka tidak bisa sekehendak hati dalam menjalankan birokrasi pemerintahan. Keleluasaan wewenang jabatan seharusnya didedikasikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan membangun daerah. Tanpa akuntabilitas publik, pemimpin daerah akan cenderung otoriter.
Dalam konteks semacam itu, kepala daerah/wakil kepala daerah dituntut memiliki kinerja yang baik. Kinerja itulah yang idealnya menjadi pedoman bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang bersangkutan, dan publik untuk menilai prestasi pemimpinnya.
Sederhananya, kepala daerah/ wakil kepala daerah yang mempunyai kinerja bagus dapat dinilai berhasil dalam pemerintahannya. Sebaliknya, jika mereka berkinerja buruk maka kepemimpinannya boleh dikata gagal.
Berhasil atau gagal adalah rapor dari kepala daerah/wakil kepala daerah selama memimpin yang dijadikan refleksi dan penilaian terhadap pemimpin tersebut. Termasuk menjadi pertimbangan bagi masyarakat apabila pejabat itu maju kembali dalam pilkada (incumbent).
Ironisnya, persoalan prestasi incumbent seringkali dilupakan publik. Di daerah yang tingkat kematangan demokrasi warganya masih rendah, faktor subyektif (misal money politics) lebih dominan mempengaruhi keterpilihan calon kepala daerah dibanding faktor obyektif (misal track record atau prestasi calon).
Visi-misi
Lantas, bagaimana mengukur kinerja atau prestasi kepala daerah/wakil kepala daerah? Secara normatif, titik tolak penilaian kinerja kepala daerah/wakil kepala daerah berawal dari visi dan misi yang diusung sejak mereka mendaftarkan diri mengikuti Pilkada. Visi/misi merupakan ‘’tonggak perjuangan’’ pemimpin daerah.
Artinya, visi/- misi harus menjadi fokus perhatian utama yang wajib diwujudkan kepala daerah/- wakil kepala daerah. Sehingga, ketercapaian visi dan misi menjadi salah satu parameter penting untuk melihat keberhasilan pemimpin daerah.
Sayangnya, visi/misi yang pada awalnya diajukan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah tidak jarang hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan administratif calon semata. Terbukti, visi/misi calon sering hanya berupa dokumen instan yang disusun dalam tempo amat singkat, miskin dukungan data, tidak sustainabel, dan tidak rasional.
Karakter visi/misi seperti itu jelas akan menyulitkan kepala daerah/wakil kepala daerah beserta birokrasinya menjalankan roda pemerintahan berdasar fokus dan sasaran yang jelas.
Atau dalam bahasa pesimistis, pemerintahan dengan visi/misi yang ‘’tidak jelas’’ akan sulit diharapkan memiliki arah pembangunan yang jelas pula. Pada tataran praktis, visi dan misi dijabarkan lebih lanjut melalui kebijakan/ program teknis.
Visi/misi yang konsisten diimplementasikan melalui kebijakan- kebijakan teknis akan menentukan capaian kinerja kepala daerah/- wakil kepala daerah. Selain menilai ketercapaian visi dan misi, kinerja pemimpin daerah dapat dilihat pula dari sejauhmana urusan-urusan kewenangan daerah dapat diselenggarakan dengan baik.
Dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 11 dan 12 dinyatakan bahwa kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahan wajib di antaranya pelayanan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, ketenteraman, sosial, tenaga kerja, pangan, dan perhubungan.
Sedangkan urusan pemerintahan pilihan seperti pertanian, kelautan/perikanan, perdagangan, dan perindustrian. Dari perspektif kinerja penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan indikator kinerja utama atau indikator kinerja kunci untuk menilai kinerja dipandang perlu.
Pemerintah sendiri telah memiliki PP Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang di dalamnya terdapat aspek-aspek penilaian evaluasi kinerja. Dengan kata lain, hasil evaluasi tersebut bisa menjadi refleksi keberhasilan kepemimpinan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Urusan-urusan yang langsung berhubungan dengan masyarakat akan langsung bisa dirasakan oleh masyarakat. Misalnya, bagaimana persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan bagaimana kualitas pendidikan di daerahnya, atau kondisi jalan dan fasilitas umum lainnya.
Kinerja pemimpin daerah dapat pula dinilai dari sejauhmana mereka mampu menjalankan tugas-tugasnya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Upaya untuk mengukur kinerja kepala daerah/ wakil kepala daerah perlu ditradisikan, agar para pemimpin daerah terjaga akuntabilitasnya. Tidak ada jalan lain, sebagai langkah awal instrumen dan perangkat untuk menilai kinerja harus diperjelas dan dipertegas terlebih dahulu.
Didik G Suharto
Suara Merdeka, 01/03/2016
Kaprodi Magister Administrasi Publik UNS Surakarta
0 comments:
Post a Comment