Monday, 29 February 2016

Antara Joey dan Rio

Hasil gambar untuk Meme rio haryantoOleh: Riduan Situmorang.

Pada tahun ini, kita dikagetkan dua prestasi luar biasa dari anak bangsa: Joey Alexander dan Rio Haryanto. Keduanya sudah memanggungkan nama Indonesia ke kolong langit internasional. Joey di panggung musik dan Rio di arena olahraga. Joey bahkan disebut-sebut sebagai bocah ajaib yang akan menjadi masa depan industri musik dunia (bukan semata Indonesia !). Pembawa acara Grammy berkata, “Indonesian piano prodigy.” Pada artikel utamanya, Downbeet juga berseru, “If the word “genius” still means anything, it applies to this prodigy.”

Pengakuan ini menjadi bukti bahwa Indonesia, terutama masyarakatnya, adalah orang-orang berbakat. Pantas diperhitungkan pada percaturan nasional. Masalahnya belakangan adalah ketika karena hal remeh-temeh tersebut, kita kembali sibuk berdebat. Ada yang menghujat, ada yang memuja-muja. Ada yang mengelu-elukan, ada yang mengeluhkan. Kita menjadi bangsa penyinyir, kikir, dan sesat pikir. Betapa tidak, terutama untuk kasus Rio, beberapa dari kita banyak yang frontal menghujat mengapa negara sedemikian “baiknya” kepada Rio. Negara disebut menjadi garapan para feodal.

Semakin Berapi-api

Seperti kita ketahui, perjalanan Rio ke Formula One tidak hanya mengucurkan keringat, tetapi juga banyak uang. Sempat dikabarkan bahwa Rio sudah “menyerah” lantaran negara diam. Saat itu, rakyat melalui media sosial ramai-ramai  menggelorakan agar negara berbaik hati. Tuntutan rakyat dipenuhi. Negara menyanggupi bantuan dengan menggelontorkan dana yang sangat prestisius: Rp100 M dari Kemenpora lewat KONI dan Rp. 75 M dari Pertamina.

Ironisnya, rakyat, tepatnya sebagian penyinyir, kemudian merengek. Mereka menggelontorkan berbagai argumen di media sosial yang ujung-ujungnya mengharamkan kebaikan negara membantu Rio. Disebutlah bahwa dana itu sangat-sangat tidak adil. Tidak adilnya karena dana itu murni untuk seorang Rio (dipeyorasikan menjadi personal Rio sebagai pribadi), bukan kepada negara. Tak ada kepentingan negara di sana, begitu kira-kira!

Mereka semakin berapi-api pula mengharamkan bantuan itu dengan membandingkannya dengan situasi kontemporer negeri ini, di mana berjuta anak miskin telantar, di mana jalanan rusak, di mana sekolah tak layak. Pesannya jelas, mengapa kita membantu satu orang, tetapi malah mengabaikan berjuta orang?

Para penyinyir semakin dan semakin kerasukan karena pada saat yang sama, nama Joey melambung. Oh, dicarilah bagaimana Joey sampai ke puncak tertinggi dunia industri musik. Ketika diketahui bahwa Joey tidak merengek meminta bantuan negara, para penyinyir semakin geram, gelisah, dan semakin punya argumen untuk mengharamkan bantuan negara kepada Rio.

Mereka lupa bahwa pentas Rio dan Joey sangat jauh berbeda. Rio harus bergelimang dana, sementara Joey tidak terlalu. Karena itulah saya kemudian berpikiran kotor bahwa mengapa beberapa dari kita mengagungkan nama Joey adalah semata alat untuk mengharamkan mengapa negara membantu Rio. Ini dikatakan bukan untuk mengurangi Wibawa Joey, tetapi sebagai kritik bagaimana mata hati kita terhadap sebuah perubahan masih dangkal.

Sekilas, ya, kalau dipikir-pikir, apa yang dikukuhkan oleh para penyinyir itu adalah sesuatu yang benar. Negara memang mesti menomorsatukan rakyat yang terpinggirkan. Negara juga harus hadir pada keterasingan. Membantu anak-anak sekolah, membantu anak-anak berprestasi, membantu orang miskin berdaulat.

Tetapi mari kita geser cara pandang kita dan itu masih berkaitan. Bukankah itu artinya bahwa negara juga harus bertanggung jawab untuk menjunjung anak berprestasi ke puncak karier? Untuk apa menyekolahkan, melatih, dan mendidik anak jika anak itu hanya menjadi preman kampung dan kita membiarkannya berjuang sendirian? Bukankah itu sama artinya pula dengan keadaan di mana kita mengharapkan tentara menang melawan musuh, tetapi kita tak memberi alat perang yang mumpuni? Betapa egoisnya kita mengharap tentara menang dan mati-matian berjuang, sementara kita tak memberinya alutsista yang memadai!

Lagipula, apakah kita bisa menjamin bahwa ke depan anak bertalenta seperti Rio akan muncul? Kata T. Agus Khaidir, jangan-jangan Rio adalah anak bangsa yang belum tentu muncul 50 tahun ke depan. Kalau demikian, mengapa kesempatan ini tak dijadikan sebagai momentum? Betapa ruginya kita kalau harus menunggu sampai 50 tahun lagi!

Atau, mudah-mudahan T. Agus Khaidir salah. Siapa yang dapat menggaransi kebaikan pemerintah ini menjadi sesuatu yang sia-sia? Bukankah dengan tenarnya nanti Rio menjadi semacam umpan atau pemantik semangat sehingga anak-anak bangsa ke depan semakin termotivasi? Yakinlah, bangsa ini tidak krisis anak-anak berbakat. Kita hanya krisis motivasi. Krisis pemikiran untuk maju. Kita tak berani berkorban untuk sesuatu yang besar. Kita tak mau mundur selangkah untuk sesuatu persiapan mengukir lompatan kuantum. Kita hanya orang-orang yang selalu curiga. Memandang sesuatu dari segi negatifnya.

Tidak Konsisten

Bahkan, kita adalah orang yang tak konsisten, tak tetap pendirian. Setelah Rio hampir menyerah, kita geram dan memaksa pemerintah. Tetapi ketika dikabulkan, kita malah menggerutu sendiri. Apakah itu artinya kita hanya memberi jebakan kepada orang yang berniat baik? Siapa yang dapat menggaransi bahwa ketika pemerintah tak mau berbaik hati, orang yang menyinyir pemerintah sekarang juga akan kembali bersikap nyinyir dan mengatakan bahwa pemerintah adalah orang yang abai pada prestasi dan hanya sibuk korupsi?

Saya tak sedang bermaksud menghakimi mereka yang nyinyir di sini. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa kita adalah bangsa yang tidak konsisten. Di sisi lain, pesan lebih kuat yang mau disampaikan adalah bahwa memang, niat baik tak selalu harus mendapatkan dukungan 100%. Maka itu, meski tak mendapat dukungan bulat, asal itu sudah benar dan sesuai hati nurani dan jauh dari rongrongan kepentingan, tetaplah maju. Orang besar memang harus lahir dari cemoohan dan kritikan, tentu saja dukungan. Bangsa besar lahir dari ketabahan. Pepatah kontemporer mengatakan, hanya pohon berbuah yang dilempari.

Sudah banyak contoh untuk ini. Sebut, misalnya, tetangga kita, Malaysia. Negara ini pernah galau ketika Mahathir Mohamad membangun International Circuit. Saat itu, Mahathir Mohamad dicemooh. Cemoohan itu bahkan sangat logis. Darimana logikanya membangun sirkuit sedang kita tak punya pembalap yang andal? Bagaimana pula kita dengan rela nanti membiarkan bendera negara lain berkibar di negara kita? Begitu orang Malaysia berseru.

Tetapi, belakangan, orang Malaysia sudah “menjilat” ludah sendiri. Mereka terkenal salah satunya dari sirkuit ini. Bagi Malaysia, sirkuit menjadi pundi-pundi peraup ringgit. Sirkuit menjadi ajang pariwisata. Memang, bendera luar berkibaran, tetapi ringgit mengalir deras. Rakyat sejahtera. Kalau dibandingkan dengan Malaysia, kita justru punya posisi tawar yang lebih. Maksud saya, apakah kita nanti tak malu kalau pada akhirnya menjilat air ludah sendiri?

Sudahlah, mari biarkan Joey dan Rio mengepakkan sayap Garuda. Mereka berkobar, kita juga yang berkibar. Lagipula, pementasan mereka saat ini bukan ajang-ajang politik menjijikkan. Jadi, tak usah dipolitiki! Saya justru memandang sesuatu yang cerah dari sana: akan lahir generasi anak bangsa yang melebihi mereka. Mereka hanya pemantik motivasi. Apakah kita sudah sepemahaman? Mudah-mudahan sudah, tetapi saya tetap saja tak memaksa. Sebab, saya mengerti bahwa kita adalah bangsa yang bebal!
Penulis adalah Pemerhati Danau To
ba dari PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan serta Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan.

0 comments: