Saturday, 27 February 2016

LGBT dan Aktivisme Transnasional

Diskursus lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) pada dasarnya sudah ada sejak 1980-an. Gay adalah istilah yang umum digunakan pada waktu itu dan akhirnya dikenal dengan singkatan LGB (lesbian, gay, and bisexual) pada 1990-an. Istilah LGBT kemudian menjadi inisial yang ingin meneguhkan adanya “varietas” dalam budaya seks dan gender.
Namun pada realitasnya, kelompokLGBTkurangditerima dalam kehidupan masyarakat. Adanya berbagai bentuk pengucilan terhadap kelompok LGBT ternyata justru mengobarkan semangat “aktivisme” mereka yang tidak terbendung. Tahun 1996 adalah momentum penting kelompok LGBT bahwa mereka akhirnya diakui oleh komunitas masyarakat Barat dan menambahkah huruf Q (queer /homoseksual) sehingga menjadi LGBTQ.

Puncak gerakanLGBTinternasionalterjadi pada tahun 2011 pascadeklarasi Yogyakarta Principles in Action. Deklarasi Yogyakarta akhirnya menghasilkan apa yang dikenal dengan “Panduan Aktivis” LGBT International (LGBTI). Di Indonesia, fenomena LGBT sudah muncul sejak lima dekade yang lalu.

Tahun 2000-an adalah momentum meningkatnya aktivitas LGBT di Indonesia dengan jumlah anggota yang semakin banyak. Beberapa organisasi LGBT didirikan di Indonesia, misalnya Himpunan Wadam [wanita adam] Djakarta (Hiwad), Lambda Indonesia, Persatuan Lesbian Indonesia (Perlesin), dan (GAYa Nusantara).

Sebagai bangsa Timur, tentu aktivitas LGBT tidak mudah untuk diterima walaupun faktanya telah lama ada di masyarakat. Namun, tentu LGBT menjadi isu yang sangat sensitif dan tabu bagi orang awam. Apalagi melembagakan LGBT sebagai sebuah institusi gerakan sosial, pasti sangat ditentang sebagian besar masyarakat.

Sebaliknya, di dunia Barat yang budaya masyarakatnya terbuka dan bebas, LGBT menjadi suatu hal yang biasa dan wajar. Namun, perlu dicatat bahwa fenomena LGBT pasti mempunyai korelasi dengan berbagai persoalan sosial dan politik. Hal ini tentu erat kaitannya dengan “politikidentitas” yangsudahada sejak 1970-an.

Politik identitas menjadi berkah untuk kelompok- kelompok minoritas yang terpinggirkan dalam berbagai bidang, terutama sosial-politik. Namun sayangnya, kelompok terpinggirkan terutama rakyat miskin kurang dibela oleh gerakan politik identitas. Politik identitas kelompok marjinal terutama wong cilik tidak lain hanya slogan politik ketika kampanye (Armstrong Williams, 2015).

Selain gerakan LGBT domestik, menarik untuk mencermati gerakan transnasional LGBT. Pertama, kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Dingin berdampak besar pada transformasi politik internasional yang berubah seketika. Isu-isu ideologi kapitalis-komunis menjadi tidak relevan.

Sebagai gantinya adalah isu-isu “kapitalistik” yang sifatnya lebih ringan, seperti pasar bebas, hak asasi manusia, dan demokrasi. LGBT tentu merupakan bagian dalam diskursus hak asasi manusia. Kedua , gerakan politik transnasional yang tidak mengenal batas negara tentu berdampak pada munculnya berbagai saluran (multiple channels) para pemain internasional.

Tidak menutup kemungkinan “gerakan negatif” mampu menjangkau di pelosok desa, sekalipun termasuk LGBT. LGBT yang semakin populer ketika era keterbukaan pasca-Perang Dingin 1990-an tentu mendapat angin segar untuk berkembang. Ketiga, kemenangan kapitalis nyata berdampak besar pada komersialisasi semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk LGBT.

Pakar globalisasi Peter Jackson berpendapat bahwa pasar dan kapitalisme seolah menemukan senyawanya untuk memengaruhi kehidupan dan budaya masyarakat. Bagi Jackson, kapitalisme berperan besar dalam menyebarkan budaya identitas kelompok termasuk LGBT.

Tentu saja kelompok LGBT menjadi sasaran penting bagi menyukseskan agenda transnasional kaum kapitalis dengan berbagi bentuk. Keempat , tren menguatnya LGBT ternyata tidak lepas dari aktor transnasional lainnya. Setidaknya ada 50 perusahaan raksasa dunia yang komitmen untuk (The Huffington Post, 2/2).

Bahkan, badan PBB urusan pembangunan United Nations Development Programme (UNDP) menganggarkan dana sangat besar untuk melakukan riset tentang LGBT melalui proyek “Being LGBT in Asia”. Keadaan ini tentu menjadi bahan pemikiran yang mendalam bagi bangsa Indonesia tentang persoalan LGBT.

Kelihaian diplomasi menjadi kunci untuk memenangkan negosiasi dengan aktor-aktor transnasional dalam isu LGBT. Aktor transnasional memang tidak mudah untuk dijinakkan. Namun, pemerintah harus mempunyai cara yang bermartabat untuk mengawal kepribadian dan kedaulatan Indonesia tanpa menimbulkan kegaduhan.
ALI MAKSUM 
Koran Sindo, 27/02/2016
Staf Pengajar Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

0 comments: