Cintaku di
Istanbul
di
pagi yang kecut
hatiku
semakin kepincut
mendengar
deru-deru laut
oh,
rindu semakin memagut
dengan
apa kau kugambarkan?
seumpama
laut atau badai
di
Instanbul, kota yang dikepung kepul-kepul embun
izinkan
aku menjadi lautmu
diterjang
badai demi badai
aku
tetap menjadi lautmu yang terguncang-guncang
sebab
badai dan laut adalah kita
Instanbul,
17 September 2015
Anggur Arhweiler
di
sudut desa Arhewiler
rinduku
menggebu pada debu
pada
kemacetan yang mendengus
pada
keramaian yang menggemuruh
pada
kesemrawutan yang tak berbatas
di
sudut Desa Arhweiler ini
di
tengah kebutan rindu dan dendam
kuteguk
anggur setua-tuanya
dia
memabukkan
:
mengingatkanku pada asalku
oh,
negeriku yang riuh gemuruh
tiba-tiba
aku ingin pada teriakanmu
memekakkan
nalar, memantik hatiku
di
Arhweiler ini, aku memutuskan mabuk
oleh
anggur setua-tuanya
demi
mengenang negeriku
dan
sejuta puing-puing mimpi
Arhweiler,
Jerman, 19 September 2015
Dari Sudut Kota
Koln
di
dinding kamarku, Rendra menyapa
“Nyamperin
matahari dari satu sisi
memandang
insan dari setiap jurusan”
kasur
ini, katamu, pernah menjadi alas kepala Rendra
aku
terkesima
sudahkah
sekian jauh kakiku terseret-seret waktu?
sudahkah
mimpi menjadi pagi?
Koln,
hanyalah kota taburan mimpi
menjengukku
di antara sejuta ikan-ikan liar
di
perutmu yang mengguncang
dari
sudut Kota Koln
aku
memilih tersenyum
bilakah
mimpiku ditelan malam
atau
dimuntahkan pagi?
Koln
semakin sejuk
matahari
hanya sebelah
manusia
sibuk dengan jurusannya
maka
aku sibuk bercumbu dengan mimpiku
Koln, Jerman, 23
September 2015
Petualang
: Untuk Sitor
Situmorang
antara
Arhweiler dan Koln
kami
membisiki namamu
entah
kenapa tiba-tiba puisimu mendengung
di
pagi yang berurut itu
oh,
lelaki yang kini terbujur di pelukan ibu
kamu
adalah petualang sejati
berperang
di negeri orang
diperangi
di tanahmu
puisi
ini untukmu
aku
paham, kata-kata ini tak berjiwa
waktu
ini tak berkejadian
tapi
di tengah jepitan huruf dan bunyi
di
tengah kuyupan waktu dan ruang
kau
berpetualang
:
memergoki roh
:
meneriaki peristiwa
Koln, Jerman, 23
September 2015
Imigran
imigran
adalah anak-anak Tuhan
tersesat
pada daun-daun
diterbangkan
dari ranting-rantingnya
dipungut
petugas
diinjak
kaki-kaki bengis
dibakar
dan dibusukkan
imigran
adalah anak-anak Tuhan
apakah
kita adalah iblis?
lalu
sampai hati kita membasminya?
Nunberg, Jerman,
29 September 2015
Riduan Situmorang
Pegiat Sastra dan
Budaya di PLOt Medan, sudah berkali-kali memenangi lomba penulisan sastra.
0 comments:
Post a Comment