Friday, 19 February 2016

Belajar dari Tubuh dan Bumi

Riduan Situmorang
Mutakhir ini dan bukan untuk pertama kalinya, radikalisme, ekstremisme, separatisme, atau apa pun namanya berkembang dengan pesat. Ironisnya, semakin banyak yang mengecam, paham-paham ini justru semakin beranak pinak. Sekadar menyebut contoh, sebut, misalnya, ISIS dan Boko Haram, bahkan beberapa di negeri ini sudah mulai berkembang dan gagah-gagahan menolak Pancasila untuk kelak mengegolkan khilafah.
Ironisnya, khusus untuk radikalisme di tingkat internasional seperti ISIS dan Boko Haram ini sudah diincar oleh dunia, tetapi mereka malah semakin berkembang. Maka, pesawat tempur oleh berbagai dunia dikirimkan, termasuk Raja Jordania ikut secara langsung menggempurnya. Bahkan, dikabarkan kapal induk Prancis telah bergerak untuk menyerangnya.
Tetapi, ISIS dikabarkan tak gentar. Mereka malah dengan leluasa menangkapi siapa pun yang menentangnya, apalagi kalau itu yang bukan sepaham dan seagama. Ancamannya bahkan bukan main-main. Tercatat, pemimpin sekelas Paus Fransiskus pun diancam dibunuh, termasuk Barrack Obama. Dan, kata mereka, Andalusia yang kini menjadi Spanyol harus kembali direbut. Andalusia pernah jaya di bawah kekuasaan Islam dan tampak sekali, bagi mereka, merebut Spanyol merupakan lambang kemenangan Islam.
Nah, yang sebenarnya lebih mengkhawatirkan adalah bukan ancaman dan pembunuhan secara vulgar oleh ISIS, melainkan gerakan mereka merekrut anggota. Dikabarkan, beribu-ribu anggota dapat mereka rekrut dalam waktu sebulan. Kalau benar, itu menjadi fakta bahwa dunia telah kembali bergayut pada tribalisme, bukan negara. Tribalisme adalah upaya mencari perlindungan pada gangster atau preman. Tak tanggung-tanggung, kebanyakan dari saudara Muslim yang ada di Eropa dan Barat terasa tertarik untuk mendukung ISIS sehingga ada namanya sebuah ‘pengantin jihad’.
Artinya, Eropa dan Barat yang kini menjadi episentrum peradaban saja tertarik pada ISIS, apalagi Asia, terutama Indonesia. Hal itu bukan bualan belaka karena tak lama ini, kita pernah mendengar kisah beberapa orang dari negeri ini rela menjual rumahnya dan bertolak ke Suriah untuk membela ISIS. Bagi mereka, ini merupakan bentuk perjuangan di jalan Allah. Tetapi, saya curiga.
Dasar masalahnya tidak di sana. Tindakan ini justru merupakan bentuk kekecewaan sekaligus interupsi kepada negara. Manakala negara yang dipahami sebagai tempat perlindungan tak mampu memberi perlindungan, baik dari segi pangan, kesehatan, pendidikan, ideologi dan agama, terutama keadilan, warga negara yang tak merasa nyaman tadi akan mencari perlindungan baru yang dianggap mampu mencerahkan.
Alhasil, rasa cinta atau nasionalisme beralih dari negara lama ke ‘negara baru’ melalui eksodus dan menjual segala harta miliknya. Yang lebih gencar, mereka ini rela mati demi negara baru demi jihad hingga mati syahid. Ironisnya, membunuh dan terbunuh ini benar-benar tidak mengenal usia. Masih segar di ingatan kita, anak di bawah umur di Lebanon baru-baru ini rela bunuh diri.
Jurgensmeyer, peneliti teror atas nama Tuhan, menyebut kelompok-kelompok teroris seperti ini menggunakan aksi kekerasan di luar batas kemanusiaan untuk menarik perhatian khalayak seluas mungkin agar pesan yang mereka sampaikan dapat mencapai sasaran. Menurut Meyer, kecenderungan semacam itu ada hampir di semua kelompok radikal agama. (Terror in the Mind of God, 2000: 262-4)
Dua Pelajaran
Baiklah, perlu kiranya untuk kembali menggunakan nalar dengan benar, jangan semata emosi. Kalau melibatkan emosi semata, dunia ini pasti babak belur, tetapi kalau nalar kembali mengemuka, dunia yang pudar, akan mendadak berbinar-binar. Dan, kita tentunya tak mau dunia ini pudar, apalagi babak belur.
Kita tentu masih ingin dunia ini bersinar dengan berbinar-binar penuh kedamaian dan kasih. Karena itu, kita bisa memetik hikmah dan pelajaran dari tubuh kita sendiri dan kedua, dari bumi kita berpijak.
Tubuh kita mengajarkan banyak hal kepada kita. Dari segi biologi, ada bertriliunan sel di tubuh kita, yang berdiri sendiri sesuai tugas masing-masing, ada khusus untuk kulit, otak, rambut, jantung, hati, dan sebagainya. Yang khusus untuk rambut tak pernah iri melihat sel yang khusus untuk jantung dan otak, demikian juga seterusnya.
Andai salah satu golongan sel ini iri, maka terjadilah ketidaknormalan sehingga tumbuhlah penyumbatan darah, pembengkakan, dan kanker. Kita tahu, ketika ketidaknormalan ini muncul, maka tubuh yang merupakan simbol universalisme-toleransi akan renta yang akhirnya mati. Artinya, iri dan memaksakan kehendak akan sangat mematikan.
Begitupun bumi ini. Kosmonot Rusia, Yuri Gagarin pernah berkata, ”Watak bumi memang damai.” Maka, dari luar angkasa, bumi ini tidak seperti benda langit lainnya yang garang, panas, dan beku. Dia sangat indah menggelantung tenang di tengah samudera kegelapan yang bisu tak bertepi bersama planet-planet lain. Bumi adalah satu-satunya planet yang menjanjikan kehidupan, harapan, dan kerinduan yang tampak dari luar angkasa.
Mengapa dari luar angkasa bumi ini damai? Itu terjadi karena api tidak dominan, es tidak dominan, debu juga tak dominan. Semua seimbang melaksanakan tugasnya tidak seperti Jupiter, Venus, Saturnus, dan matahari yang didominasi salah satu zat tertentu. Kalau saja ada yang dominan, bumi ini akan kelihatan beku atau hangus dari luar angkasa.
Artinya apa? Sangat jelas, jika kini ada manusia dari agama, suku, dan dari negara mana pun mencoba untuk dominan melalui gerakan radikalisme, itu menjadi pertanda awal ketidaknormalan akan segera menyerang. Manakala itu terjadi, tubuh kita akan hancur-lebur bersama bumi yang tenang ini. Apakah kita tak juga melihat dan mendengar pelajaran ini dengan jelas? Kalau belum, cobalah kembali menyeimbangkan nalar dan emosi! ***
Penulis adalah konsultan bahasa di Prosus Inten, aktivis sastra di PLOt dan Teater Z Medan.

0 comments: