Oleh: Riduan Situmorang.
Sejujurnya saya tak terkejut ketika negeri ini kembali meributkan Gafatar. Perihal banyak orang dikabarkan hilang itu hal-hal yang sangat terbiasa dan bahkan dibiasakan di negeri ini. Ada yang sengaja menghilangkan diri, ada pula negara yang sengaja menghilangkan warganya. Maka itulah, saya justru terkejut mengapa negeri ini harus terkejut ketika kematian demi kematian tersaji secara vulgar, perusakan demi perusakan dipertontonkan seakan itu wajar, penyiksaan dan penistaan dipamerkan dengan barbar?
Terkejutnya, bukankah negeri ini sejatinya sudah dan sedang menanam benih kebencian? Maka, wajarlah kemudian kalau kita menuai hal-hal yang tak senonoh berhamburan dengan deras. Alih-alih bencana, ini mestinya perayaan atas berhasilnya panen raya! Bukankah kita sudah dan sedang membiarkan benih kebencian berkeriapan dan tertanam dengan subur di sawah Ibu Pertiwi? Kita memupuknya, merawatnya, dan sudah pasti akan memanennya pula, bukan? Lha, mengapa kita masih terkejut?
Tetapi sudahlah, karena kita memilih untuk terkejut, pertanyaan ini jadi mendapatkan momentumnya untuk ditanyakan, direnungkan, dan tentu saja harus dijawab dengan sejujur-jujurnya di sini. Ya, di sini dan saat ini! Pertanyaan itu adalah: sejak kapan dan dengan apa rupanya kita serius menangani kebencian? Sejak Orde Lama, Orde Baru, atau Reformasi?
Sangat Gesit
Tidak pernah. Maaf! Dan jika pun pernah, saya dengan satiris malah lebih memilih percaya jika Orde Baru lebih berbobot membungkam kebencian daripada rezim-rezim lainnya. Izinkan saya menaruh curiga di sini dan kecurigaan ini bukanlah demi romantisme agar era itu dimulai lagi! Kecurigaan itu begini: jika saja Orde Baru bertahan lebih lama, saya yakin, segenap perkumpulan yang bernapaskan sektarian dan radikalisme akan lenyap dari sini. Dari Indonesia!
Mengapa? Karena mereka (sektarianisme) selalu dan melulu dikejar oleh negara sampai keakar-akarnya dan ke persembunyian terakhirnya? Sayang, tugas itu belum selesai. Yang lebih disayangkan lagi, rezim selanjutnya tak melanjutkan tugas itu, tetapi justru memupuknya! Memang, perihal dosa diktator dan kekerasan yang ada di dalam Orde Baru merupakan hal lain yang boleh dan harus dikutuk. Tetapi perihal kesungguhan mereka memburu para penganut radikalisme pantas dan harus menjadi panutan!
Entahlah ini ada kaitannya! Yang pasti, Tragedi Bom Sarinah semakin meyakinkan saya (juga beberapa yang lain) bahwa oknum yang sehaluan dan bahkan lebih keras dari Gafatar di negeri semakin beranak pinak. Gafatar masih lebih elok karena tidak terlalu vulgar. Bahkan, jika itu bukan tipu muslihat, gerakan yang disodorkan Gafatar ini sebenarnya sangat menawan. Pada laman resmi Gafatar, misalnya, dijelaskan bahwa organisasi ini tidak didirikan untuk kepentingan kelompok, golongan, aliran, agama, suku, atau ras mana pun.
Lebih menawan lagi karena konon tujuan pendiriannya adalah untuk memperjuangkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukankah tujuan ini senapas dengan tujuan negara kita yang berasaskan Pancasila? Tetapi, pada prosesnya, tindakan berkata lain. Gafatar ini (masih banyak yang lain) nyatanya serupa ISIS. Kita tahu, ISIS mulanya gerakan religius yang membela kemanusiaan. Tetapi, perlu diketahui dan disadari lagi bahwa ini semua hanya trik. Mereka gesit sekali memakai kata-kata prihatin karena dengan kata itu, mereka sudah memosisikan diri sebagai calon pahlawan.
ISIS bukanlah anak pertama. ISIS merupakan ekses, tepatnya hasil silang perkawinan gerakan radikalisme yang satu dengan gerakan radikalisme yang lain. Secara kasar, ISIS merupakan anak ideologi dari rezim bikinan Osama bin Laden. Saat itu, dunia berpikir bahwa dengan menumbangkan penggagasnya, radikalisme serupa akan pudar. Rupanya kita keliru, yang ada ideologi serupa semakin menjalar dan berpencar.
Bukti lainnya, Zarqawi, pimpinan Al Qaeda Irak (AQI) yang dibunuh AS pada 2006, juga tak kunjung membuat radikalisme semakin surut. Kita menjadi saksi bahwa di bawah penerusnya, Abu Ayyub al-Masri, AQI berkoalisi dengan lima kelompok lain dan membentuk Majlis Shura al-Mujahideen. Dari hasil perkawinan silang ini, lahirlah ISIS yang lebih kejam. Tidak hanya jago kandang, tetapi juga di luar kandang.
Nah, kalau kita jeli, sesungguhnya proses yang terjadi di tubuh ISIS ini juga sedang terjadi di Indonesia. Tenggelamnya Al Qaeda, misalnya, tidak menjadi pertanda hancurnya ideologinya. Dalam hal Indonesia, meleburnya DI/NII juga tidak menjadi pertanda kehancuran ideologi yang diboncengnya. Ideologi itu justru pada proses selanjutnya semakin berkecambah dan berevolusi dengan cepat. Sempat pingsan karena kegarangan Orde Baru, tetapi kemudian disiram lagi oleh Rezim Reformasi atas nama kebebasan.
Tak Jelas Arah dan Tujuan
Dan, para ekstremisme ini sangat licik. Kebaikan pemerintah dikonversi. Ketakutan manusia dimanfaatkan. Kebebasan menjadi alasan. Sesekali, mereka juga bersembunyi di balik kebaikan sehingga masyarakat menerimanya dengan lapang dada. Gafatar, misalnya, pernah dibimbing oleh Bibid Samad Rianto karena “terkecoh” pada tameng kebaikan yang diperjuangkan. Ekstremisme yang lain juga niscaya berlaku demikian.
Logikanya sederhana, orang besar saja bisa direkrut dan ditipu, apalagi orang kecil yang pasti akan langsung silau matanya hanya ketika disuguhkan kebaikan-kebaikan yang sebenarnya semu. Belum lagi penghargaan duniawi berupa gaji dan tunjangan akhirat berupa menjadi penghuni surga disodorkan berkali-kali. Bahasa remajanya, mendapati gombalan mahabesar itu, orang biasa yang masih labil (umumnya remaja, pemuda, dan warga miskin materi dan pendidikan) pasti akan klepek-klepek.
Kesemua hal itu semakin perfect pula karena pemerintah dan pejabat kita toleran. Di saat toleran sesungguhnya mengizinkan orang untuk berbeda dalam keserasian dan keharmonisan (serasi dan harmonis artinya menerima perbedaan dengan sumringah), toleran di kita justru tega melihat orang lain disiksa dan menyiksa (tak mau menerima perbedaan karena gelisah). Maka, ketika FPI mengoyak kemanusiaan, kita hanya diam dan tak ada tanggapan. Kalaupun ada, tak pernah dengan serius, kecuali hanya untuk urusan formalitas. Yang lebih menggeramkan, ada kesan bahwa pejabat kita takut pada FPI. Ini hanya contoh kecil bagaimana kita begitu toleran terhadap laku-laku yang intoleran.
Ada lagi contoh lain yang tak kalah seru. HTI yang sudah nyata-nyata menolak Pancasila dan sudah masuk kampus tak pernah dijinakkan. Mereka justru semakin digdaya sehingga beratus-ratus artikel tentang “kebencian” pada Pancasila dan Demokrasi mengalir begitu deras. Di dunia kampus yang notabene adalah dunia masa depan! Bukankah ini tindakan mengizinkan supaya ke depan Pancasila dimatikan?
Atas dasar itulah saya meyakini bahwa keterkejutan kita atas berbagai “kekurangajaran” ini sebagai kekurangajaran yang lebih dahsyat. Di satu sisi kita mengutuk, di sisin lain kita malah memupuk. Sungguh sebuah definisi negara yang benar-benar sumir! Singkatnya, negeri ini adalah negeri yang sumir. Tak jelas arah dan tujuannya! ***
Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan.
Sejujurnya saya tak terkejut ketika negeri ini kembali meributkan Gafatar. Perihal banyak orang dikabarkan hilang itu hal-hal yang sangat terbiasa dan bahkan dibiasakan di negeri ini. Ada yang sengaja menghilangkan diri, ada pula negara yang sengaja menghilangkan warganya. Maka itulah, saya justru terkejut mengapa negeri ini harus terkejut ketika kematian demi kematian tersaji secara vulgar, perusakan demi perusakan dipertontonkan seakan itu wajar, penyiksaan dan penistaan dipamerkan dengan barbar?
Terkejutnya, bukankah negeri ini sejatinya sudah dan sedang menanam benih kebencian? Maka, wajarlah kemudian kalau kita menuai hal-hal yang tak senonoh berhamburan dengan deras. Alih-alih bencana, ini mestinya perayaan atas berhasilnya panen raya! Bukankah kita sudah dan sedang membiarkan benih kebencian berkeriapan dan tertanam dengan subur di sawah Ibu Pertiwi? Kita memupuknya, merawatnya, dan sudah pasti akan memanennya pula, bukan? Lha, mengapa kita masih terkejut?
Tetapi sudahlah, karena kita memilih untuk terkejut, pertanyaan ini jadi mendapatkan momentumnya untuk ditanyakan, direnungkan, dan tentu saja harus dijawab dengan sejujur-jujurnya di sini. Ya, di sini dan saat ini! Pertanyaan itu adalah: sejak kapan dan dengan apa rupanya kita serius menangani kebencian? Sejak Orde Lama, Orde Baru, atau Reformasi?
Sangat Gesit
Tidak pernah. Maaf! Dan jika pun pernah, saya dengan satiris malah lebih memilih percaya jika Orde Baru lebih berbobot membungkam kebencian daripada rezim-rezim lainnya. Izinkan saya menaruh curiga di sini dan kecurigaan ini bukanlah demi romantisme agar era itu dimulai lagi! Kecurigaan itu begini: jika saja Orde Baru bertahan lebih lama, saya yakin, segenap perkumpulan yang bernapaskan sektarian dan radikalisme akan lenyap dari sini. Dari Indonesia!
Mengapa? Karena mereka (sektarianisme) selalu dan melulu dikejar oleh negara sampai keakar-akarnya dan ke persembunyian terakhirnya? Sayang, tugas itu belum selesai. Yang lebih disayangkan lagi, rezim selanjutnya tak melanjutkan tugas itu, tetapi justru memupuknya! Memang, perihal dosa diktator dan kekerasan yang ada di dalam Orde Baru merupakan hal lain yang boleh dan harus dikutuk. Tetapi perihal kesungguhan mereka memburu para penganut radikalisme pantas dan harus menjadi panutan!
Entahlah ini ada kaitannya! Yang pasti, Tragedi Bom Sarinah semakin meyakinkan saya (juga beberapa yang lain) bahwa oknum yang sehaluan dan bahkan lebih keras dari Gafatar di negeri semakin beranak pinak. Gafatar masih lebih elok karena tidak terlalu vulgar. Bahkan, jika itu bukan tipu muslihat, gerakan yang disodorkan Gafatar ini sebenarnya sangat menawan. Pada laman resmi Gafatar, misalnya, dijelaskan bahwa organisasi ini tidak didirikan untuk kepentingan kelompok, golongan, aliran, agama, suku, atau ras mana pun.
Lebih menawan lagi karena konon tujuan pendiriannya adalah untuk memperjuangkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukankah tujuan ini senapas dengan tujuan negara kita yang berasaskan Pancasila? Tetapi, pada prosesnya, tindakan berkata lain. Gafatar ini (masih banyak yang lain) nyatanya serupa ISIS. Kita tahu, ISIS mulanya gerakan religius yang membela kemanusiaan. Tetapi, perlu diketahui dan disadari lagi bahwa ini semua hanya trik. Mereka gesit sekali memakai kata-kata prihatin karena dengan kata itu, mereka sudah memosisikan diri sebagai calon pahlawan.
ISIS bukanlah anak pertama. ISIS merupakan ekses, tepatnya hasil silang perkawinan gerakan radikalisme yang satu dengan gerakan radikalisme yang lain. Secara kasar, ISIS merupakan anak ideologi dari rezim bikinan Osama bin Laden. Saat itu, dunia berpikir bahwa dengan menumbangkan penggagasnya, radikalisme serupa akan pudar. Rupanya kita keliru, yang ada ideologi serupa semakin menjalar dan berpencar.
Bukti lainnya, Zarqawi, pimpinan Al Qaeda Irak (AQI) yang dibunuh AS pada 2006, juga tak kunjung membuat radikalisme semakin surut. Kita menjadi saksi bahwa di bawah penerusnya, Abu Ayyub al-Masri, AQI berkoalisi dengan lima kelompok lain dan membentuk Majlis Shura al-Mujahideen. Dari hasil perkawinan silang ini, lahirlah ISIS yang lebih kejam. Tidak hanya jago kandang, tetapi juga di luar kandang.
Nah, kalau kita jeli, sesungguhnya proses yang terjadi di tubuh ISIS ini juga sedang terjadi di Indonesia. Tenggelamnya Al Qaeda, misalnya, tidak menjadi pertanda hancurnya ideologinya. Dalam hal Indonesia, meleburnya DI/NII juga tidak menjadi pertanda kehancuran ideologi yang diboncengnya. Ideologi itu justru pada proses selanjutnya semakin berkecambah dan berevolusi dengan cepat. Sempat pingsan karena kegarangan Orde Baru, tetapi kemudian disiram lagi oleh Rezim Reformasi atas nama kebebasan.
Tak Jelas Arah dan Tujuan
Dan, para ekstremisme ini sangat licik. Kebaikan pemerintah dikonversi. Ketakutan manusia dimanfaatkan. Kebebasan menjadi alasan. Sesekali, mereka juga bersembunyi di balik kebaikan sehingga masyarakat menerimanya dengan lapang dada. Gafatar, misalnya, pernah dibimbing oleh Bibid Samad Rianto karena “terkecoh” pada tameng kebaikan yang diperjuangkan. Ekstremisme yang lain juga niscaya berlaku demikian.
Logikanya sederhana, orang besar saja bisa direkrut dan ditipu, apalagi orang kecil yang pasti akan langsung silau matanya hanya ketika disuguhkan kebaikan-kebaikan yang sebenarnya semu. Belum lagi penghargaan duniawi berupa gaji dan tunjangan akhirat berupa menjadi penghuni surga disodorkan berkali-kali. Bahasa remajanya, mendapati gombalan mahabesar itu, orang biasa yang masih labil (umumnya remaja, pemuda, dan warga miskin materi dan pendidikan) pasti akan klepek-klepek.
Kesemua hal itu semakin perfect pula karena pemerintah dan pejabat kita toleran. Di saat toleran sesungguhnya mengizinkan orang untuk berbeda dalam keserasian dan keharmonisan (serasi dan harmonis artinya menerima perbedaan dengan sumringah), toleran di kita justru tega melihat orang lain disiksa dan menyiksa (tak mau menerima perbedaan karena gelisah). Maka, ketika FPI mengoyak kemanusiaan, kita hanya diam dan tak ada tanggapan. Kalaupun ada, tak pernah dengan serius, kecuali hanya untuk urusan formalitas. Yang lebih menggeramkan, ada kesan bahwa pejabat kita takut pada FPI. Ini hanya contoh kecil bagaimana kita begitu toleran terhadap laku-laku yang intoleran.
Ada lagi contoh lain yang tak kalah seru. HTI yang sudah nyata-nyata menolak Pancasila dan sudah masuk kampus tak pernah dijinakkan. Mereka justru semakin digdaya sehingga beratus-ratus artikel tentang “kebencian” pada Pancasila dan Demokrasi mengalir begitu deras. Di dunia kampus yang notabene adalah dunia masa depan! Bukankah ini tindakan mengizinkan supaya ke depan Pancasila dimatikan?
Atas dasar itulah saya meyakini bahwa keterkejutan kita atas berbagai “kekurangajaran” ini sebagai kekurangajaran yang lebih dahsyat. Di satu sisi kita mengutuk, di sisin lain kita malah memupuk. Sungguh sebuah definisi negara yang benar-benar sumir! Singkatnya, negeri ini adalah negeri yang sumir. Tak jelas arah dan tujuannya! ***
Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan.
0 comments:
Post a Comment