Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta baru akan dilangsungkan awal
2017. Namun, atmosfer persaingan sudah ditabuh oleh calon-calon pesaing
incumbent Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Pilgub DKI memang arena
yang menarik untuk dicermati. Bukan karena DKI Jakarta merupakan
barometer politik nasional, namun juga segala aspek politik dan intensi
masyarakat begitu tinggi.
Elektabilitas Ahok
Kita terhenyak oleh dukungan prematur yang dilakukan Partai NasDem. Sulit dimengerti mengapa Partai Nas- Dem memberikan dukungan kepada Ahok, mendahului partai politik yang mengusung awal Ahok—ketika masih berpasangan dengan Joko Widodo—yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerindra.
Meski demikian, dukungan tersebut cukup masuk akal bila kita mengikuti day to day response publik terhadap kepemimpinan Ahok. Hal ini juga seiring dengan beberapa hasil survei popularitas dan elektabilitas yang digelar beberapa lembaga survei di Jakarta. Hasilnya, belum ada tokoh atau calon kandidat yang mampu mengungguli popularitas Ahok sebagai figur untuk memimpin Jakarta masa datang.
Lantas, apakah pilkada sudah bisa dianggap selesai dengan kemenangan di pihak Ahok? Jawabannya tentu saja belum. Sebagaimana dipahami, politik selalu bergerak dinamis. Hari ini Ahok bisa saja unggul secara popularitas, mungkin besok tidak lagi. Pilgub yang lalu misalnya, Fauzi Bowo selalu bertengger di posisi teratas berdasarkan hasil survei berbagai lembaga polling.
Namun, dalam realitasnya justru Fauzi Bowo kalah suara dengan pasangan Jokowi-Ahok. Muncul pertanyaan ulang, apakah dengan demikian hasil survei tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk memprediksi sebuah persaingan politik seperti pilkada? Jawabannya, bisa iya bisa juga tidak. Yang lazim, survei hanya memotret perilaku politik dan kecenderungannya saat survei itu dilakukan.
Setelah itu tentu keadaan bisa berubah, bergantung ada atau tidaknya intervensi politik dalam beragam bentuk sosialisasi dan penetrasi opini publik yang dilakukan kandidat. Bagi Ahok, kondisi saat ini tidak lantas menjadikannya berleha-leha atau berdiam diri. Namun, justru harus membuatnya lebih antisipatif dan kreatif dalam menyusun strategi dan melakukan langkahlangkah politik.
Sementara bagi pesaingpesaing Ahok, hasil survei tersebut bukanlah akhir dari segalanya. Dengan mengetahui hasil pemetaan popularitas dan elektabilitas lebih awal, mereka dapat melihat sejauh mana keunggulan dan kelemahan dirinya, termasuk Ahok.
Konfigurasi Kekuatan Politik
Selain dari jalur perseorangan atau independen, Pilgub DKI Jakarta diyakini masih memiliki magnet kuat bagi kandidat yang diusung partai politik atau gabungan partai politik. Dilihat dari komposisi kursi di DPRD, hanya PDIP dan Partai Gerindra yang berhak mengajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain.
Sesuai aturan, pasangan calon tersebut harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki suara 20% atau lebih. Dengan demikian, di luar PDIP dan Partai Gerindra, partai politik tersebut harus melakukan koalisi sehingga memenuhi persyaratan dukungan minimal. PDIP tentu punya stok figur yang dianggap mampu dan layak untuk menggantikan Ahok.
Beberapa di antaranya Djarot Syaiful Hidayat, Tri Rismaharini, dan Boy Sadikin. Tentu masih banyak nama lain yang dimiliki PDIP. Sementara itu, Partai Gerindra saat ini tengah menjaring nama-nama calon gubernur Jakarta dengan mengumpulkan tokoh-tokoh seperti Sandiaga Uno, M Taufik, Muhammad Sanusi, Adhyaksa Dault, dan lain-lain.
Partai lain tentu juga tidak tinggal diam. PPP melalui Ketua DPW DKI Jakarta Lulung Lunggana secara tegas menolak untuk mencalonkan Ahok. Sedangkan PAN juga melakukan testing the water dengan mengajukan beberapa nama figur ternama dari kalangan artis.
Demikian halnya dengan Yusril Ihza Mahendra dari PBB yang siap head to head melawan Ahok. Hemat penulis, masih ada beberapa partai politik seperti PKS, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, PKB yang belum menabuh genderang perang dalam pilkada di DKI Jakarta.
Siapa Lawan Ahok?
Ada banyak faktor yang jadi tolok ukur dalam memenangkan kompetisi di setiap ajang pemilihan kepala daerah. Seperti pemilihan gubernur di DKI Jakarta, di antaranya kekuatan figur, dukungan politik, kesiapan logistik, serta strategi politik pemenangan yang tepat.
Untuk Pilkada DKI Jakarta, kekuatan figur menjadi faktor yang sangat diperhitungkan, khususnya dalam dua kali pilkada secara langsung. Figurfigur kuat dan terkenal seperti Adang Dorodjatun, Fauzi Bowo, Faisal Basri, dan Joko Widodo menjadi bagian penting dari strategi politik untuk memenangkan Jakarta. Keberadaan figur-figur tersebut juga harus didekatkan dengan konfigurasi pemilih yang ada di Jakarta.
Kita tahu bahwa perkembangan Kota Jakarta berbarengan dengan visi pembangunan yang dilakukan Orde Baru. Saat itulah arus urbanisasi dari luar Jakarta—khususnya Jawa—membanjiri Jakarta di setiap sudut kota dan strata penduduknya.
Karena itu, sangat beralasan jika faktor Jawa—baik dipahami sebagai etnisitas maupun kekuatan politik yang bersifat laten—;akan sangat mendominasi pertimbangan pertimbangan politik dalam memilih figur. Ahok misalnya, meskipun secara opini dianggap kuat, positif sebagai antikorupsi, dan berani menata Jakarta, dia tetap membutuhkan figur yang menguatkan dari sisi etnisitas.
Di sinilah pentingnya posisi Djarot Syaiful Hidayat, di samping Ahok yang dianggap bisa saling melengkapi. Jika demikian, siapa lawan Ahok? Harus diakui bahwa secara statistik penduduk Jakarta masih didominasi oleh etnis Jawa sehingga wajar jika pemilih dari etnis ini menjadi perebutan krusial dalam setiap pilkada.
Sementara isu-isu keamanan dan ketertiban mendominasi aspirasi publik khas kota-kota besar di Indonesia. Yang unik adalah isu-isu keamanan dan ketenteraman di masyarakat masih sangat lekat dengan profil figur dari TNI, bukan polisi. Lantaran itu, jika ada pasangan yang merupakan kombinasi dari unsur etnis Jawa dan berlatar belakang karier di TNI, tentu akan menjadi lawan yang seimbang bagi Ahok.
Terlebih jika figur tersebut juga pernah memimpin daerah atau wilayah administrasi di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Figur-figur lain yang sudah muncul menghiasi laman media massa maupun media sosial lainnya seperti Sandiaga Uno, Tri Rismaharini, Yusril Ihza Mahendra, M Taufik, Ahmad Dani, dan Adhiyaksa Dault.
Menurut hemat penulis, para tokoh itu belum bisa menandingi posisi Ahok saat ini. Meski publik tidak mengingat dengan baik track record politik masa lalu, figurfigur tersebut dinilai publik sudah memiliki beban politik masa lalu. Jika komposisi di atas agak sulit ditemukan, alternatif yang paling memungkinkan adalah memunculkan tokoh atau figur baru yang lebih muda dan fresh, serta tidak memiliki beban politik masa lalu.
Saya kira pemilih di Jakarta akan lebih mudah menerima kehadiran figur baru tersebut. Nah, Jakarta yang lebih baru dan lebih baik tentu menjadi idaman bagi seluruh penduduk Jakarta ke depan. Apakah visi tersebut masih layak dititipkan ke figur Ahok? Atau, justru perlu figur pemimpin baru yang bisa membuat Jakarta jadi lebih baik. Di sinilah berlaku kalimat bijak bahwa setiap pemimpin ada masanya dan setiap masa punya pemimpinnya. Wallahu- ’alam .
Elektabilitas Ahok
Kita terhenyak oleh dukungan prematur yang dilakukan Partai NasDem. Sulit dimengerti mengapa Partai Nas- Dem memberikan dukungan kepada Ahok, mendahului partai politik yang mengusung awal Ahok—ketika masih berpasangan dengan Joko Widodo—yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerindra.
Meski demikian, dukungan tersebut cukup masuk akal bila kita mengikuti day to day response publik terhadap kepemimpinan Ahok. Hal ini juga seiring dengan beberapa hasil survei popularitas dan elektabilitas yang digelar beberapa lembaga survei di Jakarta. Hasilnya, belum ada tokoh atau calon kandidat yang mampu mengungguli popularitas Ahok sebagai figur untuk memimpin Jakarta masa datang.
Lantas, apakah pilkada sudah bisa dianggap selesai dengan kemenangan di pihak Ahok? Jawabannya tentu saja belum. Sebagaimana dipahami, politik selalu bergerak dinamis. Hari ini Ahok bisa saja unggul secara popularitas, mungkin besok tidak lagi. Pilgub yang lalu misalnya, Fauzi Bowo selalu bertengger di posisi teratas berdasarkan hasil survei berbagai lembaga polling.
Namun, dalam realitasnya justru Fauzi Bowo kalah suara dengan pasangan Jokowi-Ahok. Muncul pertanyaan ulang, apakah dengan demikian hasil survei tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk memprediksi sebuah persaingan politik seperti pilkada? Jawabannya, bisa iya bisa juga tidak. Yang lazim, survei hanya memotret perilaku politik dan kecenderungannya saat survei itu dilakukan.
Setelah itu tentu keadaan bisa berubah, bergantung ada atau tidaknya intervensi politik dalam beragam bentuk sosialisasi dan penetrasi opini publik yang dilakukan kandidat. Bagi Ahok, kondisi saat ini tidak lantas menjadikannya berleha-leha atau berdiam diri. Namun, justru harus membuatnya lebih antisipatif dan kreatif dalam menyusun strategi dan melakukan langkahlangkah politik.
Sementara bagi pesaingpesaing Ahok, hasil survei tersebut bukanlah akhir dari segalanya. Dengan mengetahui hasil pemetaan popularitas dan elektabilitas lebih awal, mereka dapat melihat sejauh mana keunggulan dan kelemahan dirinya, termasuk Ahok.
Konfigurasi Kekuatan Politik
Selain dari jalur perseorangan atau independen, Pilgub DKI Jakarta diyakini masih memiliki magnet kuat bagi kandidat yang diusung partai politik atau gabungan partai politik. Dilihat dari komposisi kursi di DPRD, hanya PDIP dan Partai Gerindra yang berhak mengajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain.
Sesuai aturan, pasangan calon tersebut harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki suara 20% atau lebih. Dengan demikian, di luar PDIP dan Partai Gerindra, partai politik tersebut harus melakukan koalisi sehingga memenuhi persyaratan dukungan minimal. PDIP tentu punya stok figur yang dianggap mampu dan layak untuk menggantikan Ahok.
Beberapa di antaranya Djarot Syaiful Hidayat, Tri Rismaharini, dan Boy Sadikin. Tentu masih banyak nama lain yang dimiliki PDIP. Sementara itu, Partai Gerindra saat ini tengah menjaring nama-nama calon gubernur Jakarta dengan mengumpulkan tokoh-tokoh seperti Sandiaga Uno, M Taufik, Muhammad Sanusi, Adhyaksa Dault, dan lain-lain.
Partai lain tentu juga tidak tinggal diam. PPP melalui Ketua DPW DKI Jakarta Lulung Lunggana secara tegas menolak untuk mencalonkan Ahok. Sedangkan PAN juga melakukan testing the water dengan mengajukan beberapa nama figur ternama dari kalangan artis.
Demikian halnya dengan Yusril Ihza Mahendra dari PBB yang siap head to head melawan Ahok. Hemat penulis, masih ada beberapa partai politik seperti PKS, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, PKB yang belum menabuh genderang perang dalam pilkada di DKI Jakarta.
Siapa Lawan Ahok?
Ada banyak faktor yang jadi tolok ukur dalam memenangkan kompetisi di setiap ajang pemilihan kepala daerah. Seperti pemilihan gubernur di DKI Jakarta, di antaranya kekuatan figur, dukungan politik, kesiapan logistik, serta strategi politik pemenangan yang tepat.
Untuk Pilkada DKI Jakarta, kekuatan figur menjadi faktor yang sangat diperhitungkan, khususnya dalam dua kali pilkada secara langsung. Figurfigur kuat dan terkenal seperti Adang Dorodjatun, Fauzi Bowo, Faisal Basri, dan Joko Widodo menjadi bagian penting dari strategi politik untuk memenangkan Jakarta. Keberadaan figur-figur tersebut juga harus didekatkan dengan konfigurasi pemilih yang ada di Jakarta.
Kita tahu bahwa perkembangan Kota Jakarta berbarengan dengan visi pembangunan yang dilakukan Orde Baru. Saat itulah arus urbanisasi dari luar Jakarta—khususnya Jawa—membanjiri Jakarta di setiap sudut kota dan strata penduduknya.
Karena itu, sangat beralasan jika faktor Jawa—baik dipahami sebagai etnisitas maupun kekuatan politik yang bersifat laten—;akan sangat mendominasi pertimbangan pertimbangan politik dalam memilih figur. Ahok misalnya, meskipun secara opini dianggap kuat, positif sebagai antikorupsi, dan berani menata Jakarta, dia tetap membutuhkan figur yang menguatkan dari sisi etnisitas.
Di sinilah pentingnya posisi Djarot Syaiful Hidayat, di samping Ahok yang dianggap bisa saling melengkapi. Jika demikian, siapa lawan Ahok? Harus diakui bahwa secara statistik penduduk Jakarta masih didominasi oleh etnis Jawa sehingga wajar jika pemilih dari etnis ini menjadi perebutan krusial dalam setiap pilkada.
Sementara isu-isu keamanan dan ketertiban mendominasi aspirasi publik khas kota-kota besar di Indonesia. Yang unik adalah isu-isu keamanan dan ketenteraman di masyarakat masih sangat lekat dengan profil figur dari TNI, bukan polisi. Lantaran itu, jika ada pasangan yang merupakan kombinasi dari unsur etnis Jawa dan berlatar belakang karier di TNI, tentu akan menjadi lawan yang seimbang bagi Ahok.
Terlebih jika figur tersebut juga pernah memimpin daerah atau wilayah administrasi di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Figur-figur lain yang sudah muncul menghiasi laman media massa maupun media sosial lainnya seperti Sandiaga Uno, Tri Rismaharini, Yusril Ihza Mahendra, M Taufik, Ahmad Dani, dan Adhiyaksa Dault.
Menurut hemat penulis, para tokoh itu belum bisa menandingi posisi Ahok saat ini. Meski publik tidak mengingat dengan baik track record politik masa lalu, figurfigur tersebut dinilai publik sudah memiliki beban politik masa lalu. Jika komposisi di atas agak sulit ditemukan, alternatif yang paling memungkinkan adalah memunculkan tokoh atau figur baru yang lebih muda dan fresh, serta tidak memiliki beban politik masa lalu.
Saya kira pemilih di Jakarta akan lebih mudah menerima kehadiran figur baru tersebut. Nah, Jakarta yang lebih baru dan lebih baik tentu menjadi idaman bagi seluruh penduduk Jakarta ke depan. Apakah visi tersebut masih layak dititipkan ke figur Ahok? Atau, justru perlu figur pemimpin baru yang bisa membuat Jakarta jadi lebih baik. Di sinilah berlaku kalimat bijak bahwa setiap pemimpin ada masanya dan setiap masa punya pemimpinnya. Wallahu- ’alam .
KURNIA DANU AJI
Koran Sindo, 27/02/2016
Koran Sindo, 27/02/2016
Direktur Eksekutif Sains Institute
0 comments:
Post a Comment