Jasmerah
atau jangan melupakan sejarah adalah semboyan melegenda dari Sukarno. Kurang
lebih, pengertian semboyan itu adalah agar kita tak melupakan hal-hal silam
yang menyulam negeri ini, baik itu dari segi intrinsik maupun ekstrinsik.
Sangat tak elok kalau kita mendurhakai Ibu Pertiwi yang telah menyusui dan
membesarkan kita anak-anaknya. Bagaimanapun kita sekarang, tak dapat dibantah
bahwa berbagai garam yang telah dicecapi dari negeri ini telah mengantar kita
pada tepian yang mungkin nanar, hambar, tawar, juga bugar. Itu semua berasal
dari sekujur tubuh eksotis Ibu Pertiwi kita.
Pertanyaannya, setelah berlayar dari tepian ke tepian hingga mengantarkan kita pada posisi sekarang, apakah kita akan menjadi anak durhaka yang melupakan ibu setelah menguras air susunya yang mujarab? Apakah pula air susu yang telah menjadi nutrisi di setiap otot dan otak kita akan menjadi tuba yang cukup membuat mata hati kita buta?
Pertanyaannya, setelah berlayar dari tepian ke tepian hingga mengantarkan kita pada posisi sekarang, apakah kita akan menjadi anak durhaka yang melupakan ibu setelah menguras air susunya yang mujarab? Apakah pula air susu yang telah menjadi nutrisi di setiap otot dan otak kita akan menjadi tuba yang cukup membuat mata hati kita buta?
Ibu
Peritiwi adalah ibu yang baik. Dia ibu yang mengayomi. Sudah tersiar ke seluruh
penjuru mata angin bahwa Sang Ibu sudah melahirkan anak-anak yang ramah dalam
berutur. Tubuhnya juga teramat eksotis dan menawan sehingga banyak pelancong
yang mencoba merenggutnya! Emosinya bahkan stabil sehingga musim demi musim
dibagi dengan porsinya yang pas. Kita akhirnya (harusnya) tak kepanasan, tak
kedinginan, tak kehausan, tak kebanjiran. Justru lagi, setelah mandi di kolam
susu, kita akan dengan mudah mendapat ikan, buah, dan sayur yang bergelimang.
Mengonversi
Kecemburuan
Karena
itu, lahirlah kita sebagai anak-anak sehat dan kuat. Gizinya berimbang. Konon,
saudara-saudara kita pernah sukses mendirikan Sriwijaya dan Majapahit. Petutur
kebudayaan besar, M. Yamin, menginterpretasinya secara berurutan sebagai
“Republik Pertama” dan Republik Kedua”. Keduanya saudara-saudara hebat. Asia,
kala itu, dalam genggaman dan pengaruhnya. Pedagang-pedagang dari daerah lain
berkerumun. Dan, uang pun mengalir deras dalam tali pusatnya.
Dari kesuksesan saudara-saudara tua itu, banyak situs
sakral tersaji sebagai warisan. Ada candi, prasasti, keris, alat musik,
sarkofagus, dan masih banyak lagi. Segalanya tertata dengan rapi dan menjadi
sesuatu yang antik. Tak banyak negara demikian. Tak kalah menarik, bahasa
sebagai pengantar pesan kedamaian yang kini menjadi semacam lingua franca di ASEAN bahkan berasal
dari kerongkongannya. Mantra-mantra, nasihat-nasihat, puisi-puisi,
nyanyian-nyanyian, gerak gemulai tubuh dengan cekatan dipoles dari waktu ke
waktu. Dari rahimnya, menetaslah 1.280 suku bangsa yang unik. Punya bahasa sendiri, ritual sendiri, alat
musik sendiri, tarian sendiri. Sangat beragam dan harganya tentu saja tak
ternilai.
Semua ini, hanyalah bagian pelengkap dari kekayaan lainnya
yang secara intrinsik tersusun dari pulau-pulau besar dan kecil sebanyak 17.840 buah
dan lautan seluas 5,9 juta kilometer persegi, atau 75,32% dari total area
nasional. Lautan yang luas ini memuat berton-ton kekayaan kimiawi. Belum lagi kalau kita menyisir pantainya yang
rupawan dan menggoda. Pepohonan yang hijau, pasir-pasir yang kemilau,
ombak-ombak yang menubruk-nubruk sudut tanah, perahu nelayan yang
tergolek-golek, dan, oh, masih banyak
lagi dan itu sudah cukup menjadi alasan bagi negara lain untuk bercemburu.
Dan, kecemburuan itu bagi kita bukanlah sesuatu yang
binal, apalagi banal. Ini justru sesuatu yang mahal. Karena itu, kanal-kanal
harus dibuka tanpa jegal-menjegal. Kita harus mengonversi kecemburuan itu
menjadi tumpukan rupiah setelah, tentu saja, mendapatkan berjuta-juta puja-puji.
Maka itu, mari segera buka tangan lebar dan jangan bersikap barbar karena sudah
terkabar, kita ini, selain ramah, juga adalah petutur yang sabar.
Justru, marilah bergirang, dunia kini semakin
tersambung dan kita bisa semakin melambung. Kosmetika keelokan Ibu Pertiwi
berikut hasil karya buah tangan anak-anaknya (saudara-saudara kandung kita
terdahulu) harus dirawat. Tugas kita sekarang, mari membuat mereka semakin
bercemburu dengan kompak. Wujudnya bisa dengan menebar bangga di media sosial.
Bangga dengan kemolekan pantai, kerimbunan pohon, kejernihan air, kelokan
sungai. Bangga dengan riuh rendah tari-tarian, musik tradisional, serta tradisi
budaya yang unik, seperti pertunjukan kuda kepang yang dililit antara modern
dan kuno atau pertunjukan kebudayaan
massal dan kolosal. Ini menjadi sebuah iklan yang hebat.
Dan harus dicatat, kebanggaan ini jangan
sampai-sampai serupa dongeng belaka. Iklan, jika itu memang disebut iklan,
jangan sampai meninggalkan keriuhan semata. Kita harus menata segala yang ada
pada Ibu Peritiwi dengan mewah dan sumringah. Kita juga harus mahfum bahwa para
pencemburu akan benar-benar cemburu ketika apa yang kita banggakan sesuai
dengan apa yang di lapangan. Kalau itu terjadi, mereka akan semakin bercemburu
teramat dalam sehingga akan berkali-kali kembali menikmati Ibu Pertiwi tanpa
bosan-bosan.
Sebaliknya, mereka akan sangat menyesal pernah
cemburu jika apa yang kita bangga-banggakan hanya dongeng. Maka itu, menjadi
kewajiban bagi kita menjaga kemolekan tubuh Ibu Pertiwi. Menjadi keharusan pula
bagi kita merawat warisan dari saudara-saudara tua. Tugas kita kini adalah lagi-lagi
membuat para pelancong semakin dirasuki rasa cemburu. Dan, kita yang kini di
dunia internasional dinamai Republik Indonesia harus belajar dari saudara-saudara
tua. Kita harus belajar dari mereka bagaimana menjadi republik yang disegani.
Lebih-lebih, kita harus belajar bagaimana agar kelak tidak
jatuh seperti mereka.
Sangat Relevan
Jika Sriwijaya dulu mampu mengendalikan lautan luas yang
lalu tertatih karena adanya perseteruan antarpenguasa federasi dan
ketidakmampuan mengendalikan armada suku-suku laut, maka tentu saja kini kita
harus seanggukan menjaga Indonesia. Jika Majapahit berhasil menguasai
perdagangan yang lalu runtuh karena konflik antarkekuatan politik internal yang
tajam memuncak pada peristiwa huru-hara (Perang Paregreg), kini kita mesti
saling merangkul satu sama lain, bukan saling memukul.
Pelukan di antara kita harus semakin lekat. Silaturahmi di
antara kita harus semakin hangat. Kita sambut niat pemerintah yang ingin
membuat tol laut. Ini menjadi momen bagaimana kelak kita saling terhubung. Ini
juga menjadi sarana bagaimana kita membuat para pencemburu bermanja-manja
menikmati Indonesia.
Ringkasnya, jangan melupakan kedirian kita. Negeri ini negeri
yang dikepung laut. Garis pantainya panjang dan menawan. Produk sejarah dan
budayanya unik. Negeri ini harus menjadi negeri wisata, tepatnya wisata bahari.
Bahari diserap dari bahasa Arab yang artinya (1) dahulu kala, kuno, tua sekali (2)
indah atau elok sekali (3) mengenai laut. Dalam arti "dahulu kala",
bahari berkaitan dengan sejarah yang menunjuk khususnya pada Sriwijaya dan
Majapahit. Sebagai ingatan kolektif bangsa, kedua kerajaan itu, seperti
dikatakan George McT Kahin, jadi unsur pembentuk nasionalisme.
Kini, di masa Republik Ketiga, kita harus mengembangkan,
membanggakan, serta mengembalikan kesuskesan Republik I dan II dengan kembali
menggali dan merawat Ibu Pertiiwi. Jasmerah menjadi relevan menjadikan negeri
ini sebagai negeri wisata bahari (kemolekan tubuh dan budayanya)! Semoga!
Oleh Riduan Situmorang
Konsultan
Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat
Latihan Opera Batak) Medan
0 comments:
Post a Comment