Rabu, 9 Desember 2015 |
Oleh: Gewe Situmorang.
Dari zaman ke zaman, korupsi ternyata berevolusi dan koruptornya
menang telak dalam pertarungan yang dinisbatkan para penganut teori
evolusi. Ibarat kanker, mereka sebelumnya normal dan berjalan sesuai
siklus. Mereka menghormati hukum dan merasa di bawah hukum. Akan tetapi,
pada perjalanannya, dia berproses terlalu cepat sehingga muncullah
ketidaknormalan itu. Darah tersumbat, terjadi pembengkakan, dan pada
akhirnya, tubuh yang sebelumnya bugar mendadak lemah. Mungkin tubuh itu
kini tinggal menunggu kematian karena kanker sudah menyusup di segala
nadi.
Terapi mungkin akan membantunya, tetapi taruhannya rambut menjadi
gersang, kulit kering, tulang rapuh, biaya pun banyak. Artinya, terapi
hanya menunda kematian. Efeknya ganda pula karena dia tidak mati
sendiri, tetapi juga justru mematikan orang lain. Katakanlah akibat
korupsi itu lalu lahirlah, misalnya, generasi tanpa pendidikan karena
dana pendidikan dicomot; lahirlah generasi manusia rentan lantaran
badannya kurang gizi; lahirlah generasi stres bersebab suasana sumpek
seperti harus berkendara di bus yang sumpek, jalan yang berlobang, dan
dikepung macet karena dana-dana untuk infrastruktur habis dibabat oleh
koruptor. Inilah multiefek dari koruptor dan korupsi yang memenangi
evolusi itu.
Celakanya Evolusi
Seperti kita tahu, dalam evolusi hanya ada dua hal: membunuh atau
beradaptasi. Tak ada tempat untuk persaudaraan, kecuali itu memuluskan
adaptasi. Celakanya, beradaptasi tak cukup. Adakalanya kita malah harus
membunuh. Artinya, demi eksistensi, pembunuhan menjadi sebuah
keniscayaan. Celakanya lagi, pembunuhan itu tidak mengenal siapa dan
apa. Siapa dan apa pun pantas dibunuh tanpa melihat itu baik atau tidak,
apalagi pantas atau tidak.
Maka lihat saja kasus KPK dan Polri yang lalu. Lihat pula kasus Setya
Novanto dengan Freeport yang benar-benar bikin repot. Khusus kasus KPK
dengan Polri, memang sepintas, kasus ini sekadar perkelahian antara Budi
Gunawan (BG) dan KPK. Tetapi sungguhkan demikian? Tidak! Kasus ini
merupakan bagian dari evolusi, bahkan revolusi. Dalam hal ini, KPK
sebagai yang kalah dan Polri melalui BG sebagai yang menang.
Inilah celakanya evolusi, terlebih revolusi, yaitu melahirkan
kekerasan. Bahkan, revolusi itu identik dengan kekerasan itu sendiri.
Ada sebuah pemahaman bahwa revolusi tak akan terjadi tanpa darah dan
amarah. Maka lihatlah, ribuan orang menjadi tumbal pada revolusi Inggris
(1760), revolusi Amerika (1776), dan revolusi Perancis (1789). Untuk
Indonesia, kalau itu pantas disebut sebagai revolusi, peperangan
prakemerdekaan dan penumbangan rezim Orde Baru juga menewaskan
beribu-ribu orang.
Lalu, apakah (r)evolusi yang sepertinya dimenangi oleh Polri terhadap
KPK saat ini juga akan melahirkan kematian-kematian lain? Apakah rakyat
yang pro terhadap KPK akan menjadi tumbal? Atau, apakah Polri akan
membawa rakyat yang pro-KPK dan pro-Polri pada sebuah arena untuk
bertarung sebagai syarat bahwa (r)evolusi itu harus disertai
kematian-kematian?
Kita saksikan saja apa-apa yang akan segera terjadi. Hanya perlu
diteguhkan, Polri, koruptor lainnya, terutama yang menyangkut
orang-orang besar saat ini sudah bertindak kejauhan dan terlalu kejam.
Terlalu banyak darah yang mereka minum. Mereka bahkan tak lagi melihat
apakah yang diminum itu darah manusia atau tidak. Mereka menjadi
kanibal, mungkin juga zombie. Sekadar menyebut contoh, lihat, misalnya,
Polri yang tidak mau melihat dirinya secara utuh.
Andai mau melihat diri sebagai upaya evaluasi, mereka pasti mengimani
bahwa keberadaan KPK merupakan bukti kelemahan kinerja Polri selama ini
dalam menangkapi para pencuri uang. Alih-alih menangkapi, Polri malah
bagian dari korupsi itu sendiri. Ada pemilik rekening gendut, ada
pebisnis, ada penyalur narkoba, dan masih banyak lagi.
Melihat fakta itu, harusnya, Polri dan koruptor lainnya mendukung
KPK, bukan mempreteli. Celakanya sejauh ini, mereka justru mencari-cari
kesalahan. Kata mereka, KPK kini terjebak politik, bahkan ikut
berpolitik. Maka pernah di negeri ini, atas nama memperjuangkan
independensi KPK, mereka mencari-cari kesalahan punggawa-punggawa KPK.
Kesalahan beberapa tahun lalu pun dimunculkan. Tentu, tak ada orang yang
sempurna, tak ada orang yang benar-benar baik. Artinya, kalau
dicari-cari, kesalahan pasti ada, semisal, mencuri mangga tetangga waktu
kecil, memukul teman sepermainan, bolos dari sekolah, melawan guru,
ditilang polisi.
Ya, begitulah, KPK kini sedang terdesak. Sedikit saja mereka tanpa
oksigen, maka berakhirlah kisah KPK dengan segenap kisah heroiknya.
Inilah sekaligus menjadi bukti bahwa KPK terlalu mempunyai banyak musuh,
sudah begitu, musuh-musuhnya berkembang secara revolutif. Seperti apa
perkembangan korupsi itu? Sastra merekamnya dengan baik dan izinkan saya
mengutipnya di sini.
Pada disertasinya yang berjudul Representasi Korupsi dalam Novel
Indonesia: Perspektif Kajian Budaya, Shoim Anwar mencoba mengumpulkan
novel bertemakan korupsi dari generasi ke generasi. Novel-novel itu
adalah Korupsi karangan Pramodya Ananta Toer; Senja di Jakarta, bikinan
Mochtar Lubis; Ladang Perminus milik Ramadhan K.H.; Orang-orang Proyek
karya Ahmad Thohari; Memburu Koruptor Kepunyaan kepunyaan Urip Sutomo.
Dari kelima novel tersebut diketahui bahwa ternyata korupsi dan
koruptor memang be-revolusi dari yang tampak seakan tidak tampak, dari
sederhana menjadi ribet, dari perorangan menjadi komplotan.
Pada Korupsi, misalnya, perilaku korup seorang birokrat yang
direpresentasikan tokoh Bakir masih sebatas melakukan mark up anggaran.
Lingkup pelakunya pun masih sebatas oknum atau individual.
Melulu Darah Kita
Sementara pada Senja di Jakarta dan Ladang Perminus, praktik korupsi
telah menjalar tidak sebatas aktor individu, tetapi melibatkan jaringan
birokrasi pemerintah, organisasi partai, anggota parlemen. Di Ladang
Perminus lain pula. Di sana secara metaforik disebut perusahaan minyak
nusantara (BUMN) sebagai sapi perahan elite penguasa yang berkonspirasi
untuk memperkaya diri dan kroni-kroninya.
Orang-Orang Proyek semakin mempertegas konspirasi birokrat dan
pengusaha pemenang tender untuk menyikat anggaran sehingga proyek
bangunan jembatan benar-benar nihil kualitas. Dana yang dikorup dari
proyek itu pun sebagian besar digunakan untuk menyambut “Bapak
Pembangunan” dalam peringatan ulang tahun partai.
Lebih lugas, Memburu Koruptor memampangkan praktik korupsi yang
semakin masif, dengan jaringan pelaku yang meluas. Tidak sebatas
birokrat dan pengusaha, tetapi juga para penegak hukum, aktivis LSM,
tokoh agama ikut terlibat. Urip Sutomo, penulis Memburu Koruptor yang
seorang jurnalis, tahu persis dari kerja reportasenya tentang
tali-menali jejaring korupsi yang melibatkan banyak aktor di berbagai
lini kehidupan. Di sampul novelnya itu diberi ekor judul secara
tegas: based on the true story.
Begitulah korupsi berevolusi. Saya yakin, cara koruptor be-revolusi
kini sudah sangat ekstrem. Tidak saja sekadar me-mark up, mengadakan
yang tak ada (fiktif), menyogok, melemahkan KPK, tetap juga sudah
kospiratif sehingga nama-nama beken pun dicatut. Koruptor berevolusi dan
mengimitasi diri bagaikan nabi, padahal iblis. Sangat konspiratif dan
merasa diri bukan pelaku, melainkan sebagai korban sehingga mereka
berjuang mati-matian, katanya, sebagai justice collaborator. Tetapi
sesungguhnya, saya yakin itu hanyalah bagian dari evolusi. Toh pada
akhirnya, mereka akan kaya sekaya-kayanya dan kita akan miskin
semiskin-miskinnya. Revolusi memang berdarah-darah, tetapi darah kali
ini melulu darah kita! ***
Penulis Adalah Alumnus FBS-UNIMED dan Staf Pengajar PROSUS INTEN MEDAN.
0 comments:
Post a Comment