LGBT, akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender mendadak
mencuri perhatian publik dan menjadi bahan obrolan di manamana, mulai
dari tayangan media, obrolan warung kopi, sampai obrolan melalui grup
WhatsApp.
Topik ini semakin menyita atensi publik tatkala beredar informasi bahwa
ada kucuran dana ratusan miliar rupiah dari UNDP dan USAID untuk
mendukung aktivitas komunitas LGBT di beberapa negara Asia,
termasukIndonesia. Hal yang tentu saja mulai mengindikasikan bahwa LGBT
telah menjadi sebuah gerakan yang diorganisasi secara sistematis;
organized movement. Sasarannya pun tak main-main, mahasiswa dan
akademisi kampus.
Tujuannya jelas, untuk memperjuangkan hak-hak pengidap LGBT agar diakui
secara sah oleh hukum sehingga dengan sendirinya bisa melakukan
perkawinan sesama jenis kelamin di Indonesia. Publik pun dihadapkan pada
sebuah pertanyaan besar, apakah LGBT merupakan sebuah penyakit yang
berkaitan dengan penyimpangan perilaku seksual yang harus diobati?
Ataukah, merupakan perilaku seksual yang wajar dan normal di masyarakat
sehingga harus diperlakukan sama dengan warga negara lainnya, termasuk
bisa melaksanakan pernikahan sesama jenis?
LGBT dan Plastisitas Otak
Terdapat beragam pandangan tentang LGBT, apakah merupakan perilaku
seksual menyimpang yang ditularkan melalui lingkungan, pergaulan,
pengalaman, dan kebiasaan hidup?
Sehingga, lambat laun mengubah struktur otak mereka layaknya fenomena
kecanduan yang sifatnya adiktif lainnya? Ataukah, merupakan
gejalapsikologisorientasiseksual lain karena faktor genetik yang
menyebabkan ada perbedaan struktur otak sejak lahir dengan orang lain
pada umumnya yang heteroseksual? Sehingga, menjadi sebuah keniscayaan
bahwa menjadi LGBT bukanlah pilihan bebas yang merdeka, melainkan
merupakan kondisi bawaan yang sifatnya deterministik?
Yang oleh karena itu harus kita akomodasi hak-hak mereka sebagai manusia
normal yang merdeka, termasuk diperbolehkan untuk melakukan pernikahan
sesama jenis kelamin? Saya secara pribadi lebih sependapat dengan
pandangan yang menyatakan bahwa ada perbedaan struktur otak antara kaum
LGBT (homoseksual) dan heteroseksual diakibatkan oleh rangsangan
terus-menerus terhadap otak sebagai akibat ada perubahan perilaku
seksual dalam rentang waktu yang lama dan terus-menerus.
Pandangan ini diperkuat dengan ada teori tentang plastisitas otak yang
menyatakan bahwa struktur otak bisa berubah melalui pengaruh kebiasaan,
pengalaman, gaya hidup, dan lingkungan. Artinya, LGBT bisa ditularkan
seperti penyakit menular lainnya yang sifatnya infeksius.
Candu LGBT-ers
Kita mungkin bertanya, apa kaitan LGBT dengan dopamin dan nucleus
accumbens dalam otak manusia? Seperti yang telah dijelaskan, LGBT
merupakan sebuah perilaku menyimpang yang sifatnya infeksius, bisa
ditularkan. Sasaran penularannya tak main-main, langsung ke otak manusia
yang merupakan hardware pengatur perilaku melalui candu kenikmatan atas
hubungan seksual sesama jenis.
Aktivitas ini selanjutnya akan menstimulasi otak melepaskan
dopamin–-yang merupakan zat pemicu kenikmatan-– di nucleus accumbens
yang terdapat pada bagian otak tengah. Dalam jangka waktu yang lama,
jika tidak dicegah, lambat laun akan mengakibatkan terjadi perubahan
struktur otak berkaitan dengan penguatan aktivitas di nucleus accumbens .
Yang perlu digarisbawahi adalah, penguatan aktivitas nucleus accumbens
oleh ketergantungan seks (sex addict), persis seperti penguatan
aktivitas nucleus acumbens akibat pelepasan dopamin pada kasus kecanduan
obat-obatan narkotik dan kecanduan berjudi.
Sederhananya, kecanduan para kaum LGBT terhadap melakukan hubungan
seksual sesama jenis sama kuatnya dengan mereka yang mengalami kecanduan
obat-obatan narkotik dan judi. Kecanduanyangdidasari olehkeinginan kuat
untuk mendapatkan kenikmatan yang sama.
Sialnya, otak tidak bisa memberikan respons yang berbeda antara
pelepasan dopamin di nucleus accumbens yang disebabkan oleh kecanduan
obatobatan narkotika, kecanduan judi berat, dan kecanduan seks.
Ketiga-tiganya direspons sama oleh otak. Karena itu, pilihan bijaknya
adalah memperlakukan para kaum LGBT seperti para korban pencandu narkoba
dan judi.
Melawan Organized LGBT
Sudah dijelaskan di atas bahwa LGBT adalah perilaku penyimpangan seksual
dan juga penyakit sosial yang menular di masyarakat, sama halnya pada
kasus narkoba dan perjudian. Untukitu, demimenyelamatkan masa depan anak
bangsa, penyebaran dan penularan LGBT harus kita lawan.
Termasuk melawan berdirinya komunitas LGBT sebagai sebuah gerakan resmi
yang terorganisasi. Kehadiran komunitas resmi LGBT sekali lagi harus
kita lawan agar tidak semakin meluas menjangkiti anak bangsa. Lantas apa
perlakuan kita terhadap mereka yang merupakan pengidap LGBT? Kita harus
berempati, merangkul, dan menunjukkan kasih sayang untuk menyembuhkan
mereka.
Apakah melalui panti rehabilitasi persis para korban pencandu narkoba
ataukah melalui alternatif penyembuhan lainnya. Prinsipnya kita harus
berani berbesar hati untuk membantu mereka agar sembuh dan
kembalimenjalaniaktivitaskehidupan yang normal dan sesuai dengan nilai
kesusilaan serta aturan agama.
Fikri Suadu
Koran Sindo, 19/02/2016,
Dosen Neuroscience dan Peneliti pada Indonesia Brain Research Center (IBRC) Surya University
Friday, 19 February 2016
Infeksi LGBT dan Plastisitas Otak
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment