Friday, 19 February 2016

Infeksi LGBT dan Plastisitas Otak

LGBT, akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender mendadak mencuri perhatian publik dan menjadi bahan obrolan di manamana, mulai dari tayangan media, obrolan warung kopi, sampai obrolan melalui grup WhatsApp.

Topik ini semakin menyita atensi publik tatkala beredar informasi bahwa ada kucuran dana ratusan miliar rupiah dari UNDP dan USAID untuk mendukung aktivitas komunitas LGBT di beberapa negara Asia, termasukIndonesia. Hal yang tentu saja mulai mengindikasikan bahwa LGBT telah menjadi sebuah gerakan yang diorganisasi secara sistematis; organized movement. Sasarannya pun tak main-main, mahasiswa dan akademisi kampus.

Tujuannya jelas, untuk memperjuangkan hak-hak pengidap LGBT agar diakui secara sah oleh hukum sehingga dengan sendirinya bisa melakukan perkawinan sesama jenis kelamin di Indonesia. Publik pun dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar, apakah LGBT merupakan sebuah penyakit yang berkaitan dengan penyimpangan perilaku seksual yang harus diobati?

Ataukah, merupakan perilaku seksual yang wajar dan normal di masyarakat sehingga harus diperlakukan sama dengan warga negara lainnya, termasuk bisa melaksanakan pernikahan sesama jenis?

LGBT dan Plastisitas Otak


Terdapat beragam pandangan tentang LGBT, apakah merupakan perilaku seksual menyimpang yang ditularkan melalui lingkungan, pergaulan, pengalaman, dan kebiasaan hidup?

Sehingga, lambat laun mengubah struktur otak mereka layaknya fenomena kecanduan yang sifatnya adiktif lainnya? Ataukah, merupakan gejalapsikologisorientasiseksual lain karena faktor genetik yang menyebabkan ada perbedaan struktur otak sejak lahir dengan orang lain pada umumnya yang heteroseksual? Sehingga, menjadi sebuah keniscayaan bahwa menjadi LGBT bukanlah pilihan bebas yang merdeka, melainkan merupakan kondisi bawaan yang sifatnya deterministik?

Yang oleh karena itu harus kita akomodasi hak-hak mereka sebagai manusia normal yang merdeka, termasuk diperbolehkan untuk melakukan pernikahan sesama jenis kelamin? Saya secara pribadi lebih sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa ada perbedaan struktur otak antara kaum LGBT (homoseksual) dan heteroseksual diakibatkan oleh rangsangan terus-menerus terhadap otak sebagai akibat ada perubahan perilaku seksual dalam rentang waktu yang lama dan terus-menerus.

Pandangan ini diperkuat dengan ada teori tentang plastisitas otak yang menyatakan bahwa struktur otak bisa berubah melalui pengaruh kebiasaan, pengalaman, gaya hidup, dan lingkungan. Artinya, LGBT bisa ditularkan seperti penyakit menular lainnya yang sifatnya infeksius.

Candu LGBT-ers

Kita mungkin bertanya, apa kaitan LGBT dengan dopamin dan nucleus accumbens dalam otak manusia? Seperti yang telah dijelaskan, LGBT merupakan sebuah perilaku menyimpang yang sifatnya infeksius, bisa ditularkan. Sasaran penularannya tak main-main, langsung ke otak manusia yang merupakan hardware pengatur perilaku melalui candu kenikmatan atas hubungan seksual sesama jenis.

Aktivitas ini selanjutnya akan menstimulasi otak melepaskan dopamin–-yang merupakan zat pemicu kenikmatan-– di nucleus accumbens yang terdapat pada bagian otak tengah. Dalam jangka waktu yang lama, jika tidak dicegah, lambat laun akan mengakibatkan terjadi perubahan struktur otak berkaitan dengan penguatan aktivitas di nucleus accumbens . Yang perlu digarisbawahi adalah, penguatan aktivitas nucleus accumbens oleh ketergantungan seks (sex addict), persis seperti penguatan aktivitas nucleus acumbens akibat pelepasan dopamin pada kasus kecanduan obat-obatan narkotik dan kecanduan berjudi.

Sederhananya, kecanduan para kaum LGBT terhadap melakukan hubungan seksual sesama jenis sama kuatnya dengan mereka yang mengalami kecanduan obat-obatan narkotik dan judi. Kecanduanyangdidasari olehkeinginan kuat untuk mendapatkan kenikmatan yang sama.

Sialnya, otak tidak bisa memberikan respons yang berbeda antara pelepasan dopamin di nucleus accumbens yang disebabkan oleh kecanduan obatobatan narkotika, kecanduan judi berat, dan kecanduan seks. Ketiga-tiganya direspons sama oleh otak. Karena itu, pilihan bijaknya adalah memperlakukan para kaum LGBT seperti para korban pencandu narkoba dan judi.

Melawan Organized LGBT


Sudah dijelaskan di atas bahwa LGBT adalah perilaku penyimpangan seksual dan juga penyakit sosial yang menular di masyarakat, sama halnya pada kasus narkoba dan perjudian. Untukitu, demimenyelamatkan masa depan anak bangsa, penyebaran dan penularan LGBT harus kita lawan.

Termasuk melawan berdirinya komunitas LGBT sebagai sebuah gerakan resmi yang terorganisasi. Kehadiran komunitas resmi LGBT sekali lagi harus kita lawan agar tidak semakin meluas menjangkiti anak bangsa. Lantas apa perlakuan kita terhadap mereka yang merupakan pengidap LGBT? Kita harus berempati, merangkul, dan menunjukkan kasih sayang untuk menyembuhkan mereka.

Apakah melalui panti rehabilitasi persis para korban pencandu narkoba ataukah melalui alternatif penyembuhan lainnya. Prinsipnya kita harus berani berbesar hati untuk membantu mereka agar sembuh dan kembalimenjalaniaktivitaskehidupan yang normal dan sesuai dengan nilai kesusilaan serta aturan agama.

Fikri Suadu
Koran Sindo, 19/02/2016,

Dosen Neuroscience dan Peneliti pada Indonesia Brain Research Center (IBRC) Surya University

0 comments: