Oleh
Riduan Situmorang
Ada
sebuah kelucuan luar biasa yang tak dapat saya pahami di dunia, terutama di
negeri ini. Kelucuan itu adalah ketika ada pengingkaran disengaja atas
eksistensi manusia dan lingkungannya. Maka lihatlah, walau tubuh manusia
didominasi cairan dan karena itu butuh air, mereka rupa-rupanya membuang-buang
air sesuka hati, merusak sumber air semena-mena, dan yang lebih tragis,
memolitisasi serta memonopoli sumber-sumber air begitu saja.
Yang
tak kalah luar biasa lucunya, ada semacam pemahaman, air itu merupakan sumber
daya alam abadi yang tak akan pernah habis. Kata kita dengan sumringah, volume
air dari tahun ke tahun jumlahnya tetap sama, tak pernah berkurang atau
berlebih. Maka dengan bangga dan merasa tak bersalah, kita lagi-lagi berargumen,
air yang dulu diminum oleh dinosuaurus itulah yang kemudian kita minum saat
ini.
Kita sederhanakan penjelasan itu melalui skema
siklus air. Jadi, meski dinosaurus sudah punah, air toh tak juga punah. Air itu abadi, begitulah doktrin tertancap
dalam-dalam pada pikiran kita sehingga jadilah kita sebagai mahluk yang
akhirnya benar-benar abai pada air. Sebelum dibahas terlalu jauh, baiklah kalau
pertanyaan ini diajukan: apakah air itu memang benar-benar abadi dan karena itu
tak perlu dirawat?
Lucu
Saya kutipkan kajian ilmiah ini pada Anda.
Mudah-mudahan data ini sekadar menakut-nakuti! Organisasi pangan dan pertanian
PBB (FAO) telah mengingatkan, pada tahun 2025 akan ada 1,8 miliar penduduk
tinggal di daerah langka air secara absolut. Yang lebih provokatif, katanya
lagi, pada tahun 2030 dunia akan mengalami krisis air bersih. Maka benar yang
diklaim Lena Simanjuntak—seniman Indonesia yang tinggal di Jerman—ke depan,
orang akan berperang karena air sebagaimana kita telah berperang karena minyak.
Kenyataan itu tentu semakin lucu—dan
tragis—mengingat air dan minyak adalah dua hal yang beda sekali. Air berlimpah
dan minyak langka. Coba pikirkan, darimana nalarnya kalau kelak kita akan
berperang karena air yang jumlahnya melimpah, kecuali kalau itu bukan kelucuan
luar biasa?
Ya, begitulah fakta. Kita sudah sedang menuju perjalanan
peperangan merebut air bersih. Saksikanlah sekarang bagaimana perusahaan-perusahaan
air kemasan begitu ramai dan laris. Gunung-gunung yang mengandung mata air
sudah diprivatisasi. Izin untuk mengolahnya sudah dikeluarkan pemerintah. Inilah
kelucuan itu, kelak, orang yang tinggal di sekitaran gunung yang mengandung
mata air, harus berjibaku dan membeli air kemasan. Air yang dulu gratis menjadi
mahal.
Kelucuan lain yang timbul adalah ketika melihat itu
semua, pemerintah kita terdiam. Mereka tak banyak berbuat, kecuali memberi
izin. Tugas mereka persis hanya memberi izin dan izin. Di sini, izin menjadi
urusan angka dan proyek, bukan substansi. Mereka tak peduli, dengan izin itu
air yang gratis menjadi melulu urusan bisnis. Air menjadi asap, seperti
belakangan ini. Kita tak sedang coba mengutuki terlalu jauh para pebisnis yang kini
“mengapitalisasi” air pada kolom ini. Seperti kita tahu, bisnis ya bisnis. Dalam
bisnis, semua hal menjadi halal, apalagi kalau sudah mendapatkan izin usaha.
Nah, satu-satunya dan yang terutama yang patut
disalahkan adalah pemerintah. Pebisnis masih bisa dibenarkan. Apalagi, banyak
juga dari mereka yang pro pada lingkungan. Mengapa pemerintah? Lihat,
pemerintah kerap kali mendangkalkan kemampuannya. Mereka mampu memberi izin,
mereka dilegitimasi, mereka dipercaya, tetapi mereka tak mampu melakukan banyak
hal dalam mengurusi air.
Paling banter, pemerintah hanya bisa mengandalkan PDAM.
Namun, PDAM hanyalah nama, bukan susbtansi. Meski PDAM adalah singkatan dari
“perusahaan daerah air minum”, PDAM bukanlah perusahaan yang mengurusi urusan
minum. Atau, apakah Anda pernah menggunakan air yang tiap bulan ini harus
dibayar sebagai air minum? Saya sendiri hanya memakainya untuk mandi. Enggan,
bahkan jijik kalau harus memakai air yang kadang bau, kadang putih, kadang
coklat, bahkan kadang tak mengalir ini sebagai air minum, bukan?
Inilah kelucuan tadi. Pemerintah yang kita pilih,
yang kita percayakan, yang kita legitimasi, bahkan yang kita hidupi melalui
gaji ini tak bisa membuat perusahaan air minum yang dapat menandingi perusahaan
air minum kemasan. Mereka hanya memberi izin seolah-olah tugas mereka hanya
urusan administrasi. Yang paling menyedihkan, belum pernah terdengar gaung dari
pemerintah bagaimana menyelamatkan air. Yang ada, sumber-sumber air, semisal
hutan dan gunung malah diberi izin tambang, konversi lahan, dan, oh, masih banyak lagi. Bukankah itu
kelucuan luar biasa?
Nah, karena tadi dikutipkan ramalan yang mungkin
bagi Anda bombastis karena diperkirakan akan terjadi pada rentang waktu
2025-2030 yang padahal Anda belum tentu hidup lagi di sana, baiklah kalau fakta
yang sudah terjadi ini saya kutipkan. Menurut WHO, sampai pada tahun 2008,
sudah ada sekitar 900 juta yang tidak memiliki akses terhadap air bersih. Sekitar
2,6 miliar tak punya akses pula terhadap sanitasi. Itulah alasan mengapa PBB
pada tahun 2010 silam secara resmi sudah mendaulat, akses terhadap air bersih
dan sanitasi adalah bagian dari HAM. Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah kita
telah memperlakukannya sebagai HAM?
Harus Lebih Berperan
Entahlah, hampir tak bisa diterawang karena memang
pemerintah belum melakukan apa-apa. Yang ada, pemerintah seakan mengajarkan
secara implisit kepada kita, air itu
merupakan public goods atau
barang non-rival. Siapa pun bisa mengonsumsinya, terutama mengusahakannya. Ditanamkanlah
pada otak kita, mengonsumsi air secara berlebihan itu tak berarti telah
membatasi orang lain untuk mengonsumsinya. Bagi kita, hak atas air itu adalah
seumpama non-excludable, yaitu hampir
mustahil untuk melarang seseorang untuk mengonsumsinya, apalagi
mengusahakannya.
Imbasnya, kita bersikap terima-terima saja manakala
ada beberapa oknum yang memprivatisasi air. Ada lagi orang yang memprovokasi,
air merupakan open-acces dan karena
itu tak dapat diklaim untuk ditegakkan. Siapa saja berhak mengelola air. Di sinilah
kelucuan itu semakin bersarang. Ketika negeri yang berjuta sungai, berjuta
kali, berjuta mata air, daerah hujan atau tropis, tetapi di saat itu kita
justru membeli air pada kemasan botol plastik. Apa itu bukan pembodohan?
Penjajahan?
Poin saya di sini adalah tidak sedang memojokkan
pengusaha yang memanfaatkan dan atau memprivatisasi air. Bagaimana pun, beberapa
dari mereka ada juga yang care pada
lingkungan. Sebagaian kecil dari mereka bahkan sudah terbukti dedikasinya untuk
membantu negara dalam hal irigasi, pembiayaan pendidikan, infrastruktur, dan
sebagainya. Setidaknya, meski belum maksimal—yang walau sebenarnya banyak juga
di antara mereka yang melakukan usaha melampaui di atas izin yang
diberikan—mereka sudah ikut merawat kelestarian air.
Masalahnya, di mana pemerintah yang padanya kita
beri kepercayaan, dukungan, dan seperti tadi, kita hidupi melelui gaji? Apakah
mereka digaji sebatas untuk mengeluarkan izin dan izin? Sudah seharusnya
pemerintah ikut andil dan lebih berperan menjaga kelestarian air. Setidaknya,
“memaksa” kita semua untuk melakukannya melalui kebijakan politik yang pro
lingkungan karena memang, air untuk kita semua dan karena itu menjadi tanggung
jawab kita semua.
Penulis Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta
Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan
0 comments:
Post a Comment