Monday, 26 October 2015

Air untuk Semua

Oleh Riduan Situmorang
 

           Ada sebuah kelucuan luar biasa yang tak dapat saya pahami di dunia, terutama di negeri ini. Kelucuan itu adalah ketika ada pengingkaran disengaja atas eksistensi manusia dan lingkungannya. Maka lihatlah, walau tubuh manusia didominasi cairan dan karena itu butuh air, mereka rupa-rupanya membuang-buang air sesuka hati, merusak sumber air semena-mena, dan yang lebih tragis, memolitisasi serta memonopoli sumber-sumber air begitu saja.
            Yang tak kalah luar biasa lucunya, ada semacam pemahaman, air itu merupakan sumber daya alam abadi yang tak akan pernah habis. Kata kita dengan sumringah, volume air dari tahun ke tahun jumlahnya tetap sama, tak pernah berkurang atau berlebih. Maka dengan bangga dan merasa tak bersalah, kita lagi-lagi berargumen, air yang dulu diminum oleh dinosuaurus itulah yang kemudian kita minum saat ini.
Kita sederhanakan penjelasan itu melalui skema siklus air. Jadi, meski dinosaurus sudah punah, air toh tak juga punah. Air itu abadi, begitulah doktrin tertancap dalam-dalam pada pikiran kita sehingga jadilah kita sebagai mahluk yang akhirnya benar-benar abai pada air. Sebelum dibahas terlalu jauh, baiklah kalau pertanyaan ini diajukan: apakah air itu memang benar-benar abadi dan karena itu tak perlu dirawat?
Lucu
Saya kutipkan kajian ilmiah ini pada Anda. Mudah-mudahan data ini sekadar menakut-nakuti! Organisasi pangan dan pertanian PBB (FAO) telah mengingatkan, pada tahun 2025 akan ada 1,8 miliar penduduk tinggal di daerah langka air secara absolut. Yang lebih provokatif, katanya lagi, pada tahun 2030 dunia akan mengalami krisis air bersih. Maka benar yang diklaim Lena Simanjuntak—seniman Indonesia yang tinggal di Jerman—ke depan, orang akan berperang karena air sebagaimana kita telah berperang karena minyak.
Kenyataan itu tentu semakin lucu—dan tragis—mengingat air dan minyak adalah dua hal yang beda sekali. Air berlimpah dan minyak langka. Coba pikirkan, darimana nalarnya kalau kelak kita akan berperang karena air yang jumlahnya melimpah, kecuali kalau itu bukan kelucuan luar biasa?
Ya, begitulah fakta. Kita sudah sedang menuju perjalanan peperangan merebut air bersih. Saksikanlah sekarang bagaimana perusahaan-perusahaan air kemasan begitu ramai dan laris. Gunung-gunung yang mengandung mata air sudah diprivatisasi. Izin untuk mengolahnya sudah dikeluarkan pemerintah. Inilah kelucuan itu, kelak, orang yang tinggal di sekitaran gunung yang mengandung mata air, harus berjibaku dan membeli air kemasan. Air yang dulu gratis menjadi mahal.
Kelucuan lain yang timbul adalah ketika melihat itu semua, pemerintah kita terdiam. Mereka tak banyak berbuat, kecuali memberi izin. Tugas mereka persis hanya memberi izin dan izin. Di sini, izin menjadi urusan angka dan proyek, bukan substansi. Mereka tak peduli, dengan izin itu air yang gratis menjadi melulu urusan bisnis. Air menjadi asap, seperti belakangan ini. Kita tak sedang coba mengutuki terlalu jauh para pebisnis yang kini “mengapitalisasi” air pada kolom ini. Seperti kita tahu, bisnis ya bisnis. Dalam bisnis, semua hal menjadi halal, apalagi kalau sudah mendapatkan izin usaha.
Nah, satu-satunya dan yang terutama yang patut disalahkan adalah pemerintah. Pebisnis masih bisa dibenarkan. Apalagi, banyak juga dari mereka yang pro pada lingkungan. Mengapa pemerintah? Lihat, pemerintah kerap kali mendangkalkan kemampuannya. Mereka mampu memberi izin, mereka dilegitimasi, mereka dipercaya, tetapi mereka tak mampu melakukan banyak hal dalam mengurusi air.
Paling banter, pemerintah hanya bisa mengandalkan PDAM. Namun, PDAM hanyalah nama, bukan susbtansi. Meski PDAM adalah singkatan dari “perusahaan daerah air minum”, PDAM bukanlah perusahaan yang mengurusi urusan minum. Atau, apakah Anda pernah menggunakan air yang tiap bulan ini harus dibayar sebagai air minum? Saya sendiri hanya memakainya untuk mandi. Enggan, bahkan jijik kalau harus memakai air yang kadang bau, kadang putih, kadang coklat, bahkan kadang tak mengalir ini sebagai air minum, bukan?
Inilah kelucuan tadi. Pemerintah yang kita pilih, yang kita percayakan, yang kita legitimasi, bahkan yang kita hidupi melalui gaji ini tak bisa membuat perusahaan air minum yang dapat menandingi perusahaan air minum kemasan. Mereka hanya memberi izin seolah-olah tugas mereka hanya urusan administrasi. Yang paling menyedihkan, belum pernah terdengar gaung dari pemerintah bagaimana menyelamatkan air. Yang ada, sumber-sumber air, semisal hutan dan gunung malah diberi izin tambang, konversi lahan, dan, oh, masih banyak lagi. Bukankah itu kelucuan luar biasa?
Nah, karena tadi dikutipkan ramalan yang mungkin bagi Anda bombastis karena diperkirakan akan terjadi pada rentang waktu 2025-2030 yang padahal Anda belum tentu hidup lagi di sana, baiklah kalau fakta yang sudah terjadi ini saya kutipkan. Menurut WHO, sampai pada tahun 2008, sudah ada sekitar 900 juta yang tidak memiliki akses terhadap air bersih. Sekitar 2,6 miliar tak punya akses pula terhadap sanitasi. Itulah alasan mengapa PBB pada tahun 2010 silam secara resmi sudah mendaulat, akses terhadap air bersih dan sanitasi adalah bagian dari HAM. Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah kita telah memperlakukannya sebagai HAM?
Harus Lebih Berperan
Entahlah, hampir tak bisa diterawang karena memang pemerintah belum melakukan apa-apa. Yang ada, pemerintah seakan mengajarkan secara implisit kepada kita, air itu  merupakan public goods atau barang non-rival. Siapa pun bisa mengonsumsinya, terutama mengusahakannya. Ditanamkanlah pada otak kita, mengonsumsi air secara berlebihan itu tak berarti telah membatasi orang lain untuk mengonsumsinya. Bagi kita, hak atas air itu adalah seumpama non-excludable, yaitu hampir mustahil untuk melarang seseorang untuk mengonsumsinya, apalagi mengusahakannya.
Imbasnya, kita bersikap terima-terima saja manakala ada beberapa oknum yang memprivatisasi air. Ada lagi orang yang memprovokasi, air merupakan open-acces dan karena itu tak dapat diklaim untuk ditegakkan. Siapa saja berhak mengelola air. Di sinilah kelucuan itu semakin bersarang. Ketika negeri yang berjuta sungai, berjuta kali, berjuta mata air, daerah hujan atau tropis, tetapi di saat itu kita justru membeli air pada kemasan botol plastik. Apa itu bukan pembodohan? Penjajahan?
Poin saya di sini adalah tidak sedang memojokkan pengusaha yang memanfaatkan dan atau memprivatisasi air. Bagaimana pun, beberapa dari mereka ada juga yang care pada lingkungan. Sebagaian kecil dari mereka bahkan sudah terbukti dedikasinya untuk membantu negara dalam hal irigasi, pembiayaan pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya. Setidaknya, meski belum maksimal—yang walau sebenarnya banyak juga di antara mereka yang melakukan usaha melampaui di atas izin yang diberikan—mereka sudah ikut merawat kelestarian air.
Masalahnya, di mana pemerintah yang padanya kita beri kepercayaan, dukungan, dan seperti tadi, kita hidupi melelui gaji? Apakah mereka digaji sebatas untuk mengeluarkan izin dan izin? Sudah seharusnya pemerintah ikut andil dan lebih berperan menjaga kelestarian air. Setidaknya, “memaksa” kita semua untuk melakukannya melalui kebijakan politik yang pro lingkungan karena memang, air untuk kita semua dan karena itu menjadi tanggung jawab kita semua.
Penulis Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan

0 comments: