Wednesday, 17 June 2015

Kabinet Kerja, kabinet Manja

Oleh: Riduan Situmorang
Analisa, 16 Juni 2015
Motto Kabinet Kerja bikinan Jokowi adalah kerja, kerja, kerja. Pengulangan kata yang sampai tiga kali itu menjadi pengejawantahan bahwa kabinet ini benar-benar kabinet untuk bekerja, bukan berbicara, apalagi bermanja-manja. Hal itu semakin dilengkapi lagi oleh Jokowi ketika dia memanggil nama para pembantunya: ayo, lari!
Dinas mereka pun unik: putih hitam. Kita tahu, pakaian seperti ini menjadi lambang untuk siap bekerja. Di berbagai perusahaan, para pegawai-baru sering dianjurkan memakai seragam putih hitam seperti ini. Kita tak tahu alasannya mengapa tepatnya. Yang pasti di berbagai tempat, pakaian seperti ini merupakan bagian dari masa orientasi. Karena masa orientasi, tentu ini menjadi lambang bahwa mereka bisa disuruh, terutama diajari. Belum saatnya bagi mereka untuk menggurui, apalagi mencemburui karena mereka masih pemula. Mereka hanya perlu berguru dan meniru untuk kelak memburu target-target kerja.
Mencemburui dan Ngawur
Akan tetapi, hal itu sepertinya tak berlaku bagi Kabinet Kerja. Jangankan meniru atau berguru pada kabinet sebelumnya, mereka malah saling mencemburui dan ngawur. Mencemburui kabinet sebelumnya juga mencemburui kabinet lainnya. Akhirnya, muncullah komunikasi yang ngawur. Kata menteri yang satu begini dan kata menteri yang lain begitu. Benar-benar bertolak belakang. Yang lebih miris, komunikasi mereka dengan sang majikan pun: Presiden dan Wakil Presiden sering bertolak belakang.
Setingkat di atasnya, Wapres dan Presiden pun demikian. Kadang Presiden bilang tunggu, kadang Wapres bilang eksekusi langsung. Kita sampai-sampai kebingungan dibuatnya, mana yang benar dan mana yang menunggu pembenaran. Bagaimana tidak, semua berbicara dan itu sesukanya bahkan sekenanya SEAkan-akan mereka semua adalah juru bicara. Maka, publik keheranan, apalagi setelah kejadian, mereka tak pernah memberi klarifikasi resmi. Semua dibabat saja sesukanya dan sekali lagi sekenanya. Sekenanya, misalnya, karena mereka tak tahu membedakan mana pertanyaan yang perlu dijawab, ditunda, atau diteruskan. Mereka juga tak tahu siapa yang seharusnya berbicara dan siapa yang di balik layar. Semua mengalir saja begitu.
Maka, gelisahlah SBY ketika baru-baru ini Kabinet Kerja mencemburuinya. SBY memang tak membuat keterangan pers resmi. Dia cukup membuatnya melalui media sosial. Tercatat yang paling menggemparkan adalah ketika SBY dengan “geram” menuliskan suratnya di media sosial untuk menegaskan bahwa kini Indonesia tak lagi berutang pada IMF. Mengapa SBY menuliskannya? Apakah karena SBY merasa dipersalahkan? Saya rasa tidak! SBY hanya ingin meluruskan dan karena itu mengingatkan agar Kabinet Kerja dan Sang Majikannya tak sembarangan ngomong, fokus saja bekerja.
Rupanya, Kabinet Kerja tak juga puasa bebas asal ngomong. Untuk kesekian kalinya, SBY pun kembali merasa semakin disudutkan. Menteri ESDM Sudirman Said, misalnya, baru-baru ini menyerang SBY. Sudirman menuding bahwa pemberantasan mafia minyak dan gas termasuk rencana pembubaran Petral - anak perusahaan Pertamina - selalu berakhir di meja SBY. Seperti biasanya, SBY tidak langsung pontang-panting yang lalu naik pitam. Dia tahu dan agaknya inilah kelebihannya, yaitu kapan berbicara, siapa yang berbicara, dan melalui apa pembicaraan itu disampaikan. Dalam hal ini, mari kita puji SBY! Tim Jokowi rasanya perlu menirunya, bukan mencemburui!
Meskipun begitu, supaya agak lebih adil lagi, mari juga untuk tak lupa memuji Jokowi karena dia baru-baru ini membubarkan Petral. Hanya, supaya tak lagi berlarut-larut pada perang opini yang bahkan sudah hampir saling menyalahkan sejauh ini, kita juga rasanya perlu mengingatkan agar Kabinet Kerja ala Jokowi tak perlu mencemburui sesama kabinet, bahkan kabinet sebelumnya.
Fokus saja pada kabinet masing-masing. Tak usah campuri kabinet lain. Fokus juga bekerja ke depan, tak usah mencari kelemahan kabinet sebelumnya. Kalau melulu mencari kelemahan pasti itu akan ketemu karena tak ada yang benar-benar sempurna, tetapi itu bukan berarti bahwa kabinet sebelumnya tak pernah melakukan hal yang baik. Nah, yang baik inilah dilanjutkan dan yang kurang ditanggulangi. Jangan terlalu mencemburui dan mem-bully.
Pelayanan
Hal seperti ini tentu sangat kontraproduktif terhadap pembangunan karena pada saatnya kita hanya fokus pada perkara, klarifikasi, mungkin juga maaf, bukan pada masalah dan solusinya. Lihat saja, loyalis SBY baru-baru ini gerah. Mereka bahkan mengancam akan melaporkan Sudirman Said dengan tuduhan mencemarkan nama baik dan fitnah sebagaimana termaktub pada Pasal 310 dan 311 KUHP. Kalau begini, apakah kita masih bisa fokus bekerja? Tak ada masalah saja kita sudah tak fokus, apalagi kalau ada masalah, bahkan diserang lagi. Belum lagi karena ulah kita mencari-cari kesalahan sehingga orang lain juga ikut mencari-cari kesalahan kita. Apakah kita masih fokus bekerja?
Artinya, sudahlah, negeri ini sudah banyak persoalan sehingga kini yang dibutuhkan bukan semata perdebatan dan argumentasi, apalagi opini-opini tak jelas yang justru melecehkan yang lain. Lebih jauh, kita juga tak mau melihat mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk karena semuanya tentu punya kelebihan masing-masing. Lagipula, tujuan kita bernegara dan memilih adalah bukan mencari siapa yang terbaik. Ini bukan ajang mencari bakat. Ini ajang pelayanan. Siapa yang kebetulan terpilih, berarti merekalah yang melayani.
Karena ini bersifat pelayanan, saya tak menyebut agar loyalis SBY mengurungkan niatnya untuk mengadukan manakala Kabinet Kerja Jokowi “mengulah” lagi. Bagaimanapun, kebenaran harus tetap dijunjung. Saya pula tak mengatakan agar Kabinet Kerja tak segan-segan mengkritik kabinet pendahulunya. Silakan itu dilakukan! Akan tetapi, kita tak boleh lupa bahwa ada yang lebih penting daripada itu, yaitu bekerja dan bekerja. Artinya, Kabinet Kerja fokus saja bekerja, bukan berbicara dan bermanja-manja. Sebaliknya, kabinet sebelumnya, fokuslah pula mendukung dan mengkritik, terutama memberi saran kosntruktif karena sesungguhnya tugas pelayanan mereka belum selesai.
Yang pasti, harus diutarakan - ini bukan menggurui, apalagi memojokkan, mungkin ini tepatnya disebut sebagai mengevaluasi - bahwa Kabinet Kerja sejauh ini belum genap setahun sudah membuat keresahan demi keresahan. Komunikasi di antara mereka sering ngawur dan berseberangan seakan-akan semua Presiden dan seakan-akan pula semua tak menteri. Tak ada yang benar-benar bertanggung jawab. Semua lepas tangan. Dengan kata lain, nama mereka saja yang Kabinet Kerja, tetapi sesungguhnya yang mereka lakukan belum pada tahap kerja, kecuali berbicara, bahkan bermanja-manja yang lalu mencari kesalahan para pendahulunya. ***
Penulis adalah Pendidik, Konsultan Bahasa, dan Pegiat Sastra dan Budaya, dan Penggagas “Teater Z” Medan.

0 comments: