Menolak ISIS
Oleh Riduan Situmorang
ISIS
rupa-rupanya berkembang biak. Betapapun dia dicekal dimana-mana, dia justru
semakin eksis. Tak ada angka yang spesifik tentangnya. Hanya, harus diakui
bahwa anggota ISIS kini sudah semakin banyak. Uniknya, anggota ISIS kalau bukan
dibayar, sebagian besar dari mereka justru berasal dari para simpatisan. Artinya,
anggota ISIS benar-benar mempunyai nasionalisme yang tinggi terhadap ISIS.
Pertanyaannya, mengapa ISIS ada, bahkan semakin eksis? Mengapa pula di tengah
pencekalan dari bangsa-bangsa, dia justru menyedot simpati dari beberapa
masyarakat?
Secara
kasar, ISIS sebenarnya boleh dikatakan sebagai anak ideologi dari rezim bikinan
Osama bin Laden. Saat itu, kita berpikir bahwa dengan menumbangkan tonggak
ideologinya, radikalisme serupa akan pudar. Rupanya kita
keliru, yang ada ideologi serupa semakin menjalar dan berpencar. Maka, sejak 1999, Abu Musab al-Zarqawi
membangun kamp pelatihan militer di Kandahar Afghanistan dan mendirikan
”Jund al –Sham. Dan, sejak saat itulah fondasi awal ISIS mulai dibenihkan.
Pada 2006, Zarqawi sebagai pimpinan Al Qaeda Irak
(AQI) dibunuh AS. Tetapi radikalisme juga tak surut. Justru di bawah
penerusnya, Abu Ayyub al-Masri, AQI berkoalisi dengan lima kelompok lain dan membentuk
Majlis Shura al-Mujahideen. Mereka inilah yang melahirkan ISIS yang
sesungguhnya.
ISIS semakin berkembang, terutama pasca-Osama bin
Laden. Pada 2013 saja, di bawah kendali Abu Bakr al-Baghdadi, ISIS dengan gagah
dan tak gentar memproklamirkan dirinya sebagai khilafah. Pesan mereka sangat
tegas, yaitu membuat dunia berada pada satu paham, yaitu islamisme. Bagi
mereka, khilafah harus diperjuangkan dan diteruskan karena bagi mereka, khilafah
merupakan jalan yang diamanahkan Nabi Muhammad.
Ironisnya, khilafah yang satu ini sangat jauh
bertentangan dengan khilafah sebelumnya. Meski khilafah sebelumnya masih
semrawut, khilafah ISIS ini justru semakin semrawut, bahkan brutal. Filosofi
yang mereka usung pun sangat jauh dari sabda agama. Jangankan menjadi rahmat
untuk orang lain, mereka bahkan menjadi
kutuk, termasuk bagi diri mereka sendiri.
Praktis, di sana tidak ada kasih, tidak ada
damai, kecuali pesan kebengisan dan kebrutalan. Yang mereka utamakan pun bukan
diplomasi, melainkan perang. Kalaupun diplomasi ada, yang coba dikompromikan
hanyalah nyawa yang harus dibayar atau barter tahanan. Hal itu sudah
berkali-kali mereka lakukan dan yang tenar adalah kisah barter antara ISIS dan
Jordania serta bayaran nyawa dengan Jepang. Tanpa segan, bahkan dengan sengaja
mengancam, mereka mempertunjukkan pemenggalan secara vulgar kepada masyarakat
luas. Atas nama asma Allah, nyawa itu ditebas dengan pedang berkilat-kilat.
Jelas sekali, mereka menganggap bahwa Tuhan
pernah mewarisi pedang kepada mereka. Dengan pedang itu, mereka menggemakan
perang mati-matian sehingga banyak dari mereka yang rela mati dan mematikan
orang lain. Ironisnya, kebanyakan dari anggota dan simpiitsan ini adalah kaum
muda yang seharusnya produktif berkarya, bukan berperang. Tak jelas apa bonus
yang mereka dapat. Hanya melalui tafsir sederhana dapat dikatakan bahwa mereka
rela melakukannya demi surga dari Allah.
Sialnya
lagi, yang mereka perangi bukan nihilisme dan kekeringan nilai-nilai agama. Yang
mereka perangi justru manusia dengan nilai-nilai kehidupan lain. Artinya,
mereka mencoba meniadakan nilai-nilai agama lain, bahkan pelan-pelan juga
justru menghilangkan islamisme yang sejatinya mereka usung.
Maka, kalau khilafah sebelumnya masih menaruh
simpati terhadap yang berbeda, khilafah modern ini justru menghilangkannya. Mungkin kita tahu
bagaimana kekhalifahan di era kejayaan Islam yang masih menghargai kaum
minoritas sehingga keberadaan nonmuslim dilindungi dan dihargai. Kafilah Al
Makmun (830), misalnya, pernah minta Hunain bin Ishaq, seorang tabib
Kristen, mengoordinasi proyek penerjemahan risalah-risalah dari bahasa
Aram, Pahlavi, dan Yunani ke dalam bahasa Arab.
Lalu ISIS? Tragis!
Islamisme yang mereka usung hanya kedok. Tidak hanya non-Muslim yang diserang,
yang Muslim sendiri yang walau tak segencar terhadap non-Muslim juga dibabat.
Mereka benar-benar tak terjemahkan, apakah anti keberagaman atau malah anti
Islam yang sejati. Yang pasti apalagi kalau dilihat dari sepak terjangnya, ISIS
merupakan komplotan orang yang berpaham tribalisme. Tribalisme adalah dinasti
kepremanan. Islamisme hanya lapis penyejuk dan perayu massa.
Masalahnya, islamisme
dan khalifah yang mereka tawarkan ternyata sangat mujarab sehingga anak-anak
muda dari beberapa negara berduyun-duyun datang. Bahkan, dari negeri ini pernah
dikabarkan sebuah keluarga rela menjual rumahnya hanya untuk pergi berjuang
bersama ISIS. Kita baru dikejutkan lagi dengan berita 17 WNI asal
Surabaya yang memisahkan diri dari rombongan wisata ke Turki.
Mereka mencoba menyeberang ke Suriah, lalu ditahan pemerintah
Turki. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada November 2014 bahkan
pernah menyebutkan terdapat 500 WNI bergabung
ISIS.
Ini tentu sangat kontras
dengan pernyataan-pernyataan yang sering dikumandangkan, termasuk oleh ulama
dan ormas-ormas Islam. MUI saja menganggap ISIS sudah menodai citra
Islam sebagai agama yang antikekerasan. Bahkan, Abu Qatada, mantan tokoh Al
Qaeda Yordania yang kini menetap di Eropa, ISIS itu mirip Khawarij, sebuah
gerakan kegamaan Islam yang sangat ekstrem, tidak patuh pada pemerintahan
Ali bin Abi Thalib pada abad ketujuh yang harus dibasmi. Akan tetapi, walau
kecaman bergulir dari tokoh-tokoh berpengaruh, arus pendaftaran simpatisan ISIS
tak kunjung berhnti, yang ada semakin gencar.
Karena itu, kini kiranya
kita butuh langkah konkret, tidak perlu sebatas imbauan dan kecaman. Harus ada
langkah nyata. Pertama, misalnya, dari segi agama. Para ulama harus bekerja
keras untuk memahamkan agama yang moderat yang mencintai perbedaan. Agama perlu
dipahami sebagai banyak jalan yang mengarah pada tempat yang sama. Agama bukan
monopoli, melainkan kebebasan dan keniscayaan.
Kedua, negara harus
aktif untuk tidak sekadar berargumen. Sudah terang bahwa simpatisan ISIS
biasanya berasal dari orang yang tak punya. Maka, pemerintah sedari sekarang
harus lebih gencar untuk tidak sekadar berjanji dan berjanji, tetapi harus
membumikan janji itu.






0 comments:
Post a Comment