Tuesday, 24 March 2015

Menolak ISIS

Menolak ISIS
Oleh Riduan Situmorang
            ISIS rupa-rupanya berkembang biak. Betapapun dia dicekal dimana-mana, dia justru semakin eksis. Tak ada angka yang spesifik tentangnya. Hanya, harus diakui bahwa anggota ISIS kini sudah semakin banyak. Uniknya, anggota ISIS kalau bukan dibayar, sebagian besar dari mereka justru berasal dari para simpatisan. Artinya, anggota ISIS benar-benar mempunyai nasionalisme yang tinggi terhadap ISIS. Pertanyaannya, mengapa ISIS ada, bahkan semakin eksis? Mengapa pula di tengah pencekalan dari bangsa-bangsa, dia justru menyedot simpati dari beberapa masyarakat?
            Secara kasar, ISIS sebenarnya boleh dikatakan sebagai anak ideologi dari rezim bikinan Osama bin Laden. Saat itu, kita berpikir bahwa dengan menumbangkan tonggak ideologinya, radikalisme serupa akan pudar. Rupanya kita keliru, yang ada ideologi serupa semakin menjalar dan berpencar. Maka, sejak 1999, Abu Musab al-Zarqawi membangun kamp pelatihan militer di Kandahar Afghanistan dan  mendirikan ”Jund al –Sham. Dan, sejak saat itulah fondasi awal ISIS mulai dibenihkan.
Pada 2006, Zarqawi sebagai pimpinan Al Qaeda Irak (AQI)  dibunuh AS. Tetapi radikalisme juga tak surut. Justru di bawah penerusnya, Abu Ayyub al-Masri, AQI berkoalisi dengan lima kelompok lain dan membentuk Majlis Shura al-Mujahideen. Mereka inilah yang melahirkan ISIS yang sesungguhnya.
ISIS semakin berkembang, terutama pasca-Osama bin Laden. Pada 2013 saja, di bawah kendali Abu Bakr al-Baghdadi, ISIS dengan gagah dan tak gentar memproklamirkan dirinya sebagai khilafah. Pesan mereka sangat tegas, yaitu membuat dunia berada pada satu paham, yaitu islamisme. Bagi mereka, khilafah harus diperjuangkan dan diteruskan karena bagi mereka, khilafah merupakan jalan yang diamanahkan Nabi Muhammad.
Ironisnya, khilafah yang satu ini sangat jauh bertentangan dengan khilafah sebelumnya. Meski khilafah sebelumnya masih semrawut, khilafah ISIS ini justru semakin semrawut, bahkan brutal. Filosofi yang mereka usung pun sangat jauh dari sabda agama. Jangankan menjadi rahmat untuk orang lain, mereka bahkan menjadi  kutuk, termasuk bagi diri mereka sendiri.
Praktis, di sana tidak ada kasih, tidak ada damai, kecuali pesan kebengisan dan kebrutalan. Yang mereka utamakan pun bukan diplomasi, melainkan perang. Kalaupun diplomasi ada, yang coba dikompromikan hanyalah nyawa yang harus dibayar atau barter tahanan. Hal itu sudah berkali-kali mereka lakukan dan yang tenar adalah kisah barter antara ISIS dan Jordania serta bayaran nyawa dengan Jepang. Tanpa segan, bahkan dengan sengaja mengancam, mereka mempertunjukkan pemenggalan secara vulgar kepada masyarakat luas. Atas nama asma Allah, nyawa itu ditebas dengan pedang berkilat-kilat.
Jelas sekali, mereka menganggap bahwa Tuhan pernah mewarisi pedang kepada mereka. Dengan pedang itu, mereka menggemakan perang mati-matian sehingga banyak dari mereka yang rela mati dan mematikan orang lain. Ironisnya, kebanyakan dari anggota dan simpiitsan ini adalah kaum muda yang seharusnya produktif berkarya, bukan berperang. Tak jelas apa bonus yang mereka dapat. Hanya melalui tafsir sederhana dapat dikatakan bahwa mereka rela melakukannya demi surga dari Allah.
            Sialnya lagi, yang mereka perangi bukan nihilisme dan kekeringan nilai-nilai agama. Yang mereka perangi justru manusia dengan nilai-nilai kehidupan lain. Artinya, mereka mencoba meniadakan nilai-nilai agama lain, bahkan pelan-pelan juga justru menghilangkan islamisme yang sejatinya mereka usung.
Maka, kalau khilafah sebelumnya masih menaruh simpati terhadap yang berbeda, khilafah modern ini justru menghilangkannya. Mungkin kita tahu bagaimana kekhalifahan di era kejayaan Islam yang masih menghargai kaum minoritas sehingga keberadaan nonmuslim dilindungi dan dihargai. Kafilah Al Makmun (830), misalnya, pernah minta Hunain bin Ishaq, seorang tabib Kristen,  mengoordinasi proyek penerjemahan risalah-risalah dari bahasa Aram, Pahlavi, dan Yunani ke dalam bahasa Arab.
Lalu ISIS? Tragis! Islamisme yang mereka usung hanya kedok. Tidak hanya non-Muslim yang diserang, yang Muslim sendiri yang walau tak segencar terhadap non-Muslim juga dibabat. Mereka benar-benar tak terjemahkan, apakah anti keberagaman atau malah anti Islam yang sejati. Yang pasti apalagi kalau dilihat dari sepak terjangnya, ISIS merupakan komplotan orang yang berpaham tribalisme. Tribalisme adalah dinasti kepremanan. Islamisme hanya lapis penyejuk dan perayu massa.
Masalahnya, islamisme dan khalifah yang mereka tawarkan ternyata sangat mujarab sehingga anak-anak muda dari beberapa negara berduyun-duyun datang. Bahkan, dari negeri ini pernah dikabarkan sebuah keluarga rela menjual rumahnya hanya untuk pergi berjuang bersama ISIS. Kita baru dikejutkan  lagi dengan berita  17 WNI asal Surabaya yang memisahkan diri dari rombongan wisata  ke Turki. Mereka  mencoba menyeberang ke Suriah, lalu ditahan pemerintah Turki.  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme  pada November 2014 bahkan pernah  menyebutkan  terdapat  500 WNI  bergabung  ISIS.
Ini tentu sangat kontras dengan pernyataan-pernyataan yang sering dikumandangkan, termasuk oleh ulama dan ormas-ormas Islam. MUI saja menganggap  ISIS sudah menodai  citra Islam sebagai agama yang antikekerasan. Bahkan, Abu Qatada, mantan tokoh Al Qaeda Yordania yang kini menetap di Eropa, ISIS itu mirip Khawarij, sebuah gerakan kegamaan Islam yang sangat ekstrem, tidak patuh pada  pemerintahan Ali bin Abi Thalib pada abad ketujuh yang harus dibasmi. Akan tetapi, walau kecaman bergulir dari tokoh-tokoh berpengaruh, arus pendaftaran simpatisan ISIS tak kunjung berhnti, yang ada semakin gencar.
Karena itu, kini kiranya kita butuh langkah konkret, tidak perlu sebatas imbauan dan kecaman. Harus ada langkah nyata. Pertama, misalnya, dari segi agama. Para ulama harus bekerja keras untuk memahamkan agama yang moderat yang mencintai perbedaan. Agama perlu dipahami sebagai banyak jalan yang mengarah pada tempat yang sama. Agama bukan monopoli, melainkan kebebasan dan keniscayaan.
Kedua, negara harus aktif untuk tidak sekadar berargumen. Sudah terang bahwa simpatisan ISIS biasanya berasal dari orang yang tak punya. Maka, pemerintah sedari sekarang harus lebih gencar untuk tidak sekadar berjanji dan berjanji, tetapi harus membumikan janji itu.


0 comments: