Genderang Lama UN
Anies Baswedan, dalam rapat terbatas di Kantor BSNP pada tanggal 16 Januari kemarin menjelaskan paradigma baru pendidikan nasional termasuk desain baru ujian nasional (UN) yang tidak lagi sebagai penentu kelulusan, tetapi sebagai sarana pemetaan kualitas pendidikan dan sekaligus kepentingan diri murid untuk melihat perkembangan dirinya dalam belajar. Kala itu, sebagai pendidik, saya merasa bahwa ini merupakan terjemahan dari revolusi mental dalam bidang pendidikan. Ini sekaligus berita baik untuk keberagaman karena sekolah dengan segala keistimewaan dan keterbatasannya diberi hak “prerogatif” untuk meluluskan siswanya.
Akan tetapi, berita revolusi mental itu tak sampai seumur jagung karena baru-baru ini, genderang perang UN kembali digemakan. UN yang sejatinya merupakan alat untuk memetakan pendidikan kembali menjadi alat penghakiman. Hal itu dapat secara tegas kita baca dari surat edaran tertanggal 17 Februari 2015 - tepat sebulan setelah Mendikbud menjelaskan paradigma UN - antara Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M. Nasir bersama Menteri Pendidikan Anies Baswedan, yang menjelaskan bahwa hasil UN akan menjadi salah satu pertimbangan seleksi ke jenjang pendidikan berikutnya, baik setingkat SMP dan SMA maupun seleksi masuk ke PTN.
Semakin Berganda-ganda
Dari surat edaran itu jelas sekali bahwa kini fungsi UN semakin berganda-ganda. Jika semula sekadar meluluskan, sekarang dia menjadi pertimbangan baru untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Meski kabur, yang pasti aturan ini akan melahirkan persaingan tidak sehat nantinya. Boleh dikatakan, kini hukum rimba telah menjalar pula ke pendidikan.
Mengapa tidak sehat dan mengapa pula hukum rimba? Sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas pendidikan di negeri ini tidak sama. Ada ketimpangan antara negeri dan swasta ataupun antara desa dan kota. Yang negeri dengan negeri sekalipun punya keterbatasan dan keistimewaan masing-masing. Kita melabelinya dengan akreditasi. Dan, harga sekolah negeri tidak lagi berpatok pada “wajib sekolah sembilan tahun”, tetapi pada akreditasi itu. Semakin baik akreditasinya, maka semakin tinggi pula biayanya, bahkan beberapa melebihi sekolah swasta. Praktis, keadaan ini memaksa orang untuk berbuat curang.
Istilahnya, demi masuk ke sekolah bergengsi, orang tua dan guru dapat bertransaksi. Nilai pun diobral dengan harga rupiah. Istilahnya “cuci rapor” karena memang sekolah bergengsi, selain mempersyarakatkan dana yang banyak, mereka juga hanya menerima siswa yang bernilai tinggi yang dikategorikan sebagai yang pintar. Dalam hal ini, pintar tidak lagi sekadar urusan otak, tetapi juga sudah menjadi urusan harta. Kita bahkan belum melihat efek-efek lainnya karena dengan keadaan demikian, semakin terbuktilah bahwa negeri ini tidak adil. Tak adilnya adalah karena negara mencukupi kewajibannya pada sekadar menyediakan sekolah seadanya bagi orang miskin, itu pun masih dipenuhi biaya-biaya tak terduga.
Kita tahu, sekolah seperti ini jangankan berhasil melahirkan prestasi, besar kemungkinan dia malah melahirkan kerisauan karena logika saja, pelayanan di sana tak tertata, siswanya pun berasal dari orang-orang kekurangan. Adilkah? Bukankah hal itu nantinya akan semakin memperdalam jurang antara yang miskin dengan yang kaya? M. Nuh pernah bilang bahwa alasan di-launching-kannya Bidikmisi adalah karena dia merupakan salah satu ranah untuk memeratakan kesejahteraan. Artinya, pendidikan menjadi kunci efektif untuk menyelamatkan kaum-kaum miskin. Tetapi bagaimana yang miskin akan kaya apabila mereka bersekolah di tempat yang seadanya sebab bukankah melalui jalur undangan hal yang dilihat PTN tertuju pada akreditasi dan gengsi?
Baiklah, tidak usah terlalu jauh ke sana. Mari melihat apa-apa yang keliru, setidaknya yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah atas UN kali ini. Kata Darmaningtyas, paling tidak ada dua masalah baru yang berkaitan dengan ujian nasional, yaitu pertama, persoalan substansi terkait dengan fungsi UN itu sendiri; dan kedua, terkait dengan metodologi, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan UN yang memakai bahan cetak serta berbasis komputer. Selama ini UN menggunakan satu cara saja, yaitu cetak. Tapi pada UN 2015 ini diujicobakan pelaksanaan UN dengan berbasis komputer.
Sangat Berbeda
Pertama, terkait dengan fungsi UN itu sendiri. Pemerintah sebenarnya pernah mengubah nama UN (ujian nasional) menjadi EN (evaluasi nasional). Akan tetapi karena menurut saya filosofinya tetap sama, tetap saja saya lebih suka menyebutnya sebagai UN sebab, toh, tak ada yang berubah di sana. Evaluasi yang diharapkan rupa-rupanya hanya tes dan ujian, menghakimi pula. Maka karena kini UN merupakan penentu kelulusan, orientasi sekolah dipastikan akan tetap sama, yaitu bagaimana mencapai nilai UN yang bagus agar murid-muridnya dapat diterima di jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP/SMA/PTN). Seperti saya kemukakan di atas, demi itu semua, obral nilai akan berlaku.
UN bahkan ke depan menjadi semacam multitester yang dapat mengukur semua hal. Dalam hal ini, kita membuat ujian SIM sebagai alat untuk menyeleksi bahwa seseorang pantas menjadi pebalap di Moto GP. Apakah itu pas? Tidak, sebab bagaimana mungkin SIM menjadi patokan bagi pebalap karena itu dua hal yang berbeda, tetapi itulah yang kita lakukan dengan UN. UN yang sebenarnya tak sama dengan seleksi masuk PTN dipaksa disamakan meski itu sangat jauh berbeda. Apa itu tak sesat?
Hal itu juga seumpama SKBB yang Anda urus ketika melamar di sebuah BUMN atau swasta bergengsi yang tentunya digunakan tidak untuk melihat apakah Anda sudah cukup menjadi seorang nabi atau tidak dengan kebaikan Anda. Begitu juga dengan Surat Kesehatan tidak berguna untuk mengecek apakah Anda bebas dari penyakit dalam seperti kanker, apalagi mengecek hati sanubari. Sebab, bagaimana mungkin itu berlaku karena kedua surat itu konon dapat kita urus dengan cepat, bahkan bisa pakai sogok lagi. Artinya, itu dua hal yang sangat berbeda.
Kedua, terkait dengan pelaksanaan UN berbasis komputer, ini adalah cara baru untuk menghemat biaya dan sekaligus mengurangi kehebohan karena kecurangan. Langkah (uji coba) ini perlu diapresiasi, meski pada tahap awal akan timbul banyak masalah teknis. Sampai sekarang, saya tak bisa membayangkan apa-apa yang akan terjadi. Hanya karena masih untuk pertama kalinya, dipastikan siswa akan sangat gamang, terutama mereka yang masih di pelosok. Karena itu, kebetulan UN sudah akan segera dimulai, perlu kiranya sosialisasi lebih diintensifkan lagi agar setidaknya dapat meminimalisasi kehebohan supaya genderang perang UN ini tidak terlalu berisik. ***
Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten serta Aktivis Sastra di PLOt dan Teater Z Medan
Anies Baswedan, dalam rapat terbatas di Kantor BSNP pada tanggal 16 Januari kemarin menjelaskan paradigma baru pendidikan nasional termasuk desain baru ujian nasional (UN) yang tidak lagi sebagai penentu kelulusan, tetapi sebagai sarana pemetaan kualitas pendidikan dan sekaligus kepentingan diri murid untuk melihat perkembangan dirinya dalam belajar. Kala itu, sebagai pendidik, saya merasa bahwa ini merupakan terjemahan dari revolusi mental dalam bidang pendidikan. Ini sekaligus berita baik untuk keberagaman karena sekolah dengan segala keistimewaan dan keterbatasannya diberi hak “prerogatif” untuk meluluskan siswanya.
Akan tetapi, berita revolusi mental itu tak sampai seumur jagung karena baru-baru ini, genderang perang UN kembali digemakan. UN yang sejatinya merupakan alat untuk memetakan pendidikan kembali menjadi alat penghakiman. Hal itu dapat secara tegas kita baca dari surat edaran tertanggal 17 Februari 2015 - tepat sebulan setelah Mendikbud menjelaskan paradigma UN - antara Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M. Nasir bersama Menteri Pendidikan Anies Baswedan, yang menjelaskan bahwa hasil UN akan menjadi salah satu pertimbangan seleksi ke jenjang pendidikan berikutnya, baik setingkat SMP dan SMA maupun seleksi masuk ke PTN.
Semakin Berganda-ganda
Dari surat edaran itu jelas sekali bahwa kini fungsi UN semakin berganda-ganda. Jika semula sekadar meluluskan, sekarang dia menjadi pertimbangan baru untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Meski kabur, yang pasti aturan ini akan melahirkan persaingan tidak sehat nantinya. Boleh dikatakan, kini hukum rimba telah menjalar pula ke pendidikan.
Mengapa tidak sehat dan mengapa pula hukum rimba? Sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas pendidikan di negeri ini tidak sama. Ada ketimpangan antara negeri dan swasta ataupun antara desa dan kota. Yang negeri dengan negeri sekalipun punya keterbatasan dan keistimewaan masing-masing. Kita melabelinya dengan akreditasi. Dan, harga sekolah negeri tidak lagi berpatok pada “wajib sekolah sembilan tahun”, tetapi pada akreditasi itu. Semakin baik akreditasinya, maka semakin tinggi pula biayanya, bahkan beberapa melebihi sekolah swasta. Praktis, keadaan ini memaksa orang untuk berbuat curang.
Istilahnya, demi masuk ke sekolah bergengsi, orang tua dan guru dapat bertransaksi. Nilai pun diobral dengan harga rupiah. Istilahnya “cuci rapor” karena memang sekolah bergengsi, selain mempersyarakatkan dana yang banyak, mereka juga hanya menerima siswa yang bernilai tinggi yang dikategorikan sebagai yang pintar. Dalam hal ini, pintar tidak lagi sekadar urusan otak, tetapi juga sudah menjadi urusan harta. Kita bahkan belum melihat efek-efek lainnya karena dengan keadaan demikian, semakin terbuktilah bahwa negeri ini tidak adil. Tak adilnya adalah karena negara mencukupi kewajibannya pada sekadar menyediakan sekolah seadanya bagi orang miskin, itu pun masih dipenuhi biaya-biaya tak terduga.
Kita tahu, sekolah seperti ini jangankan berhasil melahirkan prestasi, besar kemungkinan dia malah melahirkan kerisauan karena logika saja, pelayanan di sana tak tertata, siswanya pun berasal dari orang-orang kekurangan. Adilkah? Bukankah hal itu nantinya akan semakin memperdalam jurang antara yang miskin dengan yang kaya? M. Nuh pernah bilang bahwa alasan di-launching-kannya Bidikmisi adalah karena dia merupakan salah satu ranah untuk memeratakan kesejahteraan. Artinya, pendidikan menjadi kunci efektif untuk menyelamatkan kaum-kaum miskin. Tetapi bagaimana yang miskin akan kaya apabila mereka bersekolah di tempat yang seadanya sebab bukankah melalui jalur undangan hal yang dilihat PTN tertuju pada akreditasi dan gengsi?
Baiklah, tidak usah terlalu jauh ke sana. Mari melihat apa-apa yang keliru, setidaknya yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah atas UN kali ini. Kata Darmaningtyas, paling tidak ada dua masalah baru yang berkaitan dengan ujian nasional, yaitu pertama, persoalan substansi terkait dengan fungsi UN itu sendiri; dan kedua, terkait dengan metodologi, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan UN yang memakai bahan cetak serta berbasis komputer. Selama ini UN menggunakan satu cara saja, yaitu cetak. Tapi pada UN 2015 ini diujicobakan pelaksanaan UN dengan berbasis komputer.
Sangat Berbeda
Pertama, terkait dengan fungsi UN itu sendiri. Pemerintah sebenarnya pernah mengubah nama UN (ujian nasional) menjadi EN (evaluasi nasional). Akan tetapi karena menurut saya filosofinya tetap sama, tetap saja saya lebih suka menyebutnya sebagai UN sebab, toh, tak ada yang berubah di sana. Evaluasi yang diharapkan rupa-rupanya hanya tes dan ujian, menghakimi pula. Maka karena kini UN merupakan penentu kelulusan, orientasi sekolah dipastikan akan tetap sama, yaitu bagaimana mencapai nilai UN yang bagus agar murid-muridnya dapat diterima di jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP/SMA/PTN). Seperti saya kemukakan di atas, demi itu semua, obral nilai akan berlaku.
UN bahkan ke depan menjadi semacam multitester yang dapat mengukur semua hal. Dalam hal ini, kita membuat ujian SIM sebagai alat untuk menyeleksi bahwa seseorang pantas menjadi pebalap di Moto GP. Apakah itu pas? Tidak, sebab bagaimana mungkin SIM menjadi patokan bagi pebalap karena itu dua hal yang berbeda, tetapi itulah yang kita lakukan dengan UN. UN yang sebenarnya tak sama dengan seleksi masuk PTN dipaksa disamakan meski itu sangat jauh berbeda. Apa itu tak sesat?
Hal itu juga seumpama SKBB yang Anda urus ketika melamar di sebuah BUMN atau swasta bergengsi yang tentunya digunakan tidak untuk melihat apakah Anda sudah cukup menjadi seorang nabi atau tidak dengan kebaikan Anda. Begitu juga dengan Surat Kesehatan tidak berguna untuk mengecek apakah Anda bebas dari penyakit dalam seperti kanker, apalagi mengecek hati sanubari. Sebab, bagaimana mungkin itu berlaku karena kedua surat itu konon dapat kita urus dengan cepat, bahkan bisa pakai sogok lagi. Artinya, itu dua hal yang sangat berbeda.
Kedua, terkait dengan pelaksanaan UN berbasis komputer, ini adalah cara baru untuk menghemat biaya dan sekaligus mengurangi kehebohan karena kecurangan. Langkah (uji coba) ini perlu diapresiasi, meski pada tahap awal akan timbul banyak masalah teknis. Sampai sekarang, saya tak bisa membayangkan apa-apa yang akan terjadi. Hanya karena masih untuk pertama kalinya, dipastikan siswa akan sangat gamang, terutama mereka yang masih di pelosok. Karena itu, kebetulan UN sudah akan segera dimulai, perlu kiranya sosialisasi lebih diintensifkan lagi agar setidaknya dapat meminimalisasi kehebohan supaya genderang perang UN ini tidak terlalu berisik. ***
Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten serta Aktivis Sastra di PLOt dan Teater Z Medan
0 comments:
Post a Comment