Monday, 23 March 2015

Genderang Lama UN

Genderang Lama UN

Anies Baswedan, dalam rapat terbatas di Kantor BSNP pada tanggal 16 Januari ke­marin menjelaskan para­dig­ma baru pen­didikan nasional terma­suk desain baru ujian nasional (UN) yang tidak lagi se­bagai penentu kelulusan, tetapi sebagai sa­rana pemetaan kualitas pendidikan dan se­kaligus kepentingan diri murid untuk me­lihat perkembangan dirinya dalam be­lajar. Kala itu, sebagai pen­didik, saya me­rasa bahwa ini me­rupakan terjemahan dari revolusi mental dalam bidang pen­didikan. Ini sekaligus berita baik untuk ke­beragaman karena sekolah dengan segala keistime­waan dan keterba­tasan­nya diberi hak “prerogatif” untuk me­luluskan siswanya.
Akan tetapi, berita revolusi mental itu tak sampai seumur jagung karena baru-baru ini, genderang perang UN kembali digemakan. UN yang sejatinya meru­pakan alat untuk memeta­kan pendidikan kem­bali menjadi alat penghakiman. Hal itu dapat secara tegas kita baca dari surat eda­ran tertanggal 17 Februari 2015 - te­pat sebulan setelah Mendikbud men­jelaskan paradigma UN - antara Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M. Nasir bersama Menteri Pendidikan Anies Baswedan, yang menjelaskan bahwa hasil UN akan menjadi salah satu pertimbangan seleksi ke jenjang pendidi­kan berikutnya, baik setingkat SMP dan SMA maupun seleksi masuk ke PTN.
Semakin Berganda-ganda
Dari surat edaran itu jelas sekali bahwa kini fungsi UN semakin berganda-ganda. Jika semula sekadar meluluskan, se­ka­rang dia menjadi pertimbangan baru un­tuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Me­ski kabur, yang pasti aturan ini akan me­lahirkan persaingan tidak sehat nan­t­inya. Boleh dikatakan, kini hukum rimba te­lah menjalar pula ke pendidikan.
Mengapa tidak sehat dan mengapa pula hukum rimba? Sudah menjadi ra­hasia umum bahwa kualitas pendidikan di negeri ini tidak sama. Ada ketimpangan antara negeri dan swasta ataupun antara desa dan kota. Yang negeri dengan negeri se­kalipun punya keterbatasan dan keis­ti­mewaan masing-masing. Kita mel­a­be­linya dengan akreditasi. Dan, harga se­kolah negeri tidak lagi berpatok pada “wajib sekolah sembilan tahun”, tetapi pada akreditasi itu. Semakin baik akre­di­tasinya, maka semakin tinggi pula bia­yanya, bahkan beberapa melebihi se­kolah swasta. Praktis, keadaan ini me­maksa orang untuk berbuat curang.
Istilahnya, demi masuk ke sekolah ber­gengsi, orang tua dan guru dapat ber­transaksi. Nilai pun diobral dengan harga ru­piah. Istilahnya “cuci rapor” karena me­mang sekolah bergengsi, selain mem­persyarakatkan dana yang banyak, me­reka juga hanya menerima siswa yang ber­nilai tinggi yang dikategorikan se­bagai yang pintar. Dalam hal ini, pintar tidak lagi sekadar urusan otak, tetapi juga sudah menjadi urusan harta. Kita bah­kan belum melihat efek-efek lainnya ka­rena dengan keadaan demikian, se­makin terbuktilah bahwa negeri ini tidak adil. Tak adilnya adalah karena negara men­cukupi kewa­jiban­nya pada sekadar me­nyediakan se­kolah seadanya bagi orang miskin, itu pun masih dipenuhi biaya-biaya tak terduga.
Kita tahu, sekolah seperti ini jangan­kan berhasil melahirkan prestasi, besar kemungkinan dia malah melahirkan kerisauan karena logika saja, pelayanan di sana tak tertata, siswanya pun berasal dari orang-orang kekurangan. Adilkah? Bukankah hal itu nantinya akan semakin memperdalam jurang antara yang miskin dengan yang kaya? M. Nuh pernah bilang bahwa alasan di-launching-kannya Bidikmisi adalah karena dia merupakan salah satu ranah untuk memeratakan kesejahteraan. Artinya, pendidikan menjadi kunci efektif untuk menyelama­tkan kaum-kaum miskin. Tetapi bagai­mana yang miskin akan kaya apabila mereka bersekolah di tempat yang seadanya sebab bukankah melalui jalur undangan hal yang dilihat PTN tertuju pada akreditasi dan gengsi?
Baiklah, tidak usah terlalu jauh ke sana. Mari melihat apa-apa yang keliru, setidaknya yang perlu mendapat perhati­an dari pemerintah atas UN kali ini. Kata Dar­maningtyas, paling tidak ada dua ma­salah baru yang berkaitan dengan ujian na­sional, yaitu pertama, persoalan subs­tansi terkait dengan fungsi UN itu sen­diri; dan kedua, terkait dengan meto­dologi, yaitu berkaitan dengan pelak­sa­naan UN yang memakai bahan cetak serta berbasis komputer. Selama ini UN meng­gunakan satu cara saja, yaitu cetak. Tapi pada UN 2015 ini diujicobakan pe­lak­sanaan UN dengan berbasis kom­puter.
Sangat Berbeda
Pertama, terkait dengan fungsi UN itu sen­­diri. Pemerintah sebenarnya pernah me­ngubah nama UN (ujian nasional) menjadi EN (evaluasi nasional). Akan tetapi karena menurut saya filosofinya tetap sama, tetap saja saya lebih suka menyebutnya sebagai UN sebab, toh, tak ada yang berubah di sana. Evaluasi yang diharapkan rupa-rupanya hanya tes dan ujian, menghakimi pula. Maka karena kini UN merupakan penentu kelulusan, orientasi sekolah dipastikan akan tetap sama, yaitu bagaimana mencapai nilai UN yang bagus agar murid-muridnya dapat diterima di jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP/SMA/PTN). Seperti saya kemukakan di atas, demi itu semua, obral nilai akan berlaku.
UN bahkan ke depan menjadi sema­cam multitester yang dapat mengukur semua hal. Dalam hal ini, kita membuat ujian SIM sebagai alat untuk menyeleksi bahwa seseorang pantas menjadi pebalap di Moto GP. Apakah itu pas? Tidak, sebab bagaimana mungkin SIM menjadi patokan bagi pebalap karena itu dua hal yang berbeda, tetapi itulah yang kita lakukan dengan UN. UN yang sebenar­nya tak sama dengan seleksi masuk PTN dipaksa disamakan meski itu sangat jauh berbeda. Apa itu tak sesat?
Hal itu juga seumpama SKBB yang Anda urus ketika melamar di sebuah BUMN atau swasta bergengsi yang tentunya digunakan tidak untuk melihat apakah Anda sudah cukup menjadi seorang nabi atau tidak dengan kebaikan Anda. Begitu juga dengan Surat Keseha­tan tidak berguna untuk mengecek apakah Anda bebas dari penyakit dalam seperti kanker, apalagi mengecek hati sanubari. Sebab, bagaimana mungkin itu berlaku karena kedua surat itu konon dapat kita urus dengan cepat, bahkan bisa pakai sogok lagi. Artinya, itu dua hal yang sangat berbeda.
Kedua, terkait dengan pelaksanaan UN berbasis komputer, ini adalah cara baru untuk menghemat biaya dan sekaligus mengurangi kehebohan karena kecura­ngan. Langkah (uji coba) ini perlu dia­presiasi, meski pada tahap awal akan tim­bul banyak masalah teknis. Sampai se­karang, saya tak bisa membayangkan apa-apa yang akan terjadi. Hanya karena masih untuk pertama kalinya, dipastikan siswa akan sangat gamang, terutama mereka yang masih di pelosok. Karena itu, kebetulan UN sudah akan segera dimulai, perlu kiranya sosialisasi lebih diin­tensifkan lagi agar setidaknya dapat meminimalisasi kehebo­han supaya genderang perang UN ini tidak terlalu berisik. ***
Penulis adalah  Konsultan Bahasa di Prosus Inten serta Aktivis Sastra di PLOt dan Teater Z Medan

0 comments: