Riduan Situmorang
Konflik yang menyeret Saut Situmorang dan secara tak langsung juga dengan Denny JA belakangan ini sedikit banyak “berpengaruh” juga terhadap saya. Setidaknya dalam dua hal, bahkan mungkin tiga kalau saya berhak disebut sebagai sastrawan. Pertama, saya menjadi pemenang kedua Lomba Puisi Esai 2014, berarti berkaitan dengan Denny JA dan kedua, saya secara kebetulan bermarga yang sama dengan Saut. Tetapi yakinlah, pisau analisis yang akan saya gunakan bukan pro secara membabi buta kepada Denny JA dan salut secara emosional kepada Saut.
Keduanya, menurut saya tetaplah orang yang punya andil penting terhadap sastra Indonesia. Akan halnya siapa yang memengaruhi siapa, apalagi siapa yang lebih berpengaruh daripada siapa yang lainnya, pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang penting untuk ditelusuri. Yang pasti, setidaknya hingga detik ini, kebanyakan orang masih mengenal Denny JA sebagai konsultan politik meski belakangan jiwa sastranya terpublikasikan.
Dua Sisi Kontroversi
Atau biar lebih fair, mungkin, Denny JA yang juga merupakan “pakar” survei perlu menyurvei dirinya: apakah dia lebih dikenal masyarakat sebagai sastrawan atau konsultan politik? Apabila kemudian Bung Denny JA lebih dikenal sebagai sastrawan, mungkin namanya yang masuk sebagai 33 sastrawan paling Tetapi sudahlah, jangan hal itu kita usik lagi. Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh sudah terbit. Tak ada gunanya selalu mengutuk dan mengutuk. Kalau kita kemudian memberangus, itu sama saja kita kembali pada kejahatan Orde Baru yang “suka” membredel. Memang harus diakui, buku ini sangat kontroversial. Tetapi, kontroversial bukan berarti bahwa buku ini salah. Kontroversi justru melahirkan perbaikan ke depan. Sebagai perbaikan, tentu buku ini bukan menjadi patokan. Artinya, ke-33 nama yang ada di sana bukanlah yang sebenar-benarnya paling berpengaruh, kalaupun berpengaruh, itu hanya bagi dan menurut Tim 8. Masalahnya, apakah Tim 8 merupakan perwakilan Indonesia? Kapan kita memilihnya? Sampai di sini, masalahnya sudah selesai bukan?
Lagipula, standardisasi yang dibuat Tim 8 masih kendor, tidak kaku, apalagi teruji dan diakui. Di dalam pengantar buku, Tim 8 (Catat, Tim 8, bukan Indonesia) merumuskan empat kriteria untuk diperas menjadi 33 tokoh berpengaruh: pengaruhnya berskala nasional; pengaruhnya relatif berkesinambungan; dia menempati posisi kunci, penting, dan menentukan; serta dia menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang. Akan tetapi, alih-alih mematuhi keempat kriteria tersebut, Tim 8 secara sadar mengakui bahwa itu bukan patokan kaku. Simak saja pengakuan mereka ini, "tokoh sastra dinilai layak masuk dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh apabila sekurang-kurangnya memenuhi satu dari empat kriteria berikut…".
Maka kini, daripada berdebat dan berurat tegang, lebih baik kita menyukurinya sebab lihatlah, debat demi debat yang tersaji selama ini bukannya berakhir pada sebuah simpulan, dia justru melahirkan “kebencian” yang tak khas sastrawan. Saya tidak mengatakan sastrawan harus memelihara kebencian. Tetapi sejauh ini kebencian—kalau memang itu pantas disebut sebagai kebencian—di antara para sastrawan justru melahirkan perbaikan, bahkan persahabatan. Bukti konkretnya, H.B. Jassin semakin dekat dengan Chairil Anwar. Bahkan, kebencian seringkali justru meningkatkan produktivitas di antara para sastrawan. Kebencian itu diterjemahkan menjadi kritik. Dan, bagi sastrawan, kritik bukan menjadi pemutus nyawa, dia justru menjadi penyambung nyawa sastra itu sendiri.
Dan, inilah yang tak berlaku pada kasus Saut. Kata-kata yang merupakan jiwa bagi puisi justru diadukan atas nama hukum. Polisi pun dilibatkan sehingga ditampilkanlah dua segi sastrawan: kriminal dan fenomenal. Yang kriminal ditangkap dan yang fenomenal dipuja (oleh polisi). Dasar penangkapannya, lagi-lagi atas nama hukum, namun sesat: pencemaran nama baik.
Berawal dari Sastra
Saya tidak mengatakan bahwa sastrawan boleh mencemari nama baik. Bagaimanapun, mereka juga harus mempunyai etika. Tetapi, saya tak menyepakati diktum pencemaran nama baik disematkan di sini. Sebab, kalau itu yang terjadi, sastrawan seperti WS Rendra, Taufik Ismail, Mochtar Lubis, dan sebagainya bisa-bisa jasadnya dipenjarakan lantaran selama ini “mulut” mereka latah terhadap pemerintah. Padahal, pemerintah merupakan lambang dari Indonesia. Bukankah menghina pemerintah menjadi pencemaran nama baik bagi warga Indonesia? Nah, kalau itu sudah terjadi, bukankah eksistensi sastrawan ke depan akan menjadi kronis?
Bukan hanya itu, yang jauh lebih dikhawatirkan sebenarnya bukan potensi ramainya pengaduan sastrawan latah, melainkan jauh lebih dalam dari situ. Ini bahkan bukan tentang sastra, melainkan tentang kehidupan itu sendiri. Apabila sastra mati, kehidupan itu sendiri pun pada hakikatnya sudah mati. Bukankah Tuhan mencipta melalui sastra, yaitu mantra? Bukankah seperti Perjanjian Baru bilang, pada hakikatnya adalah firman? Sutardzi Calzoum Bachri lalu mengutipnya menjadi sastrawi, pada mulanya adalah kata dan kata pertama itu adalah mantra (sastra)?
Indonesia ini sendiri sesungguhnya lahir dari puisi. Seperti kata Parni Hadi, secara genealogis, teks Sumpah Pemuda dapat dirunut asal muasalnya pada puisi Muhammad Yamin (23 Agustus 1903-7 Oktober 1962), yang berjudul “Tanah Air” (Jong Sumatra, Juli 1920), “Bahasa, Bangsa” (Februari 1921), “Tanah Air” (9 Desember 1922), yang lebih panjang dari puisi sebelumnya, dan “Indonesia, Tumpah Darahku”, 26 Oktober, 1928. Sumpah Pemuda sendiri dipahami sebagai prosa dari gabungan puisi-puisi itu.
Jadi, tak salah kalau Mohammad Iqbal, sang penyair dan filsuf Pakistan, bilang bahwa kita wajib menziarahi mereka sebagai sumber inspirasi dan wahana instropeksi. Lanjut dia lagi, negara lahir dari tangan penyair. Dan, sialnya, sang filsuf ini juga berkata bahwa jaya atau jatuhnya sebuah bangsa ada di tangan politisi. Tanpa berlebihan dan membesar-besarkan, saya kira masuknya jalur hukum pada ranah sastra yang menggayut Saut Situmorang menjadi sebuah kecelakaan sejarah kehidupan. Ini pertanda awal sebuah bangsa akan runtuh, bukan hanya sastra itu sendiri.
Terserah apa yang dibilang orang bahwa apa yang kini terjadi merupakan rekayasa sastra. Tetapi saya lebih memahaminya sebagai hukumisasi jika memang kata itu ada, bahkan merupakan politisasi sastra itu sendiri. Tegakah kita menghukum dan memolitisasi sastra yang sejatinya adalah ruang netral dan merdeka? Tegakah kita membunuh awal mula kita? Kalau tidak tega, lupakan hal paling berpengaruh atau tidak. Yang menentukan itu kelak adalah manusia independen. Lupakan pula melibatkan hukum dan politik terhadap sastra. Sastra harus dijawab dengan sastra, bukan senjata!
Penulis adalah seorang peminat sastra






0 comments:
Post a Comment