Thursday, 19 March 2015

Memaknai Puasa

Memaknai Puasa

Secara harafiah dirunut dari KBBI, puasa itu adalah menghindari makan dan minum secara sengaja dan tentu ihwal menghindari itu adalah sebuah kesengajaan dan kesadaran untuk menolak musuh terbesar: hawa nafsu. Karena itu, berpuasa atau berpantang secara tidak langsung sebenarnya menjadi ajang pembuktian diri.
Berpuasa juga menjadi alat untuk mengartikulasikan eksistensi keutamaan manusia berikut predikatnya sebagai mahluk Tuhan yang paling luhur. Jadi, pada hakikatnya, puasa itu tidak mendiskreditkan cobaan, bahkan pada tataran ideal, puasa itu harus dibarengi dengan berbagai cobaan sebagai ujian apakah manusia itu lulus dalam berpuasa atau tidak. Hanya saja di negeri ini, kita sering kali menisbikan berbagai unit wujud cobaan. Padahal, puasa adalah tentang bagaimana kita menolak cobaan, bukan meniadakan cobaan.
Akhirnya, marak kita temukan sekelompok orang yang menyisir berbagai tempat pemaksiatan seperti narkoba dan prostitusi. Tidak ada yang salah dengan tindakan itu. Hanya saja, tindakan itu sangat tidak elok karena hanya dilakukan pada masa puasa. Artinya, tindakan itu dilakukan untuk menghilangkan cobaan, bukan menghadapi cobaan.
Memang, di satu sisi, kita geli melihat negeri ini. Kita begitu mengharamkan narkoba sehingga pemerintah menutup akses perdagangan narkoba. Pemerintah juga menyiapkan berbagai sanksi tegas bagi orang-orang yang terlibat pada narkoba baik secara langsung maupun tidak langsung. Tapi anehnya, di negeri yang bukan liberal ini, narkoba sepertinya bebas dan bukan lagi menjadi barang haram dan langka. Marak ditemukan oknum-oknum tertentu yang menjadi pengonsumsi bahkan pengedar barang tersebut. Logikanya kalau ada pengedar dan pengonsumsi, berarti barang langka itu masih ada di pasaran.
Hanya Tutup Bulan Puasa
Beda halnya dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa. Baik negara Eropa maupun AS tidak terlalu alergi terhadap narkoba, tetapi pemakaiannya begitu terkontrol pada dunia medis dan akademis. Kita menjadi perlu bertanya, apakah negeri ini memang menganut paham liberal atau hanya memakai seragam Pancasila saja? Perhatikan, misalnya, pemerintah kita selalu saja gencar menangkap semua orang yang terkait dengan alur ekonomis narkoba, tetapi kita begitu menyayangkan kelengahan pemerintah karena ada juga orang yang sudah dipenjarakan malah mengonsumsi narkoba, bahkan mengedarkannya dari balik jeruji.
Kita kembali pada ihwal puasa tadi, apalagi dalam satu bulan lebih ini, kaum Muslim akan memulai pergumulan mereka dengan puasa. Masih teringat jelas di benak saya ketika tahun lalu Munarman, sekretaris FPI (Front Pembela Islam), menyiram segelas teh manis ke wajah Thamrin, seorang sosiolog UI, pada acara live TVOne.
Awal tragedi memalukan itu karena ketidasepahaman mereka perihal sweeping terhadap lokasi-lokasi yang dapat mengacaukan ibadah puasa. Ketidaksepahaman kala itu adalah karena menurut Munarman menyisir tempat-tempat hiburan malam dan sejenisnya oleh sekelompok orang menjadi hal yang legal.
Di sisi lain, Thamrin berpandangan bahwa yang berhak yang menyisirnya adalah polisi. Saya berpandangan, langkah Munarman sebenarnya sangat baik. Hanya saja hal itu sangat disayangkan. Disayangkan tidak saja karena sudah melangkahi tugas polisi, tetapi juga karena kita meminta lokasi-lokasi haram tersebut ditutup hanya pada bulan puasa. Saya memandang, ini adalah langkah menghilangkan cobaan. Menurut saya, akan menjadi lebih elok kalau memang harus ditutup, iya, ditutup saja sepanjang tahun, jangan hanya pada masa puasa.
Tetapi, terlepas dari pergunjingan dan perdebatan itu, mari kita mempelajari kembali tentang bagaimana dan apa sebenarnya hakikat puasa itu. Puasa itu sejatinya adalah sebuah kompetisi untuk memenangi setiap pergulatan di tengah cobaan.
Menaklukkan, Bukan Menghilangkan
Di sisi lain, puasa itu sejatinya adalah pembelajaran. Pembelajaran bahwa kita harus sadar bahwa negeri ini majemuk. Karena majemuk, pasti tidak semua orang melakukan puasa. Artinya, orang yang tidak berpuasa harus menghormati orang yang berpuasa, dan, orang yang berpuasa pun harus menghormati orang yang tidak berpuasa. Yakinlah, wujud penghormatan seperti ini juga nama lain dari puasa.
Akhirnya, puasa itu hanya akan menemukan definisi terbaiknya manakala puasa itu tidak menisbikan cobaan. Saya tidak sedang mengatakan, ayo, tambahkan cobaan. Hanya, mari hadapi cobaan itu dengan senang dan dengan keteguhan hati. Silakan tempat hiburan tetap ada dengan syarat kita yang puasa jangan pergi ke sana. Silakan tempat hiburan yang banjir dengan miras ditutup, tetapi jangan ditutup hanya ketika bulan-bulan puasa.
Harus dicatat, penulis tidak menyarankan pemerintah melegitimasi keberadaan tempat-tempat maksiat. Penulis juga tidak menyarankan supaya kita memiliki sikap permisif terhadap berbagai hal yang dapat menumbuhkan benih dosa. Tetapi jauh pada hakikat saran itu, penulis berpandangan bahwa hidup ini akan selalu menghadapi cobaan. Kita tidak akan pernah menghilangkan cobaan. Yang bisa kita antisipasi adalah kemampuan kita untuk menaklukkan semua cobaan.
Bahkan, pemerintah sendiri yang bercokol dan yang menjadi mutan-mutan iblis birokrat dengan berbagai tanduk-tanduk iblisnya adalah cobaan yang harus kita taklukkan. Siapa yang tahu, Pilpres sekarang pun merupakan cobaan. Apakah kita akan memilih karena faktorsubjektif, karena sama partai, atau karena bayaran?
Singkatnya, mari berpuasa dan menemukan definisi terbaik dari puasa itu sendiri! Yang pasti, definisi terbaik puasa itu adalah menaklukkan berbagai cobaan, bukan menghilangkan cobaan. Selamat berpuasa! ***
Riduan Situmorang (Dikutip dari Analisa, 24 Juni 2014)

Penulis staf pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed, aktif di Teater KMK Unimed, Redaktur Majalah Riuk Unimed.

0 comments: