Valentine untuk Politisi
Oleh: Riduan Situmorang
Valentine identik dengan hari kasih sayang. Di hari ini, mereka yang saling mencintai akan bertukar kado, tentu saja ini hanya berlaku bagi mereka yang mengakui Valentine sebagai hari Kasih Sayang. Maka, yang berpacaran, suami-istri, orang tua-anak, sesama sahabat akan saling bertukar kado. Praktis, rasa sayang akan semakin teguh. Rasa sayang yang dulu samar akan menjadi terang. Artinya, kasih lebih menggeliat ketimbang dendam. Teduh mendahului gaduh. Suka lebih menderu daripada duka. Baiklah, baiklah, Anda sudah mengerti maksud saya. Intinya, indah sekali di hari ini.
Tapi sialnya, entah karena kebetulan, di bulan penuh kasih sayang ini, negeri ini justru masih penuh dengan sengketa, perkelahian, persaingan, dendam, dan kegaduhan. Jauh dari apa yang diharapkan pada hari spesial sekelas Valentine. Celakanya, semuanya itu justru merayap di jajaran pemerintahan, elite politik, elite partai, lembaga negara. Rakyat kecil yang sebenarnya tidak tahu pokok persoalan kena imbasnya melalui geliat harga, melalui huru-hara.
Rakyat yang sebenarnya juga jauh dari Istana mendadak tahu apa-apa tentang Istana karena Istana ditampilkan ibarat pasar pagi. Heboh dan menggelisahkan. Semua ditampilkan begitu vulgar hampir tanpa sensor. Katanya ini transparansi, tetapi masyarakat membacanya sebagai peperangan frontal. Persis seperti blok barat dan timur pada zaman perang dingin. Semua tentu saja punya konsekuensi masing-masing, memilih blok barat, blok timur akan mengancam. Demikian juga sebaliknya.
Rakyat yang Pasrah
Sebagai hasilnya, rakyat yang memang dari dulu sudah cemas bercampur bingung mendadak semakin cemas dan bingung, konon ditambah lagi dengan rasa takut. Betapa tidak, ada lembaga yang mengatakan sahabat rakyat, tetapi justru pembabat rakyat. Ada yang mengaku wakil rakyat, tetapi justru pengalih rakyat. Ada yang mengaku wakil Tuhan, tetapi justru mempertuhankan diri. Dulu mengelu-elukan, sekarang mengeluhkan. Semua itu jelas dan sangat vulgar. Kata mereka, ini sih bukan perang, apalagi kriminalisasi. Tetapi seperti pengamat di negeri bilang, orang bodoh sekalipun, termasuk rakyat yang katanya tak jelas, tahu bahwa ini perang dan kriminalisasi.
Sekadar menyebut contoh, lihatlah Polri yang rupa-rupanya galak tak ubahnya preman sehingga orang sebersih Bambang Widjojanto (BW) diborgol di depan umum. BW ditangkap persis ibarat maling dan kriminal tingkat berat.
Seumur-umur, KPK belum pernah memborgol koruptor yang nyata-nyata sudah bersalah. Pada praktiknya, koruptor malah bebas melambai dengan senyuman yang menyebalkan ke TV karena tangan mereka bebas sebebas-bebasnya. Apakah mereka ini bukan kriminal? Lalu, mengapa beda dengan BW? Rakyat tak habis pikir. Mereka lalu merintih dan berkata dengan lirih,manusia sekelas BW yang pendukungnya banyak dan yang punya pengawal saja ditangkap tanpa ampun, bagaimana pula dengan kami rakyat kecil yang tak punya pendukung dan pengawal? Mungkin, akan meninggal tanpa bangkai, oh….
Kengerian itu berlanjut, terutama ketika dihubung-hubungkan, penangkapan BW sedikit-banyak berkaitan dengan status Budi Gunawan, calon Kapolri satu-satunya dari Jokowi (dari Jokowi?). Kata mereka yang paham politik, kasus yang menimpa Budi Gunawan bukan perkara main-main. Di sana, para pendekar politik berperang atas nama kepentingan. Tentu, norma tidak berlaku di sana, apalagi etika. Yang berlaku hanya kerakusan. Undang-undangnya diadopsi dari hukum rimba. Ideologinya tak ada lawan yang abadi sehingga seperti kata Vito Corleone, jagalah kawan-kawanmu agar dekat, tetapi jaga pula agar musuh-musuhmu lebih dekat lagi.
Kini, ketakutan itu semakin lengkap berhubung semua petinggi KPK sudah berada pada posisi terlapor. Sebentar lagi mereka akan menjadi tersangka. Ketika mereka tersangka, otomatis, mereka akan “mundur” dari KPK. Maka, semakin besarlah ketakutan rakyat karena dulu mereka terlanjur gagah-gagahan mengutuk para koruptor, secara habis-habisan dan di tempat umum pula. Pasalnya saat itu, rakyat kecil berani karena berpikir bahwa elite politik dan Polri merupakan pendukung mereka.
Tapi kini, elite partai, Polri, dan semua yang diharapkan mendukung kini berubah. Apa ketakutan itu? Rakyat kecil berpikir, suatu saat para koruptor yang mereka kutuk selama ini akan balas dendam. Lalu, koruptor yang kini hampir ditersangkakan akan semakin kencang mencengkeram. Logikanya - namanya rakyat kecil selalu berpikir polos - andalan kami, KPK saja sudah dipreteli, apalagi kami yang bukan siapa-siapa. Pasti mati tanpa bangkai!
Maka, selain takut, kini rakyat sudah pasrah. Biasanya begitu, setelah ketakutan, ujung-ujungnya akan berakhir pada pasrah. Pada pasrah ini, mereka tidak dapat banyak berbuat, kecuali berdoa dan berdoa. Mereka pasrah, sekali lagi, bukan tanpa alasan. Selain logikanya yang polos, rakyat kecil kini bebas mengakses berita.
Bunga Indonesia
Maka, mereka tentu tahu siapa-siapa dari partai pengusung Jokowi-JK yang kini mengadukan Abraham Samad. Rakyat kecil juga tahu, siapa dewa-dewi yang ada di balik Jokowi. Jokowi memang sekilas masih bisa tersenyum, tetapi mereka tahu, Jokowi kini pening dan pusing sampai-sampai dia bermesraan dengan rivalnya, Prabowo. Padahal, sebelumnya mereka selalu “berperang”. Maka ketika ditanya, mengapa Jokowi mau “bermesraan” dengan Prabowo, rakyat kecil pasti akan menjawab, temannya yang lama mungkin kini berubah.
Mungkin jawaban rakyat ini salah, tetapi tak dapat dibantah bahwa teman lama Jokowi sudah berubah. Rumornya, Bu Mega “memelintir” Jokowi. Apa itu benar? Tak ada faktanya. Apa itu salah? Rumornya sudah dipercaya. Artinya, anggapan rakyat tak boleh disalahkan begitu saja. Begitupun polosnya pemikiran mereka, mereka tetap tahu kalau Jokowi yang dipandang sebagai pahlawan persis dalam mitos cerita rakyat di awal pencalonannya kini “takluk” dan “tunduk” pada dewa-dewi di sekitarnya. Maka, mereka kembali bergumam, Jokowi, sang Pahlawan dari mitos saja, tunduk pada dewa-dewi, konon lagi kami yang bukan siapa-siapa, boneka pun tidak?
Ya, rakyat kecil tahu, di bulan Kasih Sayang ini ada peperangan tingkat tinggi. Dalam hati kecilnya, mereka berdoa, semoga Valentine ini menjadi bulan sesungguhnya. Yang bersahabat semakin bersahabat, yang berselisih memberi solusi sehingga cinta bukan sekadar catatan basi. Kalau Valentine ini benar-benar hari mendewakan Cinta, pasti para elite di negeri ini membawa perdamaian sebagai “coklat” untuk rakyat. Ya, hanya itu. Rakyat tak minta banyak-banyak sebagai hadiah, cukup perdamaian di tingkat elite. Pelan-pelan itu akan merembes ke akar-akar rumput. Kalau itu merembes, akar akan kuat sehingga bunga Indonesia akan mekar. Bunga itulah sebagai kado Valentine yang sesungguhnya. ***
Penulis adalah Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan serta Aktif di PLOt Medan.
0 comments:
Post a Comment