Friday, 13 February 2015

Valentine untuk Politisi

Valentine untuk Politisi

Oleh: Riduan Situmorang
Valentine identik dengan hari kasih sa­yang. Di hari ini, mereka yang saling men­cintai akan bertukar kado, tentu saja ini ha­nya berlaku bagi mereka yang me­nga­kui Va­lentine se­bagai hari Kasih Sayang. Maka, yang berpacaran, suami-istri, orang tua-anak, sesama sahabat akan saling ber­tu­kar ka­do. Praktis, rasa sayang akan se­makin te­guh. Rasa sayang yang dulu samar akan men­jadi terang. Artinya, kasih lebih meng­­ge­liat ketimbang dendam. Teduh men­da­hului gaduh. Suka lebih menderu da­ri­pada duka. Baiklah, baiklah, Anda su­dah mengerti maksud saya. Intinya, indah se­kali di hari ini.
Tapi sialnya, entah karena kebetulan, di bu­lan penuh kasih sa­yang ini, negeri ini jus­tru masih penuh dengan sengketa, per­­ke­lahian, persaingan, dendam, dan ke­ga­duhan. Jauh dari apa yang diharapkan pada hari spesial sekelas Valentine. Ce­la­kanya, se­­muanya itu justru merayap di jajaran pe­me­rin­tah­an, elite politik, elite partai, lem­baga negara. Rakyat kecil yang sebenarnya tidak tahu pokok persoalan kena imbasnya melalui geliat harga, melalui huru-hara.
Rakyat yang sebenarnya juga jauh dari Is­tana mendadak tahu apa-apa tentang Is­tana karena Istana ditampilkan ibarat pasar pagi. Heboh dan menggelisahkan. Semua ditampilkan begitu vulgar hampir tanpa sensor. Katanya ini transparansi, tetapi ma­sya­rakat membacanya sebagai pepera­ngan frontal. Persis seperti blok barat dan ti­mur pada zaman perang dingin. Semua tentu saja punya konsekuensi masing-ma­sing, memilih blok barat, blok timur akan mengancam. Demikian juga sebalik­nya.
Rakyat yang Pasrah
Sebagai hasilnya, rakyat yang memang dari dulu sudah ce­mas bercampur bingung men­dadak semakin cemas dan bingung, konon ditambah lagi dengan rasa takut. Betapa tidak, ada lembaga yang mengata­kan sahabat rakyat, tetapi justru pem­babat rak­yat. Ada yang mengaku wakil rakyat, te­tapi justru pengalih rakyat. Ada yang me­ngaku wakil Tuhan, tetapi justru mem­per­tu­­hankan diri. Dulu mengelu-elukan, se­karang mengeluh­kan. Semua itu jelas dan sa­ngat vulgar. Kata mereka, ini sih bukan pe­rang, apalagi kriminalisasi. Tetapi se­perti penga­­mat di negeri bilang, orang bo­doh sekalipun, termasuk rakyat yang ka­tanya tak jelas, tahu bahwa ini perang dan krimi­na­lisasi.
Sekadar menyebut contoh, lihatlah Polri yang rupa-rupanya ga­lak tak ubahnya preman sehingga orang sebersih Bambang Wi­djojanto (BW) diborgol di depan umum. BW ditangkap persis ibarat maling dan kri­minal tingkat berat.
Seumur-umur, KPK belum pernah mem­­borgol koruptor yang nyata-nyata su­dah bersalah. Pada praktiknya, koruptor ma­­lah bebas melambai dengan senyuman yang menyebalkan ke TV karena tangan me­­reka bebas sebebas-bebasnya. Apakah me­reka ini bukan kriminal? Lalu, mengapa beda dengan BW? Rakyat tak habis pikir. Mereka lalu merintih dan berkata dengan lirih,manusia sekelas BW yang pendu­kung­nya banyak dan yang punya pengawal saja ditangkap tanpa ampun, bagaimana pula dengan kami rakyat kecil yang tak punya pendukung dan pengawal? Mung­kin, akan meninggal tanpa bangkai, oh….
Kengerian itu berlanjut, terutama ketika di­hubung-hu­bungkan, penangkapan BW se­­dikit-banyak berkaitan dengan sta­tus Budi Gunawan, calon Kapolri satu-satunya dari Jokowi (dari Jokowi?). Kata mereka yang paham politik, kasus yang menimpa Budi Gunawan bukan perkara main-main. Di sana, para pendekar politik berperang atas nama kepentingan. Tentu, norma tidak ber­­laku di sana, apalagi etika. Yang berlaku hanya kerakusan. Undang-undangnya di­adopsi dari hukum rimba. Ideologinya tak ada lawan yang abadi sehingga seperti kata Vito Corleone, jagalah kawan-kawanmu agar dekat, tetapi jaga pu­la agar musuh-mu­suhmu lebih dekat lagi.
Kini, ketakutan itu semakin lengkap berhubung semua pe­tinggi KPK sudah berada pada posisi terlapor. Sebentar lagi mereka akan menjadi tersangka. Ketika mereka tersangka, oto­matis, mereka akan “mundur” dari KPK. Maka, semakin be­sarlah ketakutan rakyat karena dulu mereka terlanjur gagah-gagahan mengutuk para koruptor, secara habis-habisan dan di tempat umum pula. Pasalnya saat itu, rakyat kecil berani karena berpikir bahwa elite politik dan Polri merupakan pen­du­kung mereka.
Tapi kini, elite partai, Polri, dan semua yang diharapkan men­dukung kini berubah. Apa ketakutan itu? Rakyat kecil berpikir, suatu saat para koruptor yang mereka ku­tuk selama ini akan balas dendam. Lalu, ko­ruptor yang kini hampir ditersangkakan akan semakin kencang mencengkeram. Lo­gikanya - namanya rakyat kecil selalu ber­pikir polos - andalan kami, KPK saja sudah dipreteli, apalagi kami yang bu­kan siapa-siapa. Pasti mati tanpa bangkai!
Maka, selain takut, kini rakyat sudah pasrah. Biasanya be­gitu, setelah ketakutan, ujung-ujungnya akan berakhir pada pasrah. Pada pasrah ini, mereka tidak dapat banyak berbuat, kecuali berdoa dan berdoa. Mereka pasrah, sekali lagi, bukan tanpa alasan. Selain logikanya yang polos, rakyat kecil kini bebas mengakses berita.
Bunga Indonesia
Maka, mereka tentu tahu siapa-siapa dari partai pengusung Jokowi-JK yang kini mengadukan Abraham Samad. Rakyat kecil juga tahu, siapa dewa-dewi yang ada di balik Jokowi. Jokowi memang sekilas ma­sih bisa tersenyum, tetapi mereka tahu, Jo­kowi kini pening dan pusing sampai-sam­pai dia bermesraan dengan rivalnya, Pra­bowo. Padahal, sebelumnya mereka selalu “ber­perang”. Maka ketika ditanya, me­ngapa Jo­kowi mau “bermesraan” de­ngan Prabowo, rak­yat kecil pasti akan men­jawab, temannya yang lama mungkin kini berubah.
Mungkin jawaban rakyat ini salah, te­tapi tak dapat dibantah bahwa teman lama Jokowi sudah berubah. Rumornya, Bu Mega “me­me­lin­tir” Jokowi. Apa itu benar? Tak ada fak­tanya. Apa itu salah? Rumor­nya sudah dipercaya. Artinya, anggapan rak­yat tak boleh disalahkan begitu saja. Be­gitupun polosnya pemikiran mereka, me­reka tetap tahu kalau Jokowi yang di­pandang sebagai pahlawan persis dalam mitos cerita rakyat di awal pencalonannya kini “takluk” dan “tunduk” pada dewa-dewi di sekitarnya. Maka, mereka kembali ber­gumam, Jokowi, sang Pahlawan dari mitos saja, tunduk pada dewa-dewi, konon lagi kami yang bukan siapa-siapa, boneka pun tidak?
Ya, rakyat kecil tahu, di bulan Kasih Sayang ini ada pepe­rangan tingkat tinggi. Dalam hati kecilnya, mereka berdoa, semoga Valentine ini menjadi bulan sesungguhnya. Yang bersahabat semakin bersahabat, yang berselisih memberi solusi sehingga cinta bukan sekadar catatan basi. Kalau Valen­tine ini benar-benar hari mendewakan Cinta, pasti para elite di negeri ini membawa perdamaian sebagai “coklat” un­tuk rakyat. Ya, hanya itu. Rakyat tak minta banyak-banyak sebagai hadiah, cukup perdamaian di tingkat elite. Pelan-pelan itu akan merembes ke akar-akar rumput. Kalau itu merembes, akar akan kuat sehingga bunga Indonesia akan mekar. Bunga itulah sebagai kado Valentine yang sesungguhnya. ***
Penulis adalah Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan serta Aktif di PLOt Medan.

0 comments: