Jokowi Lihatlah, Tanah Batak Terluka!
Oleh: Riduan Situmorang
Kalimat judul di atas populer belakangan ini. Tak percaya, lihatlah itu di media sosial, pasti akan berserak. Hal itu merupakan bentuk kekecewaan sekaligus perlawanan dari orang yang gelisah pada nasib Danau Toba yang kian hari wibawanya makin hilang, bahkan ada kecenderungan sengaja dihilangkan. Setidaknya, hal itu terjadi karena "kecelakaan" kinerja Pemerintah Sumut, terutama Pemda-pemda yang ada di sekitaran Danau Toba. Betapa tidak, kian hari, pesona Danau Toba makin memudar. Beragam argumen pun berkelindan. Ada yang mengatakan karena faktor iklim, tetapi saya lebih yakin hal itu terjadi karena faktor kelemahan, terutama kerakusan Pemerintah-pemerintah Daerah yang ada di sana.
Memang, jika dilihat sekilas, tampak bahwa pemerintah telah melakukan hal-hal yang positif untuk danau. Akan tetapi, semua kegiatan itu lebih cenderung mengarah pada promosi, bukan pada penataan dan penghijauan! Akhirnya, jadilah Danau Toba tersiar kemana-mana dan berjuta orang bertumpuk di sana, mulai dari wisatawan domestik hingga pada wisatawan mancanegara.
Hanya saja yang menjadi masalah kemudian adalah ketika tamu-tamu wisatawan yang sudah susah payah diundang itu mendadak kecewa karena keindahan danau yang dulu sangat alami, sekarang berubah drastis menjadi kotor dan tidak terawat. Belum lagi pepohonan yang dulunya rimbun kini sudah hampir habis dibabat. Maka, jangan salah jika pada akhirnya langkah-langkah sembrono yang melulu mempromosikan danau tanpa disertai dengan perbaikan nature-nya akhirnya menuai kekecewaan karena yang terpromosikan kemudian bukan keindahan, melainkan kemerosotannya!
Perlu Perbaikan Internal
Seperti tadi, sebenarnya Pemda sudah banyak berbuat kalau memang hal itu pantas disebut sebagai sesuatu yang berbuat. Sebagai contoh, misalnya, pada PRSU 2013, Pemda Samosir tampak sumringah dengan tema besarnya untuk membuat terobosan baru supaya Danau Toba termasuk dalam kategori Geopark International. Lalu, pada PRSU 2014, Pemda Samosir pun masih tetap mengusahakan supaya danau meraih penghargaan dan pengakuan internasional. Akan tetapi, sampai sekarang, pengakuan yang diharapkan tidak muncul-muncul. Malah berita yang menyeruak yang kita santap kemudian hanyalah berita miris dan menyedihkan. Inilah kemudian yang kami gelisahkan pada bedah buku "Perempuan di Pinggir Danau" di Balai Marojahan dan Unimed baru-baru ini.
Jujur, saya tidak menghakimi usaha pemerintah yang telah bergiat mempromosikan budaya Sumut termasuk apa yang dilakukan baru-baru ini oleh Mangindar Simbolon ke Belanda. Kita apresiasi langkah itu sebagai terobosan baru untuk menginternasionalisasikan kesenian-kesenian yang ada di Sumut. Akan tetapi, apakah bijak kalau hanya sebatas promosi tanpa ada perbaikan internal? Lagipula, kalau hanya sebatas promosi kesenian, para seniman malah sudah melakukan hal yang lebih, termasuk apa yang telah dilakukan oleh Thomson Hs dan kawan-kawan dalam pementasan Opera Batak di Jerman tahun 2013 silam. Bahkan September ini, jika tidak ada aral melintang, kami bersama PLOt pun akan melakukan hal yang sama dalam skala yang lebih luas ke Jerman juga. Hampir tanpa biaya APBN atau APBD!
Nah, kalau pemerintah yang hidup oleh APBN saja masih melakukan hal yang sama, apa keunggulan mereka dari para seniman? Sekali lagi, berpikirlah realistis! Lakukan langkah bijak yang kongruen dengan keinginan masyarakat. Tak perlu langkah-langkah normatif dijanjikan jika pada akhirnya tidak diimplementasikan. Lihat, dengan kondisi sekarang, apa yang layak dibanggakan dan dipromosikan, kecuali hutan-hutan yang mulai terjarah oleh pengusaha-pengusaha? Apakah kita tidak bersikap malu kalau hanya menjual rongsokan melalui promosi yang sudah memakan banyak biaya itu?
Saya yakin, apa yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini hanyalah pemborosan jika tidak bisa dikatakan kesia-siaan. Jadi, wajarlah kalau kemudian kita gelisah terhadap nasib Danau Toba, terutama karena pada saat bersamaan dengan gencar-gencarnya geopark international digaungkan, di saat itu pula pemerintah tidak hadir dan bertindak sesuai dengan cita-cita yang digadang-gadangnya.
Siapa Kami ini Sebenarnya?
Lihat, hutan di sekitaran Danau Toba malah dijarah. Mungkin pemerintah dapat berkelit bahwa yang melakukannya adalah pengusaha yang tidak bekerja sesuai prosedur. Akan tetapi, siapa yang pantas dipersalahkan jika tidak pemerintah yang terlalu gegabah dan terlalu rakus sehingga rela begitu saja menjual nature Danau Toba kepada pengusaha? Nah, jika pun yang bersalah adalah pengusaha yang menjarah di luar perjanjian, mengapa kemudian pemerintah tampak takut untuk menegurnya? Ada apa sebenarnya?
Maaf, pertanyaan ini berjejer saya utarakan karena jika kita berpikir jernih, ada banyak kejanggalan yang sangat tidak masuk akal. Pemerintah secara struktural dapat saja sebenarnya mengusir bahkan memenjarakan para pengusaha yang telah menyalahi aturan. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak melakukannya? Jangan-jangan malah pemerintah yang telah menyalahi aturan?
Sekali lagi, tulisan ini hanyalah sekelumit dari ungkapan kegelisahan itu. Saya yakin pula, tulisan ini akan tetap hanya sebatas ungkapan kegelisahan yang tidak akan direspons. Sebab, siapalah saya ini sehingga hanya karena sebuah tulisan, segala kegelisahan jadi ditanggapi pemerintah. Bukankah selama ini sudah banyak tindakan masyarakat, tetapi tetap diabaikan, bahkan pemerintah tidak menghadirinya? Bukankah selama ini sudah banyak kelompok masyarakat seperti Forum Pesona yang mencoba melunakkan hati pemerintah, tetapi berlalu begitu-begitu saja? Bukankah pula sudah banyak kebijakan normatif yang coba ditawarkan pemerintah, tapi tak kunjung dilaksanakan? Terakhir, kami akan menampilkan ulang "Perempuan di Pinggir Danau" ke Jerman, hal itu demi Danau Toba dengan segenap kegelisahannya. Akan tetapi, mungkinkah hanya karena penampilan ini pemerintah akan tersentuh?
Sekali lagi, siapalah saya ini, kecuali kalau tidak sebatas masyarakat biasa yang telah terlalu banyak menyimpan gelisah, terutama karena pesona Danau Toba akhir-akhir ini makin tenggelam dan kehilangan wibawa. Karena itu, izinkan saya mewakili mereka yang turut prihatin terhadap kinerja pemerintah, dalam hal ini terfokus pada pemberdayaan dan perawatan Danau Toba. Ungkapan keprihatinan itu saya rumuskan dengan singkat, begini: sebenarnya, siapa kami di matamu sebagai konstituenmu sehingga kamu (pemerintah) hanya diam menyaksikan teriakan-teriakan kami? Izinkan pula saya menabalkan pesan ini, Jokowi, lihatlah, Tano Batak terluka, apakah Bapak hanya diam saja?***
* Penulis adalah Pemerhati Sosial serta Aktivis Sastra di PLOt dan Teater Z Medan
0 comments:
Post a Comment