Saturday, 3 January 2015

Lapindo Pasca Munas Golkar

Lapindo Pasca Munas Golkar

Oleh: Riduan Situmorang
Negara ini memang negeri bencana. Ada bencana alam, kemanusiaan, termasuk bencana kelalaian manusia yang diperalat menjadi bencana alam yang alami. Karena itu, setiap orang, terutama mereka yang berkeinginan menjadi “pemimpin”, pertama sekali yang harus dilatih adalah kemampuan beretorika sembari memasang wajah prihatin dalam melafalkan kata-kata turut berdukacita. Karena itu, jangan heran, ketika, misalnya, ada bencana, yang pertama kita lihat adalah spanduk-spanduk, umbul-umbul yang ditulis dengan embel-embel dari Si Fulan dan masih banyak lagi. Begitulah juga halnya dengan Lumpur Lapindo. Dia menjadi perhatian banyak orang sehingga di sana tercurah beribu kata-kata prihatin.
Akan halnya Lumpur Lapindo yang sudah melewati ulang tahunnya yang kedelapan, dapat dibaca dari beragam perspektif. Ada yang membacanya sebagai bencana alam sehingga dia harus menjadi beban negara, bukan korporasi yang ada di atasnya. Setidaknya, itulah menurut kolega yang masuk pada corong sang empunya, Ical. Dari logika ini, alih-alih membantu, harusnya korporasi yang di atasnya harus disubsidi. Mungkin karena logika inilah Ical-group selalu berusaha menyalahkan dan mengatakan negara sebagai lembaga yang lamban.
Dari perspektif lain, Lumpur Lapindo dipandang pula sebagai bencana alam karena kelalaian manusia. Dari logika ini, Ical-group menjadi terdakwa sehingga mereka harus bertanggung jawab penuh. Sumbangan dari negara bukan menjadi kewajiban, kecuali negara berbaik hati. Artinya, Ical-grouplah yang harus bertanggung jawab. Mereka tidak boleh menggugat negara, apalagi mewajibkan negara membantunya. Kalau hal ini yang terjadi, ditengarai korupsi politik sudah bergulir.
Praktis, kedua pandangan yang saling tarik menarik inilah kemudian yang membuat penanganan Lumpur Lapindo makin lamban. Urusan bagaimana menanganinya tidak lagi menjadi prioritas, tetapi mencari siapa yang akan bertanggung jawab. Urusan siapa yang menderita karena lumpur itu pun tidak menjadi fokus utama, tetapi mencari ahli dalam menentukan dimana letak masalah Lumpur Lapindo. Maka, mereka terpaksa harus membayar ahli lagi sehingga secara kasatmata, masyarakat menderita, tetapi ahli malah kepulungan rejeki. Itulah paradoks di negeri ini. semakin banyak tahu, semakin banyak pula tidak tahu. Semakin banyak memberi, semakin banyak pula mencuri.
Lalu, bagaimana nasib Lapindo ke depan? Apa pula relevansi keterpilihan Ical menjadi Ketum Golkar untuk kedua kalinya terhadap nasib terengah-engah masyarakat yang menjadi tumbal Lapindo? Apakah Ical akan memperalat Golkar? Atau sebaliknya, apakah Golkar memperalat Ical sehingga demi “memperjuangkan” Lumpur Lapindo sebagai bencana nasional-alami, mereka dikasih guyuran fee sebagai bentuk dari balas jasa? Lebih jauh, bagaimana Golkar di KMP, apakah mereka bekerja sama menggolkan Lumpur Lapindo sebagai bencana nasional sehingga karena status itu, Ical bisa aman?
Ya, deretan pertanyaan itu diajukan karena kini, Lumpur Lapindo tidak lagi urusan bencana, dia sudah menjadi urusan politik. Praktis, tarik-menarik keputusan bergulir di sana sehingga lagi-lagi dan untuk kesekian kalinya, rakyat di sekitarnya menjadi korban. Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Kalaupun ada sumbangan, di baliknya selalu tersimpan motif-motif tertentu. Tidak ada makan gratis, barangkali begitulah filosofinya. Celakanya, jika tidak hati-hati, mungkin akan ada beberapa oknum menceburkan diri ke sana dan mencoba mengorkestrasi penampilan profetik sehingga dia dipandang sebagai pahlawan, entah itu pahwalan atas nama Ical, negara, ataupun masyarakat.
Hal itu masuk akal karena kini Lapindo masih berutang Rp781M. Perusahaan di atasnya bahkan sudah “angkat tangan” karena sebelumnya telah mengucurkan uang Rp9 triliun lebih untuk ganti rugi korban Lapindo. Gara-gara itu, utang Grup Bakrie meningkat tajam. Akan tetapi, ganti rugi itu masih belum cukup. Masih banyak beban psikologis di masyarakat, masih ada pula masyarakat yang belum mendapatkan ganti rugi yang memadai, bahkan nihil. Maka pertanyaannya, darimana dana Rp781M ini kemudian akan dicari. Apakah dari APBN? Kalau dari APBN, segampang itukah? Oh, kita bahkan belum membicarakan, apakah dengan angka Rp781M itu sudah pasti menutupi semua ganti rugi?
Ya, di sinilah kecurigaan kita mengular. Dari praduga—hal ini mungkin bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak berdasar—dapat dikatakan Ical ngotot menjadi Ketum Golkar demi dua tujuan ganda: Lapindo sekaligus ketenaran, atau jangan-jangan “ketenangan”. Demi dua alasan itu pulalah Ical ditengarai memberi “sesuatu” kepada para kader. Kalau kader tidak menerima “sesuatu” itu atau ditengarai tidak pro kepadanya, maka mereka akan dipecat begitu saja. Yang penting, dapat dulu kekuasaan supaya tidak kehilangan legitimasi, apa pun cara yang ditempuh.
Hal itu masuk akal pula karena dengan kekuasaan, seseorang dapat melindungi diri dan koleganya dari “sengatan” hukum. Isaac Prilleltensky, seorang psikolog komunitas terkemuka, mengatakan kuasa memberikan kesempatan kepada orang atau sekelompok orang untuk mendatangkan apa yang baik bagi dirinya atau diri mereka dan bagi bersama orang lain. Jadi, kuasa bisa mendatangkan penderitaan karena dia memiliki tiga wujud yang berbeda, yaitu kuasa untuk melakukan penindasan (power to oppress), kuasa untuk menciptakan kesejahteraan (power to promote wellness), dan kuasa untuk melawan penindasan dan memperjuangkan pembebasan (power to resist oppression and strive for liberation).
Kita tidak tahu Ical akan memilih yang mana dari ketiga wujud kekuasaan di atas. Apakah kelak dia melalui Golkar akan mengorbankan negara? Apakah Ical melalui Golkar mampu menalangi dana tanpa melibatkan negara? Atau jangan-jangan Ical malah memperalat Golkar untuk membantunya supaya negara menggaransi “kecelakaan” yang melibatkan perusahaannya?
Yang pasti, kita berharap, semoga wujud lain dari kengototan Ical menjadi pemimpin utama di Golkar tidak untuk mencelakai negara, tidak untuk memperalat bencana, tetapi untuk mendengarkan rintihan hati para korban yang telah kehilangan tanahnya selama delapan tahun. Dan harus dicatat, kerugian masyarakat bukan semata tentang materi, melainkan juga menyentuh ranah psikologi, kultural, religi, bahkan ragawi mereka sendiri. Dalam hal ini, yang paling menyentuh, barangkali ada pada ketika mereka kehilangan momentum untuk “bertegur sapa” terhadap nenek moyangnya di makam melalui ziarah. Praktis, karena lumpur ini, mereka tidak bisa lagi untuk sekadar meletakkan bunga mawar di atas makam. Terakhir, semoga Partai Beringin ini dapat meneduhkan masyarakat, bukan sekadar meneduhkan Ical beserta kolega-koleganya!***
Penulis adalah Pendidik, Konsultan Bahasa, dan Pegiat Sastra dan Budaya, dan Penggagas “Teater Z” Medan.

0 comments: