Saatnya Bekerja, Mr President!
|
JOKOWI-JK merupakan perayaan atas perwujudan dari kehendak orang banyak. Mereka lahir bukan karena kehendak elite, justru karena kehendak sipil atau dalam bahasa eksotisnya: rakyat. Hal itu terbaca dari bias suara yang kemudian berpusar pada Jokowi-JK. Padahal, jika merunut logika elite, semestinya Prabowo menang telak karena didukung 63% suara partai.
|
Akan tetapi, rakyat kemudian membuktikan bahwa suara elite tidak selamanya merupakan representasi suara rakyat. Maka, dengan modal 37% suara partai, Jokowi-JK mendapat legalisasi sekaligus legitimasi dari 53,15% suara Indonesia. Artinya, Jokowi merupakan presiden rakyat, bukan elite.
Karena statusnya sebagai presiden rakyat dan dipilih rakyat, tentu saja kini agenda Jokowi tidak lain tidak bukan selain bekerja. Tidak ada lagi waktu untuk berpesta merayakan kemenangan. Selain tidak pantas, berpesta akan menimbulkan kesan kekalahan di pihak yang satu dan kemenangan di pihak lain. Padahal kita tahu, jika mengacu pada angka, kemenangan Jokowi bukanlah kemenangan besar.
Belum lagi kalau dewan diartikan sebagai rakyat, Jokowi jelas kali sudah kalah di sini. Maka, jika terpeleset sedikit saja, rakyat yang di DPR bisa berang dan mencari kambing hitam. Jika mengecewakan, rakyat yang memilih (sipil) pun bisa gerah yang kemudian gaduh. Apalagi kita tahu, Jokowi terlanjur diartikan sebagai simbol dari kemenangan rakyat. Artinya, harapan terhadap Jokowi sudah sedemikian besarnya. Jika kemudian harapan itu berbelok, rakyat akan mudah sensitif, belum lagi kalau rakyat yang di Senayan mencoba mengadu domba rakyat-sipil.
Sekali lagi, Jokowi-JK merupakan awal dari cita-cita yang akan segera mewujud. Harapan-harapan besar telah terlanjur diembankan padanya. Jokowi pun telah pula berjanji bekerja untuk rakyat. Dan, janji berikut kinerjanya di level walikota dan gubernurlah yang kemudian menjadi faktor penentu keterpilihannya.
Ya, Jokowi bisa berdelik bahwa dia tidak pernah terpikir menjadi Presiden.
Tetapi, alasan seperti ini tidak bisa menjadi tameng. Realitanya, Jokowi kini sudah Presiden. Dan, Presiden dalam pengertian rakyat bukanlah semata yang duduk menandatangani surat-surat administratif. Dalam kamus rakyat, Presiden adalah sosok yang mengayomi rakyat. Dia seusuatu yang substantif, bukan protokoler. Jadi, dia harus hadir di tengah rakyat melihat, bahkan ikut merasakan kegelisahan rakyat. Manakala pengertian Presiden ini melebar, terutama berbelok, rakyat akan mengeluh yang kemudian berujung gaduh.
Tanpa bermaksud mendahului pikiran rakyat, dapat diduga bahwa Jokowi-JK terpilih karena selama ini predikat pemimpin yang mengayomi sudah melekat pada mereka. Hal itu mendapat nilai tambah lagi ketika keduanya berasal dari pengusaha yang sukses dan pemerintah yang dicintai rakyat. Hal demikian tidak berlebihan karena sebagai pengusaha, mereka biasanya akan bertindak cepat, logis, praktis, efisien, dan berorientasi pada hasil. Di sisi lain, apabila dilihat dari karier di pemerintahan, Jokowi diidentikkan sebagai rakyat dan JK sebagai terobosan-terobosan baru. Khusus untuk JK, dia bahkan dicap sebagai Presiden yang mendampingi Presiden SBY atau bahasa gaulnya: matahari kembar. Nah, alasan inilah yang kemudian tidak bisa dibantah sebagai salah satu faktor penentu keterpilihan mereka.
Karena tadi mereka merupakan simbol dari rakyat, kemudian lahirlah pengertian Presiden-baru yang amelioratif. Maka, selain tidak administratif, Presiden ternyata tidak lagi semata orang yang didukung rakyat, tetapi orang yang mendukung rakyat; Presiden tidak lagi sebatas memimpin di depan dan diikuti orang, tetapi orang yang mengikuti kehendak rakyat dari belakang. Jadi, sebagai pemimpin yang bukan sekadar Presiden yang kita kenal selama ini, Jokowi-JK tentu diharapkan hadir di tempat, bahkan menjadi yang terdepan untuk mengeksekusi segala kebijakan prorakyat.
Sadarlah, rakyat sudah jemu dengan langkah-langkah normatif yang selama ini dijanjikan, tetapi tidak dilaksanakan. Siapa yang mengatakan janji dan program Prabowo-Hatta tidak bagus? Tetapi karena keduanya masih terkesan elitis, akhirnya mereka belum terpilih. Sialnya, ketidakterpilihan Prabowo-Hatta bukan terjemahan abadi bahwa rakyat melegitimasi Jokowi-JK secara permanen. Kalau boleh dikatakan, dukungan ini hanya sebatas uji coba, apakah pemimpin sipil dapat bekerja tidak semata menjanjikan langkah-langkah normatif atau tidak.
Kalau nyatanya tidak, emosi rakyat akan meluap, apalagi karena sebelumnya dibonceng harapan yang terlalu tinggi.
Maka, inilah waktu yang tepat bagi Jokowi-JK menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin yang saling melengkapi. Inilah panggung nyata yang jauh dari kata pencitraan yang biasanya teatrikal. Untungnya lagi, rakyat tidak akan mudah terpengaruh isu yang mungkin dilemparkan oknum tertentu ketika keduanya turun ke lapangan. Karena selama ini, selalu ada endusan isu yang mengatakan seseorang sedang mengadakan pencitraan ketika seseorang itu turun ke lapangan. Tetapi untuk Jokowi-JK, rakyat sudah tidak percaya.
Bagi rakyat, apa pun yang dilakukan keduanya merupakan tindakan yang bersahaja, bukan karena pencitraan. Hal itu logis saja. JK misalnya sudah mustahil akan mencalonkan diri lagi lima tahun ke depan karena usianya sudah tua. JK bahkan sudah mendeklarasikan bahwa kursi Wapres yang kini dia emban merupakan kursi pelayanan terakhirnya. Hal itu berarti bahwa JK tidak terbebani untuk membangun citra, tetapi membangun kebersahajaan dengan bekerja di tengah rakyat.
Jokowi? Apalagi! Jokowi merupakan sosok yang sederhana. Panggung walikota dan gubernur menjadi buktinya. Kita tahu, dia bukanlah sosok yang lihai berbicara. Dia merupakan antitesis dari Sukarno yang walaupun keduanya sama-sama bergelar insiniur. Dia memang sangat defisit dalam aksi teatrikal pencitraan, tetapi sangat surplus dalam gerak di lapangan. Dan inilah yang sangat disenangi rakyat, kebersahajaan dan ketulusan. Apalagi bahasa Jokowi sangat dekat dengan rakyat. Dia boleh dikatakan pandai, tetapi bahasanya merupakan perwujudan dari bahasa rakyat.
Artinya, kedua pemimpin kita yang sekarang lepas dari pencitraan kosong. Kalaupun pencitraan, hal itu hanyalah perwujudan bahwa manusia itu merupakan citra Allah. Lagipula, kalau kita terpaksa mengatakannya sebagai citra, dia sudah teruji dari berbagai level dan waktu, yakni lebih banyak kecocokan daripada kibulnya. Maka, sekali lagi, selamat bertugas wahai Mister President! Kini waktumu untuk membuktikan bahwa Presiden bukan kekuasaan, melainkan amanah dan instrumen untuk mengabdi. Good Luck and God Bless You!.
(Oleh : Riduan Situmorang)Penulis seorang pendidik dan konsultan bahasa |
0 comments:
Post a Comment