Wednesday, 12 November 2014

Bulan Bahasa bukan Basa-basi

Bulan Bahasa bukan Basa-basi

Oleh: Riduan Situmorang
Oktober dinobatkan sebagai bulan bahasa. Katanya, penetapan ini merupakan bentuk penghargaan dan pemeliharaan bahasa Indonesia dari serangan bahasa asing. Hal ini pun menjadi bukti konkret dari perwujudan Sumpah Pemuda yang dilaksanakan oleh para pemuda kita pada tahun 1928 silam. Di sana saat itu, pemuda kita dari berbagai suku mulai dari Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, dan Jong-jong lainnya membentuk suatu identitas dengan sebuah sumpah.
Tidak usah kita sebutkan isi sumpah itu di sini. Hanya perlu diutarakan bahwa dari ketiga isi sumpah tersebut, barangkali yang patut diberi apresiasi luar biasa adalah tentang adanya pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kita tahu, bahasa Indonesia diangkat dari bahasa Melayu. Semula, Yamin mengusulkan bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia, dengan alternatif bahasa Jawa. Akan tetapi, Sanusi Pane menolak. Menurutnya, bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu ataupun bahasa Jawa.
Lingua Franca
Terlepas kemudian bahasa Melayu diadopsi dan dikembangkan menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, hal itu bukanlah definisi awal bahwa suku Melayu diistimewakan dan yang lain tidak. Yang pasti, kita harus berterima kasih kepada suku-suku lain yang mengecilkan egonya untuk tidak ngotot mengusulkan bahasanya sebagai bahasa persatuan. Dalam hal ini, suku Jawa menjadi patut dihargai secara spesial atas kebesaran jiwa mereka untuk tidak memaksakan bahasa Jawa sebagai bahasa Indonesia. Dari fakta itulah kita ketahui kemudian bahwa betapapun saat itu para pemuda masih kesulitan untuk bersekolah, mereka sudah mempunyai semacam kesadaran dan sikap rela berkorban yang lalu menempatkan bahasa Melayu sebagai lingua franca yang betul-betul hidup di seluruh Nusantara.
Akan halnya bahasa Melayu sebagai lingua franca saat itu memang tidak terbantahkan lagi. Dasar-dasar historis sudah banyak membuktikannya. Dari prasasti yang ditemukan di Palembang, misalnya (683 Masehi), dapat diketahui bahwa bahasa Melayu (kuno) sudah digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat pada saat itu. Prasasti itu menggunakan bahasa Melayu kuno dengan aksara Pallawa. Karena Kerajaan Sriwijaya punya pengaruh luas di Nusantara, warga di wilayah Nusantara yang berinteraksi dengan Sriwijaya juga memakai bahasa Melayu.
Sriwijaya maju dalam kesusastraan dan ilmu pengetahuan (agama). Pada abad XIV, Kerajaan Malaka merdeka. Malaka punya pengaruh besar pada wilayah timur Nusantara. Penyebaran bahasa Melayu sejalan dengan penyebaran agama Islam. Kerajaan inilah yang kelak mempunyai andil besar untuk menyebarkan bahasa Melayu di Timur Indonesia. Demikianlah, bahasa Melayu dikenal luas yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.
Lalu, dewasa ini banyak pihak yang mengaku sebagai pencinta bahasa mulai menggelisahkan eksistensi bahasa Indonesia. Katanya, bahasa Indonesia kini sedang terancam, bahkan ada yang mengatakan bahasa Indonesia kelak akan punah seperti bahasa daerah lainnya. Beragam argumen yang mereka lontarkan. Salah satu yang gencar, misalnya, seringnya anak muda dan (sok) kaum intelektual mencampuradukkan bahasa asing ke bahasa Indonesia.
Argumen yang dilontarkan pun masuk akal. Hanya jika ditelisik lebih dalam, ada kesan bahwa kita bukan bangsa yang kuat, bahkan kita termasuk sebagai pemikir yang primitif. Sederhananya begini, hanya karena kita takut anak kita tenggelam sampai-sampai kita tidak mengizinkannya berenang di kolam renang sekalipun. Walhasil, kita melihatnya terus menerus, memapahnya sedemikian lekat seakan anak itu anak cacat. Artinya, ketakutan kita lebih besar daripada keberanian.
Di sisi lain, pemosisian bahasa asing sebagai ancaman terhadap bahasa Indonesia juga merupakan pandangan yang paradoksal. Kita mencintai bahasa Indonesia, tetapi kita takut bahasa itu berasimilasi dengan bahasa asing. Padahal, bahasa berkembang bukan hanya karena kosakatanya tetap sepanjang masa, tetapi seberapa mampu dia menambah kosakatanya tanpa harus menghilangkan kosakata terdahulu. Artinya, jika bahasa berkembang melalui asimilasi, kita telah tertangkap tangan sebagai pengekangnya.
Kita bukan Monyet
Percayalah, pandangan demikian tidak baik! Pandangan seperti ini justru merupakan yang salah kiblat dan sangat destruktif. Betapa tidak, kita secara sadar dan sengaja memposisikan bahasa asing sebagai pengancam dan bahasa kita sebagai yang terancam. Apakah bahasa kita memang terancam? Kalau terancam, sedemikian lemahnyakah kuda-kuda kita untuk menangkis semua ancaman itu? Sekali lagi, yakinlah, mengakui bahasa asing sebagai ancaman telah membawa kita pada pengastaan bahasa. Karena bahasa kita terancam, jangan-jangan terjajah, tentu saja dia ada pada kasta inferior dan bahasa asing sebagai bahasa superior. Benarkah bahasa kita inferior dan terjajah?
Saya jadi teringat pada Jepang yang pernah mengisolasi dirinya. Mereka saat itu berpandangan bahwa segala bentuk yang bukan dari Jepang merupakan ancaman dan tidak boleh diterima. Alih-alih maju, mereka saat itu malah terpuruk sebelum akhirnya direstorasi Meiji. Apa hikmah yang dapat kita petik? Benar, ternyata apa yang berasal dari luar bukan melulu ancaman. Dia bahkan merupakan suplemen terhadap nutrisi yang kini kita miliki. Dia hanya akan benar-benar menjadi ancaman kalau kita menggantikannya dengan apa yang ada pada kita. Misalnya, kalau kita benar-benar menggantikan kata unduh dengan download.
Dia pun akan menjadi ancaman jika suplemen itu tidak kita orkestrasi sebagai penambah terhadap nutrisi yang kini kita miliki. Sebagai misal, kalau kita bersikeras untuk tidak menerima kata komputer pada bahasa kita. Maka, jika nutirisi yang kini kita miliki tidak kita tambahi, niscaya dia akan rapuh yang kemudian roboh. Di sinilah kegelisahan kita menemui wujudnya, yaitu bahasa asing telah benar-benar menjajah, bukan lagi sekadar mengancam. Ironisnya, kitalah sebagai tersangkanya. Kita dalam hal ini seperti monyet yang mencintai ikan. Takut ikannya kedinginan, kita menghangatkannya di luar air. Ikan itu pun terkapar.
Maka kini, di tengah bulan bahasa, di tengah globalisasi, di tengah derasnya teknologi, marilah kita bersikap bijak! Fokuslah pada penguatan fondasi bahasa, bukan pada pengamanan bahasa! Posisikan bahasa kita sebagai yang mandiri, bukan yang terancam. Terbukalah terhadap bahasa asing dengan filter yang terstruktur dan terukur. Ingat, andai kita dari dulu tidak terbuka, niscaya bahasa kita sampai kini tidak jauh berbeda dengan bahasa Melayu kuno. Singkatnya, mari memaknai bulan bahasa ini dengan hati terbuka, jangan tertutup. Jika akhirnya kita tertutup, saya yakin, bulan bahasa ini hanya perayaan basa-basi yang sia-sia. Untuk apa kita merayakan bulan bahasa kalau kita hanyalah monyet yang mencintai ikan? Bukankah nantinya kita akan terkapar dan terbakar melihat ikan kita yang menjadi bangkai? ***
* Penulis adalah pendidik, Konsultan Bahasa, dan Pegiat Sastra dan Budaya di Medan

0 comments: