PNS dan Opini yang Berubah
|
Saya benar-benar tidak mau membandingkan negara kita dengan AS, Jerman, Perancis, dan negara beken lainnya sebab hasilnya tidak akan enak didengar. Di atas itu, rasanya pun tak perlu terlalu mengutuki mengapa para pemuda di negara-negara itu memiliki keinginan dan motif yang berbeda dengan kita. Barangkali, kulturnya sudah berbeda sehingga cara pikirnya pun berbeda pula. Sekadar menyebut contoh, misalnya, bagi mereka alam adalah bahan eksplorasi, tetapi bagi kita alam itu memiliki kekuatan magis. Sebagai hasilnya, kita tidak mau mengeksplorasi alam beserta kekuatannya. Itulah kemudian yang menjadi alasan sehingga kita "memanggil" investor asing beserta para pemikirnya untuk bekerja di sini. Maka, sekali lagi, jadilah - sekadar menyebut nama - Freeport, Chevron, Kalteks, dulunya Inalum menjadi laboratorium nyata. Kita? Ya, duduk tenang sembari melihatnya dari tempat jauh entah mungkin karena takut tergulung daya magis alam.
|
Harus ditegaskan sekali lagi bahwa kita tidak perlu mengutukinya. Selain karena tidak enak didengar, kita pun bisa-bisa nantinya mengumpat dan meratapi nasib sehingga kita tergulung di dalamnya. Hal itu karena kita memang terkesan mencintai nasib begitu saja. Bagi kita, suratan takdir menjadi segalanya.
Celakanya, cara pandang inilah yang kelak menggulung kita dalam balutan tempurung. Seperti katak, kita tidak dapat melihat ke alam luas. Orang lain sudah pada sibuk bereksperimen di luar angkasa, tetapi kita masih larut dalam balutan nasib yang tunduk pada daya magis alam. Orang lain sudah pada sibuk dengan pemantapan kurikulum, kita malah sibuk gonta-ganti kurikulum.
Negeri Agung
Padahal, apabila dilihat dari sudut alam dan demografi, Indonesia sangat layak disebut sebagai negeri kolam susu. Bahkan, konon katanya negara kolonial datang ke Indonesia dengan taruhan harus melawan badai demi meraup keberuntungan. Artinya, negeri kita penuh dengan keberuntungan. Catat, keberuntungan jangan disamakan dengan kebetulan. Jangan pula terjemahkan keberuntungan sebagai nasib, apalagi mencintai nasib. Nasib bukan untuk dicintai. Bila pun nasib itu, misalnya, benar-benar ada, dia harus diubah untuk menjadi lebih baik. Bagaimana caranya?
William Shakespeare pernah menuliskan, sebagian orang terlahir agung, sebagian lain mencapai keagungan, sedangkan sisanya memiliki kepercayaan agung pada mereka. Kita bagian yang mana?
Percayalah, dulunya kita sudah berada pada taraf yang pertama, tetapi karena terlalu lama di zona nyaman yang sebenarnya sudah tidak nyaman lagi kita malah berada pada taraf yang ketiga. Terlalu PD, begitu bahasa gaulnya. Jujur, saya lebih senang mendengar apabila kita berada pada tahap yang kedua karena di sana, kita dikondisikan sebagai orang yang masih kosong. Karena masih kosong, tentu kita berusaha untuk memenuhi kekosongan itu. Artinya, kita berjuang, bukan menunggu, apalagi meratapi nasib. Bagaimana itu terjadi?
Suatu ketika, saya pernah diskusi dengan Felix Sitorus - penulis yang sering nongol di Jawa Pos. Beliau mengatakan kira-kira begini, kalau ingin maju posisikan dirimu sebagai orang yang "berkepala kosong, tetapi pikiran harus terbuka". Artinya, kita harus memosisikan diri sebagai orang yang ingin mencapai keagungan dan harus terus haus pada keagungan. Saya tidak mau mengatakan, ayo, jangan bersyukur! Justru sebaliknya, bersyukur, bersyukur, dan bersyukurlah karena pikiran kita tidak akan pernah penuh. Dia tidak terbatasi. Kitalah yang membatasinya dengan kemalasan karena menggantungkan diri pada keberuntungan.
Anda tahu kisah David dan Goliath? Saya tidak akan menceritakan itu di sini. Hanya saja, jika dikomparasikan dengan kita, Goliath itu adalah kita. Seperti Goliat, begitulah kita yang pada prinsipnya sudah mempunyai segala keagungan. Tetapi, Anda pasti tahu, keagungan ternyata bisa memudar betapapun itu sudah terlahir bersama kita. Maka, seperti Goliath yang terlalu menganggap remeh, kita pun terhunjam ditumbangkan David yang mungil. Kita sekonyong-konyong tersadar bahwa mungil bukan selamanya menjadi lambang kelemahan. Justru sebaliknya, dia gesit sementara kita yang gemuk justru kepayahan. Lihat, Singapura dan Swiss yang sangat kecil dibandingkan dengan Indonesia, siapa yang lebih maju? Silakan jawab dengan hati terbuka yang lalu tergugah!
Lalu, apa relevannya dengan Indonesia dan apa yang boleh kita petik dari kisah ini? Memanfaatkan keberuntungan, iya, sesederhana itu! David yang secara fisik tidak beruntung saja, misalnya, dapat memanfaatkan ketidakberuntungannya menjadi sebuah keberuntungan. Apakah kita yang sudah beruntung lantaran sudah bersenjata lengkap seperti Goliath tidak dapat meningkatkan keberuntungan kita secara progresif?
Keluar dari Zona Nyaman
Sekali lagi, percayalah, kita ini negeri beruntung. Ada bonus wilayah dan jutaan manusia berumur produktif. Sejatinya mereka bukan beban, terutama kalau mereka kreatif. Celakanya, kita masih malas.
Karakter Goliath masih saja memagut. Seperti kata William Shakespeare, kita ini sudah terlahir dengan keagungan yang walaupun malah memojokkannya dalam rengkuhan kemalasan. Maka, lihatlah mahasiswa kita yang sekolah tinggi-tinggi justru mengabdikan dirinya sebagai PNS. Saya tidak keberatan dengan predikat PNS itu. Hanya saja, ada kecenderungan para sarjana kita ini ngebet jadi PNS demi kenyamanan kerja, sulit atau bahkan tidak bisa dipecat. Artinya, mereka bekerja untuk santai dan nyaman. Tidak berani keluar dari zona nyaman, begitu para motivator menarasikannya. Apakah karakter seperti ini relevan untuk mencari keagungan yang sudah lenyap?
Yakinlah, kita tidak melarang para cendekiawan untuk mengabdi kepada negara melalui PNS. Yang perlu kita kritisi, apakah motivasi mereka demi melayani atau malah dilayani? Pertanyaan ini barangkali nyeleneh, tetapi hal itu membongkar kenyataan. Saya tidak mengatakan semua PNS bermasalah, tetapi sebagian besar dari mereka bermasalah, bahkan membuat masalah.
Ilustrasinya begini: para abdi negara kita datang ke lokasi pukul 08.00. Setelah itu, mengopi dan sarapan di kantin hingga dua jam. Pukul 10.00, mereka datang ke kantor sambil megoperasikan laptop dan mencari atau bahkan men-download game. Ada tamu dilayani begitu saja. Pukul 12.00, mereka istirahat.
Kalau mereka bukan guru, mereka akan kembali masuk ke kantor puku 14.00, itu pun kalau benar-benar kembali. Di sana, mereka kembali mengoperasikan laptop. Akhirnya, 15 menit sebelum waktu pulang tiba, mereka sudah uring-uringan untuk segera pulang. Bukankah ini menimbulkan masalah? Inikah PNS yang bersekolah tinggi itu? Percayalah, kalau skema ini benar, PNS dan kaum terdidik bangsa ini hanya membuat masalah, padahal sejatinya mereka harus menjadi bagian dari solusi dalam berbagai masalah di negeri ini.
(Oleh: Riduan Situmorang) Penulis seorang pendidik, konsultan bahasa, serta pegiat sastra dan budaya di Medan |
0 comments:
Post a Comment