Monday, 13 October 2014

Bagaimana Munir di Tangan Jokowi-JK?

Bagaimana Munir di Tangan Jokowi-JK?
KISAH Said Munir Thalib atau lebih dikenal dengan sapaan Munirmasih saja diselubungi kabut misteri. Ibarat menelusuri bagaimana dinosaurus akhirnya punah, begitulah kisah Munir. Bedanya, kisah dinosaurus punah karena tidak ada saksi hidup, sedangkan kisahMunir punah karena enggannya saksi untuk hidup. Logikanya sederhana sekali, tidak mungkin Munir tidak dibunuh. Fakta-fakta sudah banyak mengarah ke situ.
Lebih jauh, tidak mungkin sang pembunuh tidak tahu alasan mengapa dia membunuh. Barangkali, seperti kisah-kisah konspiratif yang sering kita tonton di film, sang pembunuh kini diancam atau dikunci mulutnya dengan berbagai bonus dan guyuran fee. Taktiknya seperti intimidasi lunak, berikan ancaman sekaligus tawaran.

Anda tahu film James Bond? Di sana banyak diperagakan ancaman sekaligus tawaran yang seperti itu juga. Tentu saja secara universal film itu sangat berkesan dan sangat menyenangkan. Bahkan bagi orang Inggris film itu merupakan lambang kebanggaan Inggris. Tentu saja bagi kita yang menarik bukan masalah bagaimana tingginya rasa nasionalisme Inggris, tetapi bagaimana tokoh James Bond pada akhirnya selalu menyelamatkan aset negara dari berbagai serangan. Dia benar-benar menjadi pahlawan yang tidak mau negaranya surut karena kekacauan.

James Bond dan Detektif Conan
Sama halnya dengan James Bond, Detektif Conan pun kurang lebih membicarakan hal sama. Lantas, apa relevansinya dengan kisah Munir? Bukankah Munir merupakan kisah nyata, sementara Detektif Conan dan James Bond hanya fiksi? Bukankah pula apa yang dipecahkan James Bond dan Detektif Conan hal berbeda dengan apa yang akan dipecahkan negara terhadap teka-teki Munir?
Betul, mereka adalah kisah yang sangat berbeda. Tokoh dan teknologinya saja sudah berbeda. Tetapi, jika negara benar-benar tidak mau melempar batu sembunyi tangan, saya yakin kisah Munir tidak seribet masalah yang dihadapi James Bond dan Detektif Conan. Saya yakin pula, kisah ini tidak akan sampai setua ini: sepuluh tahun seakan tanpa jejak. Lantas, apa kini yang kita dapatkan setelah usia sepuluh tahun?
Sadarlah, setelah sepuluh tahun, dipastikan karakter mereka yang terlibat "pembantaian" Munir sudah berbeda. Mereka yang dulu gendut barangkali kini sudah kurus. Atau, mereka yang dulu bugar barangkali sudah mulai oleng. Bisa saja daya nalar dan ingatannya yang dulu masih kuat sekarang malah lemot atau sengaja pura-pura dilemotkan. Atau, jangan-jangan beberapa dari mereka kini sudah tiada.

Dengan begitu, kumpulan informasi yang sejatinya bisa diperoleh pun tiada juga. Tidak terbayangkan, sepuluh tahun ke depan mereka yang dulu ikut berpartisipasi "membantai" sudah akan tiada pula. Apabila skema ini terjadi, seperti Supersemar yang masih samar-samar, kisah Munir pun akan selamanya menjadi misteri samar yang kelak menjadi pudar. Sekali lagi, andai skema ini benar, yang bisa dituai hanya kekejaman negara yang mencoba menghilangkan jejak sejarah.

Munir memang Munir. Tetapi percayalah, Munir bukan semata Said Munir Thalib. Di baliknya, ada tubuh dan nyawa yang meregang. Munir pun bukan semata suami dari Suciwati, bukan pula sekadar ayah dari Alif dan Diva. Jadi, seperti kata Al Araf dalam tulisannya "Intelijen, Munir, dan Jokowi" (Kompas, 8/9/2014), pembunuhan terhadap Munir bukan sekadar pembunuhan abah dari Alif dan Diva, melainkan tindakan amoral yang mencederai kehidupan politik yang demokratis.

Maka, kasusnya tentu harus dan harusnya menjadi agenda prioritas di antara yang prioritas. Benar, barangkali kisah Munir penuh dengan kelam dan bercak-bercak sejarah. Lantas, pantaskah bercak-bercak sejarah itu dicuci dengan darah-darah anak bangsa? Pantaskah sejarah juga disimpangsiurkan oleh hanya karena alasan kekelaman kisah? Pantaskah negara berdiam diri membiarkan rakyat menanti-nanti keterangan sejarah? Percayalah, sekali saja dibuka keran untuk menenggelamkan kisah, sebenarnya sudah membuka peluang menenggelamkan kisah untuk kedua kali, ketiga kali dan selanjutnya. Artinya, tidak ada toleransi bagi siapa pun, termasuk negara, untuk menenggelamkan sejarah. Semuanya harus serba terbuka. Nelson Mandela mengatakan, We Forgive, but not forgotten.

Peran Heroik dan Protagonis
Nah, atas dasar itulah kemudian pemerintah Jokowi-JK didesak agar sesegera mungkin mengusutnya. Tidak cukup sebatas agenda prioritas, tetapi juga harus menjadi target. Buat jadwal yang tetap, kapan harus memulai, mendalami dan mengkahirinya dengan terang. Saya yakin, kisah ini tidak seribet kisah James Bond dan Detektif Conan. Hanya butuh kejernihan hati untuk menuntaskannya.
Di atas segalanya, saya yakin pula, Jokowi-JK sosok yang mendengar rakyat.
Memang ada keraguan dan kekecewaan ketika pada akhirnya tim ini malah menempatkan Hendro Priyono sebagai "orang penting" di Rumah Transisi.

Padahal, Hendro Priyono merupakan sosok yang masih aktif di BIN ketika Munir "dibantai" secara keji di Pesawat Garuda dan ditengarai ada keterkaitan BIN pada kisah Munir. Kekecewaan ini bukan tidak beralasan. Akan tetapi hal yang sama juga perlu digemakan, yaitu pengharapan pada tim ini juga sesuatu yang merupakan bukan tanpa alasan dan dasar.

Maka, setelah 10 tahun berlalu, setelah menjelang 17 tahun reformasi bergulir, diharap untuk lima tahun ke depan kisah Munir bukan lagi sesuatu yang tabu dibuka. Ibarat James Bond dan Detektif Conan, Jokowi-JK ditempatkan menjadi pemeran yang heroik dan protagonis. Percayalah, kasus ini tidak seribet film-film fiksi, hanya butuh kejernihan hati untuk membukanya. Lagipula, suara yang dulu digaungkan Munir bukanlah suara sumbang, melainkan suara kritis. Suara-suara kritis bukanlah ancaman keamanan nasional, melainkan kekayaan pemikiran yang menghidupkan politik itu sendiri.

Sekarang, apakah Jokowi-JK bisa berperan tidak usah setangguh James Bond dan Detektif Conan, tetapi cukup dengan kejernihan hati untuk mau terbuka? Apalagi hal ini bukan sekadar atas nama bangsa, tetapi juga atas nama kemanusiaan, kehidupan dan keterbukaan sejarah!. (oleh: Riduan Situmorang)

Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan

0 comments: