Apa Itu In(t)ertia?
Oleh: Riduan Situmorang
Pada 10 Agustus 2014 lalu, Sartika Sari (SS) menuliskan Sastra dan Para Intertia di kolom Rebana harian ini. Semula, saya pikir Sartika akan membahas sastra dan intertia. Setelah saya baca, ternyata dalam tubuh bacaan, kita tidak menemukan satu kata pun tentang intertia, kecuali inertia. Saya sebelumnya rada tertarik membaca ulasan ini, apalagi sebelumnya saya tidak pernah mendengar apa-apa pun tentang inertia dan intertia.
Karena itu, saya akhirnya membuka KBBI. Celakanya, di sana, saya sama sekali tidak menemukan kata intertia dan inertia. Takut KBBI sudah usang, saya kemudian membuka KBBI versi online. Tetap saja kedua kata itu tidak ada. Sampai di sini, saya sudah bingung, karena tidak tahu mencari kemana lagi.
Saya kutip sedikit tulisan Sartika di sini. Barangkali kutipan ini dapat mengantarkan kita dari kegelapan makna, menuju keterangan. Setidaknya, melalui kutipan ini kita dapat menerka.
Tersesat dalam Kegelapan
Inertia, percaya atau tidak telah menjadi fenomena ‘langganan’ tiap masa dalam peta perjalanan kesusastraan Indonesia. Terlepas dari bagaimana persoalan kuantitas dan kualitasnya, inertia tetaplah bagian penting, senantiasa menjadi pembicaraan para kritikus, pemerhati dan pelaku sastra. Sebab, hal yang tak dapat dipungkiri pula, kemunculan sosok-sosok ‘serius’ dan konsisten bersastra adalah bagian dari mereka, berjalan beriringan dalam periode yang sama. Seperti yang pernah diungkapkan Budi Dharma, di antara yang terjangkit inertia itu, memiliki keinginan, tetapi malas bertindak untuk mencapai keinginan tersebut. Kemauan yang kuat, apalagi disiplin kerja, tidak mereka miliki. Mereka pun mati sebelum menjadi penulis yang benar-benar penulis.
Jika makna adalah hal yang ditelusuri dari timbunan-timbunan pohon kegelapan, -maka dalam hal ini-, barangkali kita sedang tersesat di dalam hutan kegelapan itu. Di dalam kegelapan ini, kita tentu butuh senter penerang, dalam hal ini yang relevan adalah KBBI.
Kita akan kelimpungan ketika senter itu tidak berfungsi. Cara yang mungkin dapat kita gunakan untuk menebas pohon-pohon kegelapan itu adalah menebas kegelapan dengan menggunakan logika dan insting. Tentu, muaranya hanya akan berujung pada dua hal: berhasil atau malah makin tersesat lagi. Begitupun, lebih baik bergerak menebas kegelapan daripada ditimpa kegelapan itu sendiri.
Baik, mari menebas kegelapan ini. Di atas, sudah saya kutip beberapa pedoman yang barangkali dapat mengantar kita pada keterangan. Kalimat kuncinya adalah seperti yang pernah diungkapkan Budi Dharma, di antara yang terjangkit inertia itu, memiliki keinginan, tetapi malas bertindak untuk mencapai keinginan tersebut. Percayalah, kita mungkin akan tersesat, tapi mari mencoba bergerak.
Berangkat dari kalimat itu -karena sama sekali tidak ada kata intertia dan inertia di KBBI- kita dapat mengategorikan yang inertia adalah mereka yang mempunyai cita-cita tinggi, tetapi kemauan tidak ada. Mereka hanya butuh senang yang lalu terlelap dalam mimpi kesenangan itu.
Mungkin, dalam hal dunia pertelevisian, mereka ini dapat dikategorikan sebagai artis yang ngebet terkenal, tetapi hanya bekerja di balik layar. Masih dalam konteks yang sama, jika kita lihat dari kemiripan kata, barangkali intertia itu adalah adalah entertain.
Lebih lanjut, mari kita perhatikan kutipan berikut! Mereka berasal dari latar belakang berbeda-beda, tetapi dipertemukan dalam dunia maya. Begitu pun dengan karya sastra. Kemudian mereka turut ambil bagian dan mengukir jejak lewat tulisan-lalu sering dinamai karya sastra. Melalui tulisan, umumnya puisi, para pengguna media sosial berlomba-lomba mengungkapkan keakuannya. Berbagai hal yang menyangkut kepribadian pun kerap jadi trend topic. Kebiasaan itu lambat laun membentuk sebuah paradigma berpikir dan identitas baru perihal sastra dan karyanya.
Konon, perilaku seperti inilah yang membuat pengidap inertia makin banyak. Saya tidak tahu apa dasar dugaan ini. Sartika Sari mengatakan, perilaku inilah yang kemudian membuat masyarakat secara gegabah “mengobrak-abrik” eksistensi puisi.
Sartika Sari mengatakan, Bagaimana pun ‘sosok’nya, asal telah disusun dari kata-kata yang membentuk bait, bermajas dan berisi ungkapan perasaan penulisnya, dianggap telah menjadi puisi. Hal ini tentu bertentangan dengan aksioma Herta Muller.
Imitasi Sastra
Adapun Herta Muller merupakan seorang, penyair, novelis, esais dan peraih hadiah nobel sastra pada tahun 2009. Dia pernah mengatakan, menulis puisi bukanlah kegiatan merangkai bahasa atau alat-alat kepuitikan semata.
Bahasa yang lahir menjadi puisi pada dasarnya adalah representasi penghayatan dan pengalaman penyair akan dunia kehidupan. Menulis puisi bukan semata-mata merupakan keterampilan mengotak-atik bahasa.
Berangkat dari uraian singkat ini, secara naluri dan logika, kita dapat menebak bahwa para pengidap inertia ini adalah mereka yang belum mengerti tentang puisi, tetapi mereka sudah malah mengobrak-abriknya. Hal ini diperbuat sebagai peneguhan diri bahwa pada dasarnya mereka pun dapat disamakan dengan sastrawan-sastrawan lainnya.
Bagi mereka, puisi hanya sekadar kumpulan kata-kata bagus yang diasupi lagi dengan gejala dan gaya bahasa. Padahal, puisi itu bukan tentang kata-kata. Puisi itu mengantarkan pesan. Bahasa hanyalah alat pengantar pesan. Jadi, inti sari puisi itu bukan terletak pada keindahan kata-kata, melainkan pada kemampuan kata-kata itu untuk mengantarkan pesan yang sesungguhnya.
Dalam hal inilah saya mencoba menebak -masih dalam kegelapan pepohonan makna- bahwa pengidap inertia ini merupakan pelaku imitasi puisi. Sebagai hasilnya, puisi yang dihasilkan pun hanya imitasi. Bahkan, puisi dan orangnya dapat pula diparalelkan dengan imitasi juga.
Karena kita masih menebak di timbunan pepohonan kegelapan, ada baiknya kita masih mendapatkan informasi dari Sartika Sari sebagai penulisnya. Bagaimanapun, informasi dan pengertian yang terang sesungguhnya masih berada pada nalar dan akal sehat si penulis. Karena itu, mari kita sisipkan pertanyaan ini supaya kita tidak berjalan dalam kegelapan, Saudara Sartika Sari, apa itu in(t)ertia?
Penulis Peminat Sastra dan Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten, Medan
0 comments:
Post a Comment