Saturday, 9 August 2014

Salam Tiga Jari!

Salam Tiga Jari!

Pilpres telah usai. Segala keletihan bahkan sikap fanatisme kita terhadap salah satu pasangan capres-cawapres pun sudah harus berujung. Tidak ada lagi salam satu jari, bahkan salam dua jari, yang walaupun pada akhirnya KPU telah meresmikan salam dua jari sebagai pemenang. Artinya, kita menjadi terbebani secara moral untuk kembali menggaungkan rekonsiliasi nasional demi keutuhan bangsa. Jangan hanya karena Pilpres yang hanya sehari saja, kita malah menumbalkan rasa persaudaraan bangsa untuk lima tahun ke depan.
Maka, kita beri apresiasi positif kepada mereka yang dengan sukarela mengampanyekan semboyan baru, yaitu salam tiga jari. Salam ini menjadi ide baru untuk merekonstruksi segala tindakan kita yang selama ini terkesan emosional-konfrontatif menjadi rasional-konstruktif.
Tanpa mendahului apa-apa saja maksud ide kampanye salam tiga jari ini, baiklah saya coba memaknai sebagian dari simbol-simbol tersembunyi tersebut. Nah, dalam perspektif bahasa, kita bisa saja menerjemahkan kata per kata yang membangun frase ini.
Akumulasi Kekuatan
Pertama, ada kata salam. Salam menjadi identik dengan lambang perdamaian. Segala pertikaian pasti akan berujung pada perdamaian. Dan, perdamaian itu akan disakralkan dan dilambangkan dengan sebuah salam yang dijabatkan dengan tangan oleh mereka yang dulunya bertikai. Mereka menjadi bersentuhan secara sadar yang sebelumnya bersentuhan secara gontok-gontokan dengan kepal-kepal tinju. Artinya, salam menjadi awal untuk kembali merajut perdamaian untuk perkembangan masing-masing pihak, baik bagi mereka yang sebelumnya terkondisikan sebagai saingan maupun sebagai kawan.
Kedua, ada frase tiga jari. Frase ini bisa diterjemahkan dalam berbagai bentuk. Satu dan dua jari, misalnya, jika dilihat dengan mata telanjang akan lebih banyak mengarah kepada si personal penunjuk. Akan tetapi, dengan mengacungkan tiga jari, dua jari akan terarah pada personal penunjuk sementara tiga jari lainnya mengarah ke luar diri si penunjuk. Hal ini dapat saja didefinisikan sebagai mobilitas dari egosentrisme mengarah pada universalisme. Turunan langsungnya tentu paralel dengan sikap korup yang selama ini kita saksikan akan berubah menjadi sikap berbagi, terutama oleh para birokrat-birokrat kita yang akan duduk di singgasana pelayanan.
Di sisi lain, tiga jari ini juga dapat dilekatkan dengan simbol musik metal. Kita sama-sama tahu bahwa metal merupakan salah satu genre musik yang sering diasosiasikan dengan karakter keras. Kiranya, karakter keras inilah yang kemudian dapat dinarasikan menjadi karakter bangsa untuk tetap teguh, bahkan bermental baja untuk kelak meraih kemaslahatan bersama. Hanya saja, jangan sampai disalahartikan, apalagi disalahfungsikan menjadi sosok bersikap keras. Jangan pula didefinisikan secara serampangan menjadi ibarat legitimasi dari pembudayaan kekerasan terhadap sesama.
Lalu, dalam konteks Pilpres yang baru saja kita hajatkan, angka tiga ini pun dapat diterjemahkan sebagai akumulasi kekuatan dari kedua kubu, yaitu satu (Prabowo-Hatta) dan dua (Jokowi-JK). Langkah ini menjadi terobosan bijak untuk kembali menautkan keutuhan bangsa yang pernah hampir tercabik-cabik, bahkan terpisah dalam friksi-friksi yang kita pun kurang menyadarinya. Pada gilirannya, salam ini menjadi sarana bagi kita untuk kembali bersatu tanpa mengabaikan sikap kritis kepada mereka yang memperoleh kesempatan untuk memilih.
Jelas saja bahwa keberatan atas pelanggaran bukan menjadi aib, bahkan hal itu justru merupakan keharusan sebagai upaya evaluatif untuk mendewasakan demokrasi. Tetapi, tentu saja bahasa keberatan tidak boleh disamaartikan dengan penolakan, apalagi penolakan terhadap pembangunan bangsa secara bahu-membahu. Akan halnya karena keberatan, misalnya, menjadi mengulang pemilihan di beberapa daerah, hal itu mari kita anggap wajar sebagai dampak langsung bahwa penyelanggara Pemilu pun tidak tertutup untuk memperbaiki kekurangan yang barangkali luput dari perhatian. Yang pasti, menolak hasil Pilpres, apalagi menarik diri dari usaha untuk membangun bangsa adalah langkah-langkah tidak terpuji karena itu bukanlah karakter negarawan, kecuali dia mengaku negarawan.
Terletak pada yang Kalah
Saya mengatakan begini, pihak yang menang harus disokong yang kalah dan pihak yang kebetulan kalah harus diajak yang menang. Bagaimanapun, alasan mereka sebelum bertarung dalam bursa capres-cawapres tidak lain dan tidak bukan adalah semata untuk mengabdikan pemikiran, kekuatan, materi, bahkan hidup-mati untuk negara. Artinya, pihak yang kalah harusnya tidak punya alasan untuk tidak membangun bangsa. Pihak yang kebetulan menang pun tidak dibenarkan mengucilkan mereka yang kalah.
Singkatnya, kedua pihak sama-sama berperan untuk membangun bangsa dan mendewasakan demokrasi. Hanya, peran mereka saja yang mungkin berbeda. Yang kalah mendukung dan mengawasi yang menang, sementara yang menang menjalankan apa-apa saja yang telah dijanjikan semasa kampanye. Bila perlu, yang kalah justru bisa menyumbangkan ide dan visi yang dicoba dijual melalui kampanye kepada mereka yang terpilih. Dari situ kelak kita ketahui bahwa begitu berartinya posisi mereka yang berada pada kondisi kalah, terutama mereka yang mengakui kekalahannya.
Coba bayangkan apabila kemudian yang kalah tidak menerima yang menang atau malah ngotot, apakah demokrasi akan berjalan pada koridornya? Tidak! Artinya, kedewasaan demokrasi sebenarnya justru terletak pada sikap pihak yang kalah, yaitu ketika mereka berhasil menunjukkan sikap kenegarawanan yang lalu mendukung yang menang untuk membangun bangsa.
Akhirnya, marilah sama-sama menggaungkan salam tiga jari. Lupakan salam-salam kampanye. Presiden kita sudah terpilih, yaitu Presiden Indonesia untuk keseluruhan bangsa, termasuk mereka yang tidak memilih presiden terpilih. Ingat, angka tiga bukan saja merupakan akumulasi kekuatan dari kedua pihak, bukan saja lambang keteguhan prinsip. Angka tiga ini juga menjadi aspek yang hakiki yang tidak secara kebetulan terpatri pada sila ketiga Pancasila kita, yaitu persatuan Indonesia.
Ingatlah, tidak ada yang kebetulan. Semua serba mengarah pada perbaikan. Barangkali, kita yang tidak jeli membaca simbol-simbol yang sejatinya dapat kita orkestrasi sebagai materi kuat untuk mendirikan bangsa pada fondasi yang kuat pula. Salam tiga jari!l
(Oleh: RIDUAN SITUMORANG, Penulis ialah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, Sastrawan, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed)

0 comments: