Salam Tiga Jari!
|
Pilpres telah
usai. Segala keletihan bahkan sikap fanatisme kita terhadap salah satu
pasangan capres-cawapres pun sudah harus berujung. Tidak ada lagi salam
satu jari, bahkan salam dua jari, yang walaupun pada akhirnya KPU telah
meresmikan salam dua jari sebagai pemenang. Artinya, kita menjadi
terbebani secara moral untuk kembali menggaungkan rekonsiliasi nasional
demi keutuhan bangsa. Jangan hanya karena Pilpres yang hanya sehari
saja, kita malah menumbalkan rasa persaudaraan bangsa untuk lima tahun
ke depan.
|
Maka, kita beri apresiasi positif kepada mereka yang
dengan sukarela mengampanyekan semboyan baru, yaitu salam tiga jari.
Salam ini menjadi ide baru untuk merekonstruksi segala tindakan kita
yang selama ini terkesan emosional-konfrontatif menjadi
rasional-konstruktif.
Tanpa mendahului apa-apa saja maksud ide
kampanye salam tiga jari ini, baiklah saya coba memaknai sebagian dari
simbol-simbol tersembunyi tersebut. Nah, dalam perspektif bahasa, kita
bisa saja menerjemahkan kata per kata yang membangun frase ini.
Akumulasi Kekuatan
Pertama,
ada kata salam. Salam menjadi identik dengan lambang perdamaian. Segala
pertikaian pasti akan berujung pada perdamaian. Dan, perdamaian itu
akan disakralkan dan dilambangkan dengan sebuah salam yang dijabatkan
dengan tangan oleh mereka yang dulunya bertikai. Mereka menjadi
bersentuhan secara sadar yang sebelumnya bersentuhan secara
gontok-gontokan dengan kepal-kepal tinju. Artinya, salam menjadi awal
untuk kembali merajut perdamaian untuk perkembangan masing-masing pihak,
baik bagi mereka yang sebelumnya terkondisikan sebagai saingan maupun
sebagai kawan.
Kedua, ada frase tiga jari. Frase ini bisa
diterjemahkan dalam berbagai bentuk. Satu dan dua jari, misalnya, jika
dilihat dengan mata telanjang akan lebih banyak mengarah kepada si
personal penunjuk. Akan tetapi, dengan mengacungkan tiga jari, dua jari
akan terarah pada personal penunjuk sementara tiga jari lainnya mengarah
ke luar diri si penunjuk. Hal ini dapat saja didefinisikan sebagai
mobilitas dari egosentrisme mengarah pada universalisme. Turunan
langsungnya tentu paralel dengan sikap korup yang selama ini kita
saksikan akan berubah menjadi sikap berbagi, terutama oleh para
birokrat-birokrat kita yang akan duduk di singgasana pelayanan.
Di
sisi lain, tiga jari ini juga dapat dilekatkan dengan simbol musik
metal. Kita sama-sama tahu bahwa metal merupakan salah satu genre musik
yang sering diasosiasikan dengan karakter keras. Kiranya, karakter keras
inilah yang kemudian dapat dinarasikan menjadi karakter bangsa untuk
tetap teguh, bahkan bermental baja untuk kelak meraih kemaslahatan
bersama. Hanya saja, jangan sampai disalahartikan, apalagi
disalahfungsikan menjadi sosok bersikap keras. Jangan pula didefinisikan
secara serampangan menjadi ibarat legitimasi dari pembudayaan kekerasan
terhadap sesama.
Lalu, dalam konteks Pilpres yang baru saja kita
hajatkan, angka tiga ini pun dapat diterjemahkan sebagai akumulasi
kekuatan dari kedua kubu, yaitu satu (Prabowo-Hatta) dan dua
(Jokowi-JK). Langkah ini menjadi terobosan bijak untuk kembali menautkan
keutuhan bangsa yang pernah hampir tercabik-cabik, bahkan terpisah
dalam friksi-friksi yang kita pun kurang menyadarinya. Pada gilirannya,
salam ini menjadi sarana bagi kita untuk kembali bersatu tanpa
mengabaikan sikap kritis kepada mereka yang memperoleh kesempatan untuk
memilih.
Jelas saja bahwa keberatan atas pelanggaran bukan
menjadi aib, bahkan hal itu justru merupakan keharusan sebagai upaya
evaluatif untuk mendewasakan demokrasi. Tetapi, tentu saja bahasa
keberatan tidak boleh disamaartikan dengan penolakan, apalagi penolakan
terhadap pembangunan bangsa secara bahu-membahu. Akan halnya karena
keberatan, misalnya, menjadi mengulang pemilihan di beberapa daerah, hal
itu mari kita anggap wajar sebagai dampak langsung bahwa penyelanggara
Pemilu pun tidak tertutup untuk memperbaiki kekurangan yang barangkali
luput dari perhatian. Yang pasti, menolak hasil Pilpres, apalagi menarik
diri dari usaha untuk membangun bangsa adalah langkah-langkah tidak
terpuji karena itu bukanlah karakter negarawan, kecuali dia mengaku
negarawan.
Terletak pada yang Kalah
Saya mengatakan
begini, pihak yang menang harus disokong yang kalah dan pihak yang
kebetulan kalah harus diajak yang menang. Bagaimanapun, alasan mereka
sebelum bertarung dalam bursa capres-cawapres tidak lain dan tidak bukan
adalah semata untuk mengabdikan pemikiran, kekuatan, materi, bahkan
hidup-mati untuk negara. Artinya, pihak yang kalah harusnya tidak punya
alasan untuk tidak membangun bangsa. Pihak yang kebetulan menang pun
tidak dibenarkan mengucilkan mereka yang kalah.
Singkatnya, kedua
pihak sama-sama berperan untuk membangun bangsa dan mendewasakan
demokrasi. Hanya, peran mereka saja yang mungkin berbeda. Yang kalah
mendukung dan mengawasi yang menang, sementara yang menang menjalankan
apa-apa saja yang telah dijanjikan semasa kampanye. Bila perlu, yang
kalah justru bisa menyumbangkan ide dan visi yang dicoba dijual melalui
kampanye kepada mereka yang terpilih. Dari situ kelak kita ketahui bahwa
begitu berartinya posisi mereka yang berada pada kondisi kalah,
terutama mereka yang mengakui kekalahannya.
Coba bayangkan
apabila kemudian yang kalah tidak menerima yang menang atau malah
ngotot, apakah demokrasi akan berjalan pada koridornya? Tidak! Artinya,
kedewasaan demokrasi sebenarnya justru terletak pada sikap pihak yang
kalah, yaitu ketika mereka berhasil menunjukkan sikap kenegarawanan yang
lalu mendukung yang menang untuk membangun bangsa.
Akhirnya,
marilah sama-sama menggaungkan salam tiga jari. Lupakan salam-salam
kampanye. Presiden kita sudah terpilih, yaitu Presiden Indonesia untuk
keseluruhan bangsa, termasuk mereka yang tidak memilih presiden
terpilih. Ingat, angka tiga bukan saja merupakan akumulasi kekuatan dari
kedua pihak, bukan saja lambang keteguhan prinsip. Angka tiga ini juga
menjadi aspek yang hakiki yang tidak secara kebetulan terpatri pada sila
ketiga Pancasila kita, yaitu persatuan Indonesia.
Ingatlah,
tidak ada yang kebetulan. Semua serba mengarah pada perbaikan.
Barangkali, kita yang tidak jeli membaca simbol-simbol yang sejatinya
dapat kita orkestrasi sebagai materi kuat untuk mendirikan bangsa pada
fondasi yang kuat pula. Salam tiga jari!l
(Oleh: RIDUAN
SITUMORANG, Penulis ialah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor
Pendidikan di Prosus Inten Medan, Sastrawan, aktif di KDM (Kelompok
Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed) |
0 comments:
Post a Comment