Demokrat dan Politik Dua Kaki
Oleh: Riduan Situmorang
Jika
boleh disederhanakan, perjalanan Partai Demokrat ibarat siklus
matahari, muncul pada tahun 2001, mulai menampakkan sinarnya pada tahun
2004, terang-benderang di tahun 2009, lalu meredup di tahun 2014. Dan,
kalau boleh diumpamakan dengan masa kini, kemunculan Demokrat yang
mementaskan pelopornya, yaitu SBY juga menyerupai sosok Jokowi yang saat
itu kedatangannya dinanti-nantikan. Karena itu, walaupun pada tahun
2004 Demokrat hanya mencapai perolehan suara 7,45%, SBY tetap dapat maju
sebagai Capres yang lalu mengalahkan bosnya, Megawati. Kemenangan ini
pun berkorelasi positif dengan kejayaan Demokrat pada tahun 2009.
Lalu, karena Demokrat tidak boleh dipisahkan dengan SBY, setidaknya
untuk dekade ini, Demokrat pun akhirnya meredup secara menggelikan
seiring “exspired-nya” SBY. Menggelikan karena walaupun perolehan suara
mereka tahun ini melebihi perolehan suara pada tahun 2004, Demokrat
tampak tak mampu berbuat apa-apa, kecuali berharap partai lain datang
untuk mengajaknya. Setidaknya, itulah pengalaman Dahlan Iskan sebagai
pemenang Konvensi Partai Demokrat yang mengaku menunggu takdir, bukan
menjemput takdir.
Mengabaikan Keputusan Sendiri
Hasilnya pun tragis, yaitu Dahlan Iskan tampak tak dihargai dan tidak
dicoba dijual ke partai lain yang walaupun dia sudah harus mengorbankan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk memenangi konvensi ini. Yang lebih
tragis lagi adalah ketika ada isu-isu Golkar dan Demokrat akan
berkoalisi, tetapi yang dicalonkan bukan Dahlan Iskan, melainkan Pramono
Edhie. Terlepas isu itu kemudian tidak menjadi kenyataan dan
dimunculkan oleh Golkar, tetapi dari kacamata sederhana, kita dapat
menyimpulkan bahwa Demokrat tidak menghormati keputusan yang mereka buat
sendiri.
Begitulah Demokrat, kita tidak tahu menimbang apakah dia sedang
linglung dan gamang atau malah sedang amnesia. Ingat, di awal
pembentukan koalisi pengusung pasangan capres/cawapres, Demokrat sempat
tegas untuk tidak memihak pasangan mana pun. Kita kemudian terkesima
karena saat itu Demokrat berjanji akan netral dan berusaha berbenah
menjadi partai modern mengingat parta berlambang mercy ini sedang
digerogoti virus korupsi. Terkesimanya adalah karena SBY secara tegas
mengambil posisi di luar Jokowi dan Hatta yang walaupun Hatta merupakan
keluarga dekatnya. Jujur, saya sendiri, misalnya, merasa sedikit kagum
pada sosok SBY yang walaupun secara sederhana dapat disimpulkan bahwa
SBY melalui Demokrat terlihat kikuk karena tidak bisa menentukan sikap.
Akan tetapi, Demokrat memang masih belia. Dia masih gamang dan
linglung jika tidak boleh dikatakan amnesia. Lihat, sepekan setelah
penegasan sikap bahwa mereka akan netral, Demokrat kemudian melalui SBY
mengizinkan kadernya menjadi Ketua Tim Pemenangan salah satu dari
pasangan Capres/cawapres di tingkat lokal. Apakah sikap demikian netral?
Kita tidak tahu, barangkali hal itu memang netral, setidaknya netral
versi Demokrat. Nah, karena hal itu netral (ingat, netral versi
Demokrat), akhirnya beberapa pekan sebelum Pilpres, akhirnya Demokrat
menyatakan sikap mendukung Prabowo-Hatta. Catat, hal itu tentunya masih
netral sebagai langkah untuk menjadi partai modern yang walaupun
sebelumnya, beberapa kadernya sudah menyatakan sikap akan mendukung
pasangan yang tidak didukung partainya, yaitu TB Silalahi dan Ruhut
Sitompul. Dan benar, justru di sinilah sesungguhnya letak kenetralan
Demokrat, yaitu mendukung kedua-duanya.
Baiklah, sejenak mari kita komparasikan tingkah laku Demokrat ini
dengan pernyataan SBY sebagai Ketum Demokrat pada Rapimnas menjelang
penetapan pasangan capres/cawapres oleh KPU. Kala itu, SBY mengutarakan
bahwa Partainya akan netral. Dalam hal karena sikap netral ini,
misalnya, menjadi ada kader yang mau menentukan dukungan kepada salah
satu pasangan capres/cawapres secara resmi, SBY mengizinkannya, bahkan
mengizinkan mereka keluar yang lalu menanggalkan baju partai, yang
penting Demokrat tetap netral. Lalu sekarang, berguna, bertaji, serta
relevankah omongan SBY itu sampai sekarang?
Tidak Etis
Saya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Tidak tahunya begini, kalau
saja, misalnya, kita ditugaskan mengklasifikasikan jenis kelamin semua
partai, barangkali Demokrat berada pada posisi neutrum, dia tidak
maskulin, apalagi feminim. Akan tetapi, kalau dilihat dari segi
kepentingan, terutama kepentingan duduk di pemerintahan, barangkali
Demokrat termasuk sebagai partai adaptif yang dapat memainkan perannya
pada dua kondisi. Inilah yang kemudian sering kita dengar dengan istilah
politik dua kaki.
Apalagi belakangan, Demokrat melalui Max Sopacua pada acara TVOne (30
Juli 2014) menegaskan bahwa mereka akan tetap setia pada koalisi
permanen bikinan Prabowo. Konon katanya, Koalisi Permanen ini menjadi
iklim perpolitikan baru mengingat umumnya koalisi diciptakan oleh
pemerintah. Janggalnya adalah karena saat penetapan dan peneguhan, atau
katakanlah pendeklarasian koalisi ini, Demokrat tidak hadir, kecuali
Nachrohwi Ramli sebagai Ketua DPP Partai Demokrat DKI Jakarta. Alasannya
adalah karena Sayrief Hassan sebagai Ketum Demokrat saat itu sedang
berada di Medan.
Di saat berlainan setelah pasangan presiden terpilih ditetapkan KPU
yang akhirnya dimenangkan oleh pasangan Jokowi-JK, terdengar riuhnya
berita bahwa ada salah satu kader Demokrat yang bersedia menjadi
menteri, bahkan terkesan mencalonkan diri. Terserah apakah nantinya
Demokrat akan mengambil posisi di pemerintahan atau ramai-ramai
menyodorkan menteri, hal itu tidak menjadi masalah. Yang kita sesalkan
adalah tingkah Demokrat yang selalu mengulur-ulur. Mereka tidak bersikap
tegas, kecuali bersikap abu-abu dan tidak tetap pendirian.
Saya yakin, tindakan seperti ini bukan contoh yang bagus untuk
edukasi politik. Baiklah kalau mereka dikategorikan sebagai partai
adaptif, bagaimana kalau lebih kejam dan dimasukkan sebagai partai
penganut politik dua kaki, atau malah lebih kejam lagi sebagai partai
penjilat? Tetapi sudahlah, toh, Demokrat masih belia. Mereka masih perlu
asupan pengalaman, pengalaman sekaligus dari dua kubu, misalnya,
menjadi rumus jitu untuk cepat menjadi dewasa. Tetapi etiskah? .
***Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.
0 comments:
Post a Comment