Sunday, 10 August 2014

Demokrat dan Politik Dua Kaki

Demokrat dan Politik Dua Kaki

Oleh: Riduan Situmorang
Jika boleh disederhanakan, perjalanan Partai Demokrat ibarat siklus matahari, muncul pada tahun 2001, mulai menampakkan sinarnya pada tahun 2004, terang-benderang di tahun 2009, lalu meredup di tahun 2014. Dan, kalau boleh diumpamakan dengan masa kini, kemunculan Demokrat yang mementaskan pelopornya, yaitu SBY juga menyerupai sosok Jokowi yang saat itu kedatangannya dinanti-nantikan. Karena itu, walaupun pada tahun 2004 Demokrat hanya mencapai perolehan suara 7,45%, SBY tetap dapat maju sebagai Capres yang lalu mengalahkan bosnya, Megawati. Kemenangan ini pun berkorelasi positif dengan kejayaan Demokrat pada tahun 2009.
Lalu, karena Demokrat tidak boleh dipisahkan dengan SBY, setidaknya untuk dekade ini, Demokrat pun akhirnya meredup secara menggelikan seiring “exspired-nya” SBY. Menggelikan karena walaupun perolehan suara mereka tahun ini melebihi perolehan suara pada tahun 2004, Demokrat tampak tak mampu berbuat apa-apa, kecuali berharap partai lain datang untuk mengajaknya. Setidaknya, itulah pengalaman Dahlan Iskan sebagai pemenang Konvensi Partai Demokrat yang mengaku menunggu takdir, bukan menjemput takdir.
Mengabaikan Keputusan Sendiri
Hasilnya pun tragis, yaitu Dahlan Iskan tampak tak dihargai dan tidak dicoba dijual ke partai lain yang walaupun dia sudah harus mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memenangi konvensi ini. Yang lebih tragis lagi adalah ketika ada isu-isu Golkar dan Demokrat akan berkoalisi, tetapi yang dicalonkan bukan Dahlan Iskan, melainkan Pramono Edhie. Terlepas isu itu kemudian tidak menjadi kenyataan dan dimunculkan oleh Golkar, tetapi dari kacamata sederhana, kita dapat menyimpulkan bahwa Demokrat tidak menghormati keputusan yang mereka buat sendiri.
Begitulah Demokrat, kita tidak tahu menimbang apakah dia sedang linglung dan gamang atau malah sedang amnesia. Ingat, di awal pembentukan koalisi pengusung pasangan capres/cawapres, Demokrat sempat tegas untuk tidak memihak pasangan mana pun. Kita kemudian terkesima karena saat itu Demokrat berjanji akan netral dan berusaha berbenah menjadi partai modern mengingat parta berlambang mercy ini sedang digerogoti virus korupsi. Terkesimanya adalah karena SBY secara tegas mengambil posisi di luar Jokowi dan Hatta yang walaupun Hatta merupakan keluarga dekatnya. Jujur, saya sendiri, misalnya, merasa sedikit kagum pada sosok SBY yang walaupun secara sederhana dapat disimpulkan bahwa SBY melalui Demokrat terlihat kikuk karena tidak bisa menentukan sikap.
Akan tetapi, Demokrat memang masih belia. Dia masih gamang dan linglung jika tidak boleh dikatakan amnesia. Lihat, sepekan setelah penegasan sikap bahwa mereka akan netral, Demokrat kemudian melalui SBY mengizinkan kadernya menjadi Ketua Tim Pemenangan salah satu dari pasangan Capres/cawapres di tingkat lokal. Apakah sikap demikian netral?
 Kita tidak tahu, barangkali hal itu memang netral, setidaknya netral versi Demokrat. Nah, karena hal itu netral (ingat, netral versi Demokrat), akhirnya beberapa pekan sebelum Pilpres, akhirnya Demokrat menyatakan sikap mendukung Prabowo-Hatta. Catat, hal itu tentunya masih netral sebagai langkah untuk menjadi partai modern yang walaupun sebelumnya, beberapa kadernya sudah menyatakan sikap akan mendukung pasangan yang tidak didukung partainya, yaitu TB Silalahi dan Ruhut Sitompul. Dan benar, justru di sinilah sesungguhnya letak kenetralan Demokrat, yaitu mendukung kedua-duanya.
Baiklah, sejenak mari kita komparasikan tingkah laku Demokrat ini dengan pernyataan SBY sebagai Ketum Demokrat pada Rapimnas menjelang penetapan pasangan capres/cawapres oleh KPU. Kala itu, SBY mengutarakan bahwa Partainya akan netral. Dalam hal karena sikap netral ini, misalnya, menjadi ada kader yang mau menentukan dukungan kepada salah satu pasangan capres/cawapres secara resmi, SBY mengizinkannya, bahkan mengizinkan mereka keluar yang lalu menanggalkan baju partai, yang penting Demokrat tetap netral. Lalu sekarang, berguna, bertaji, serta relevankah omongan SBY itu sampai sekarang?
Tidak Etis
Saya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Tidak tahunya begini, kalau saja, misalnya, kita ditugaskan mengklasifikasikan jenis kelamin semua partai, barangkali Demokrat berada pada posisi neutrum, dia tidak maskulin, apalagi feminim. Akan tetapi, kalau dilihat dari segi kepentingan, terutama kepentingan duduk di pemerintahan, barangkali Demokrat termasuk sebagai partai adaptif yang dapat memainkan perannya pada dua kondisi. Inilah yang kemudian sering kita dengar dengan istilah politik dua kaki.
Apalagi belakangan, Demokrat melalui Max Sopacua pada acara TVOne (30 Juli 2014) menegaskan bahwa mereka akan tetap setia pada koalisi permanen bikinan Prabowo. Konon katanya, Koalisi Permanen ini menjadi iklim perpolitikan baru mengingat umumnya koalisi diciptakan oleh pemerintah. Janggalnya adalah karena saat penetapan dan peneguhan, atau katakanlah pendeklarasian koalisi ini, Demokrat tidak hadir, kecuali Nachrohwi Ramli sebagai Ketua DPP Partai Demokrat DKI Jakarta. Alasannya adalah karena Sayrief Hassan sebagai Ketum Demokrat saat itu sedang berada di Medan.
Di saat berlainan setelah pasangan presiden terpilih ditetapkan KPU yang akhirnya dimenangkan oleh pasangan Jokowi-JK, terdengar riuhnya berita bahwa ada salah satu kader Demokrat yang bersedia menjadi menteri, bahkan terkesan mencalonkan diri. Terserah apakah nantinya Demokrat akan mengambil posisi di pemerintahan atau ramai-ramai menyodorkan menteri, hal itu tidak menjadi masalah. Yang kita sesalkan adalah tingkah Demokrat yang selalu mengulur-ulur. Mereka tidak bersikap tegas, kecuali bersikap abu-abu dan tidak tetap pendirian.
Saya yakin, tindakan seperti ini bukan contoh yang bagus untuk edukasi politik. Baiklah kalau mereka dikategorikan sebagai partai adaptif, bagaimana kalau lebih kejam dan dimasukkan sebagai partai penganut politik dua kaki, atau malah lebih kejam lagi sebagai partai penjilat? Tetapi sudahlah, toh, Demokrat masih belia. Mereka masih perlu asupan pengalaman, pengalaman sekaligus dari dua kubu, misalnya, menjadi rumus jitu untuk cepat menjadi dewasa. Tetapi etiskah? .
***
Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.

0 comments: