Monday, 4 August 2014

Bagaimana Seharusnya Kita Memandang Gaza?

Bagaimana Seharusnya Kita Memandang Gaza?

Beberapa pekan terakhir perhatian dunia seperti tertumpu pada permasalahan klasik antara Israel dan Palestina. Betapa tidak, Israel kita lihat tampak leluasa menghantam Palestina di Jalur Gaza, hampir tanpa ampun. Hal itu terlihat jelas dari sikap Israel yang tidak mengenal istilah gencatan senjata. Palestina pun bukan tanpa perlawanan, mereka melalui Hamas menyerang balik dengan rudal.
Nah, hal menarik yang kemudian dapat kita tuai dari permasalahan ini adalah ketika banyak negara mengecam tindakan Israel, termasuk Indonesia. Dalam hal ini Israel secara gamblang diposisikan sebagai pemeran antagonis dan Palestina sebagai protagonis. Bahkan rakyat Indonesia ramai-ramai memberi bantuan sukarela atas dasar kemanusiaan, persaduaraan dan agama. Rakyat Indonesia pun mulai dari artis hingga rakyat biasa tampak geram. Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab sehingga pemerintah kita memutuskan membawa permasalahan klasik ini ke DK HAM PBB di Swiss setelah sebelumnya membantu rakyat Palestina melalui bantuan materi.

Sama-sama Merindukan Damai
Akan halnya Timur Tengah, terutama Israel dan Palestina, memang bukan baru kali ini melakukan tindakan konfrontatif. Tidak mudah untuk menyalahkan siapa dari mereka. Kadang yang memulai Palestina, tapi lebih sering pula Israel yang lebih agresif. Kita bahkan tidak habis pikir karena daerah asal para nabi ini bagaikan kulit tipis yang mudah terkoyak. Tak kurang dari AS, PBB saja bahkan "kelimpungan" untuk membuat upaya rekonsisliasi. Dan hasilnya tetap saja seperti yang kita saksikan: nihil. Baik Israel maupun Palestina sama-sama keukeuh pada pendiriannya.

Terkesan sangat paradoksal, di satu sisi, baik Israel maupun Palestina merindukan kedamaian, tetapi di sisi lain mereka sibuk mengartikan damai secara sepihak. Akhirnya, defenisi damai di antara mereka berbeda dan inilah yang kemudian menyulitkan kedua negara ini untuk tidak saling mengakui sehingga kondisi damai menjadi semakin sulit.

Sialnya, orang-orang awam pun berlaku tidak kooperatif, malah terkesan terlalu gegabah yang lalu menerjemahkan dan menafsirkan isi kitab suci secara serampangan: andai Israel dan Palestina berdamai, kiamat pun akan menyatroni bumi. Apakah benar kiamat akan terjadi setelah kedua negara ini berdamai?
Yang pasti saya bukan nabi. Yang saya ketahui, Tuhan mencintai kedamaian. Lagipula, kedatangan nabi ke daerah asal para nabi ini adalah untuk menunjukkan kepada manusia bahwa welas asih itu indah, bukan sebaliknya yang walaupun kemudian justru hal itulah yang terjadi.

Saksikanlah sekarang, situasi mendadak lebih keruh hanya karena orang-orang yang kemudian mengikuti para nabi tersebut terpecah pada egonya masing-masing lantaran mereka membuat tindakan provokatif dan kekerasan atas nama Tuhan. Maka, lahirlah istilah damai sendiri-sendiri yang tidak pernah bertemu. Yang lebih miris adalah ketika pada akhirnya bangsa kita pun sepertinya ikut tersedot masuk ke lubang konflik yang sama. Search-lah di internet atau sosial media, Anda akan melihat berbagai komentar sentimental.

Sialnya lagi ketika anak bangsa negeri ini pun malah mengartikan konfrontasi Israel dan Palestina adalah konfrontasi perang agama. Maka bantuan materi dan moral yang disuguhkan pun lebih condong karena kesamaan agama, bukan karena dasar kemanusiaan. Pendek kata, konflik Israel dan Palestina telah juga sedikit memperkeruh persaudaraan anak bangsa. Tentu hal ini masih bisa diperdebatkan. Hanya, jika bantuan moral dan materi yang kita suguhkan hanya karena dasar kesamaan agama, yakinlah kita sudah ikut memperkeruh suasana di sana karena secara tidak langsung kita sudah menisbikan salah satu negara yang bertikai di sana.

Jangan Memperkeruh Suasana!
Percayalah, semua orang boleh mengutuk Israel dan itu keharusan bagi siapa saja yang merindukan kedamaian. Akan tetapi, kutukan itu menjadi sebuah kecelakaan besar ketika hanya didasarkan pada persamaan identitas sempit dan sensitif. Selain menimbulkan dampak yang bisa meluber ke mana-mana, tindakan ini juga sangat keliru karena Palestina bukanlah dihuni oleh satu agama saja. Negeri ini didiami oleh mereka yang beragama samawi, Yahudi, Kristen, dan Islam.

Karena itu, tindakan paling bijak untuk kita lakukan adalah membela dengan rasa kemanusiaan. Kemanusiaan itu lebih universal daripada agama. Dan tindakan membela di sini adalah bukan mengangkat satu dan menyudukan yang lain. Baik Israel maupun Palestina harus sama-sama ditekan karena tidak dapat ditelusuri siapa di antara mereka yang bersalah. Boleh saja Israel brutal, tapi bisakah kita mengatakan Palestina proaktif?
Sekali lagi, perang ini harus kita hentikan. Silakan beri dukungan asal jangan sampai memperkeruh suasana. Sebab, perang itu sangat sensitif. Kita bahkan tidak dapat menolaknya ketika yang lain sudah merasa terpojokkan, apalagi kalau sudah keburu tersulut emosi yang konfrontatif.

Selain itu, perang pun hanya akan menambah derita. Korban akan selalu berjatuhan sebelum pada akhirnya traktat perdamaian ditandatangani. Dengan sederhana, logika perang sebenarnya akan berujung pada perdamaian sebab tidak ada perang yang tidak berujung.

Hanya, perang yang baru akan selalu timbul ketika kedua belah pihak saling mengintip dan membuat tindakan konfrontatif. Belum lagi kalau ada pihak ketiga yang gagah-gagahan membela yang satu dan menyudukan yang lain.
Ringkasnya, mari kita pandang kasus Jalur Gaza ini dari kacamata kemanusiaan. Dengan kacamata seperti ini, kita akan memperjuangkan kemanusiaan. (Oleh: Riduan Situmorang)

Penulis adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St Martinus Unimed dan Kelompok Diskusi Menulis St. Martinus Unimed

0 comments: