Bagaimana Seharusnya Kita Memandang Gaza?
|
Beberapa pekan
terakhir perhatian dunia seperti tertumpu pada permasalahan klasik
antara Israel dan Palestina. Betapa tidak, Israel kita lihat tampak
leluasa menghantam Palestina di Jalur Gaza,
hampir tanpa ampun. Hal itu terlihat jelas dari sikap Israel yang tidak
mengenal istilah gencatan senjata. Palestina pun bukan tanpa
perlawanan, mereka melalui Hamas menyerang balik dengan rudal.
|
Nah, hal menarik yang kemudian dapat kita tuai dari
permasalahan ini adalah ketika banyak negara mengecam tindakan Israel,
termasuk Indonesia. Dalam hal ini Israel secara gamblang diposisikan
sebagai pemeran antagonis dan Palestina sebagai protagonis. Bahkan
rakyat Indonesia ramai-ramai memberi bantuan sukarela atas dasar
kemanusiaan, persaduaraan dan agama. Rakyat Indonesia pun mulai dari
artis hingga rakyat biasa tampak geram. Hal inilah yang mungkin menjadi
penyebab sehingga pemerintah kita memutuskan membawa permasalahan klasik
ini ke DK HAM PBB di Swiss setelah sebelumnya membantu rakyat Palestina
melalui bantuan materi.
Sama-sama Merindukan Damai
Akan
halnya Timur Tengah, terutama Israel dan Palestina, memang bukan baru
kali ini melakukan tindakan konfrontatif. Tidak mudah untuk menyalahkan
siapa dari mereka. Kadang yang memulai Palestina, tapi lebih sering pula
Israel yang lebih agresif. Kita bahkan tidak habis pikir karena daerah
asal para nabi ini bagaikan kulit tipis yang mudah terkoyak. Tak kurang
dari AS, PBB saja bahkan "kelimpungan" untuk membuat upaya
rekonsisliasi. Dan hasilnya tetap saja seperti yang kita saksikan:
nihil. Baik Israel maupun Palestina sama-sama keukeuh pada pendiriannya.
Terkesan sangat paradoksal, di satu sisi, baik Israel maupun
Palestina merindukan kedamaian, tetapi di sisi lain mereka sibuk
mengartikan damai secara sepihak. Akhirnya, defenisi damai di antara
mereka berbeda dan inilah yang kemudian menyulitkan kedua negara ini
untuk tidak saling mengakui sehingga kondisi damai menjadi semakin
sulit.
Sialnya, orang-orang awam pun berlaku tidak kooperatif,
malah terkesan terlalu gegabah yang lalu menerjemahkan dan menafsirkan
isi kitab suci secara serampangan: andai Israel dan Palestina berdamai,
kiamat pun akan menyatroni bumi. Apakah benar kiamat akan terjadi
setelah kedua negara ini berdamai?
Yang pasti saya bukan nabi. Yang
saya ketahui, Tuhan mencintai kedamaian. Lagipula, kedatangan nabi ke
daerah asal para nabi ini adalah untuk menunjukkan kepada manusia bahwa
welas asih itu indah, bukan sebaliknya yang walaupun kemudian justru hal
itulah yang terjadi.
Saksikanlah sekarang, situasi mendadak
lebih keruh hanya karena orang-orang yang kemudian mengikuti para nabi
tersebut terpecah pada egonya masing-masing lantaran mereka membuat
tindakan provokatif dan kekerasan atas nama Tuhan. Maka, lahirlah
istilah damai sendiri-sendiri yang tidak pernah bertemu. Yang lebih
miris adalah ketika pada akhirnya bangsa kita pun sepertinya ikut
tersedot masuk ke lubang konflik yang sama. Search-lah di internet atau
sosial media, Anda akan melihat berbagai komentar sentimental.
Sialnya
lagi ketika anak bangsa negeri ini pun malah mengartikan konfrontasi
Israel dan Palestina adalah konfrontasi perang agama. Maka bantuan
materi dan moral yang disuguhkan pun lebih condong karena kesamaan
agama, bukan karena dasar kemanusiaan. Pendek kata, konflik Israel dan
Palestina telah juga sedikit memperkeruh persaudaraan anak bangsa. Tentu
hal ini masih bisa diperdebatkan. Hanya, jika bantuan moral dan materi
yang kita suguhkan hanya karena dasar kesamaan agama, yakinlah kita
sudah ikut memperkeruh suasana di sana karena secara tidak langsung kita
sudah menisbikan salah satu negara yang bertikai di sana.
Jangan Memperkeruh Suasana!
Percayalah,
semua orang boleh mengutuk Israel dan itu keharusan bagi siapa saja
yang merindukan kedamaian. Akan tetapi, kutukan itu menjadi sebuah
kecelakaan besar ketika hanya didasarkan pada persamaan identitas sempit
dan sensitif. Selain menimbulkan dampak yang bisa meluber ke mana-mana,
tindakan ini juga sangat keliru karena Palestina bukanlah dihuni oleh
satu agama saja. Negeri ini didiami oleh mereka yang beragama samawi,
Yahudi, Kristen, dan Islam.
Karena itu, tindakan paling bijak
untuk kita lakukan adalah membela dengan rasa kemanusiaan. Kemanusiaan
itu lebih universal daripada agama. Dan tindakan membela di sini adalah
bukan mengangkat satu dan menyudukan yang lain. Baik Israel maupun
Palestina harus sama-sama ditekan karena tidak dapat ditelusuri siapa di
antara mereka yang bersalah. Boleh saja Israel brutal, tapi bisakah
kita mengatakan Palestina proaktif?
Sekali lagi, perang ini harus
kita hentikan. Silakan beri dukungan asal jangan sampai memperkeruh
suasana. Sebab, perang itu sangat sensitif. Kita bahkan tidak dapat
menolaknya ketika yang lain sudah merasa terpojokkan, apalagi kalau
sudah keburu tersulut emosi yang konfrontatif.
Selain itu,
perang pun hanya akan menambah derita. Korban akan selalu berjatuhan
sebelum pada akhirnya traktat perdamaian ditandatangani. Dengan
sederhana, logika perang sebenarnya akan berujung pada perdamaian sebab
tidak ada perang yang tidak berujung.
Hanya, perang yang baru
akan selalu timbul ketika kedua belah pihak saling mengintip dan membuat
tindakan konfrontatif. Belum lagi kalau ada pihak ketiga yang
gagah-gagahan membela yang satu dan menyudukan yang lain.
Ringkasnya,
mari kita pandang kasus Jalur Gaza ini dari kacamata kemanusiaan.
Dengan kacamata seperti ini, kita akan memperjuangkan kemanusiaan.
(Oleh: Riduan Situmorang)
Penulis adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St Martinus Unimed dan Kelompok Diskusi Menulis St. Martinus Unimed |
0 comments:
Post a Comment