Wednesday, 13 August 2014

Generasi Bermental PNS

Generasi Bermental PNS
PEMERINTAH pada tahun 2013 telah merekrut para pengbadi negara melalui CPNS. Pada tahun 2014, pemerintah kembali akan merekrut putra/putri terbaik bangsa untuk menjadi abdi negara. Dilihat dari segi kuantitas, banyak anak bangsa berlomba-lomba menjadi abdi negara.
Saking banyaknya, jumlah peminat sangat tidak sebanding dengan formasi yang dibutuhkan. Misalnya di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu), tahun lalu peserta yang ikut ujian dari pelamar umum mencapai 10.591 orang, sedangkan formasi yang tersedia hanya 329 orang.

Sekilas, kita bisa saja menangkap kesan putra/putri terbaik bangsa sangat ingin menjadi abdi negara. Di sisi lain, kita tidak bisa memungkiri bahwa para sarjana masih sangat banyak bermental PNS sehingga beranggapan puncak dari hasil perkuliahan adalah PNS, bukan kreativitas dan inovasi untuk membuka lapangan kerja.

Bagi mereka mengejawantahkan ilmu dan nasionalisme hanya dengan menjadi PNS. Benarkah demikian? Saya tegaskan, tidak! Sebaliknya, hasrat menggebu-gebu untuk menjadi PNS pun tidak salah. Dia normal-normal saja sepanjang hal itu masih tersangkut pada nasionalisme dan pengabdian.

Masalahnya, apakah mereka benar-benar ingin menjadi abdi negara atau malah menjadi beban negara? Atau jangan-jangan mereka hanya ingin menjadi tuan yang harus diabdi negara?

Tak bisa dibantah, selama ini PNS belum menunjukkan diri sebagai abdi. Yang terjadi mereka malah mempertuankan diri. Padahal, mereka hanyalah abdi, bila perlu budak negara. Lantas, mengapa banyak sarjana berlomba-lomba untuk menjadi PNS? Apakah mereka bermental budak? Atau, apakah mereka mau menjadi budak - karena posisi PNS yang adalah budak negara berkehidupan serba nyaman - hanya untuk kenyamanan hidup sehingga pelan-pelan menjadi lupa pada posisinya sebagai abdi?

Yakinlah, semua pertanyaan itu hanya bentuk dari kegusaran yang timbul karena selama ini kita terlalu banyak "berjudi" dengan PNS. Anak-anak bangsa belum benar-benar mengabdi pada negara - jika mereka tidak boleh disebut sebagai beban negara. Yang ada, mereka lebih banyak melucuti devisa negara. Sudah begitu, regulasi perekrutan PNS selalu saja bergulir tanpa ada metamorfosis yang produktif untuk output inovatif dan kreatif.

Di sisi lain, aturan peringatan bahkan pemecatan PNS yang tidak berprestasi tidak pernah dicoba diterapkan. Akhirnya, PNS selalu didamba para sarjana karena di sana kedudukannya sangat nyaman, bukan karena benar-benar ingin menerapkan ilmu yang didapat kepada negara sebagai bentuk pengabdian.

Dalihnya, PNS adalah prestise karena dengan menjadi PNS seakan mereka tidak bisa dipecat. Di sinilah masalah itu bersarang, mereka mengabdi karena untuk kenyamanan hidup.

Maka, jangan heran kalau pemerintah harus menggelontorkan sepertiga dari APBN hanya untuk investasi PNS. Misalnya, tahun lalu Rp 547,1 triliun harus digelontorkan untuk mereka dari total belanja negara sebesar Rp 1.683 triliun.

Taruhannya, orang miskin yang secara konstitusional dilindungi negara jadi terabaikan. Sialnya, kenaikan anggaran untuk abdi negara tidak serta merta meningkatkan pelayanan. Yang ada, justru kita yang mengabdi kepada mereka. Kalau demikian adanya, apakah kita harus terus memberi ruang kenyamanan kepada PNS?

Yakinlah, kalau kita terus memberi ruang nyaman - terutama dalam konteks Indonesia - para abdi negara akan minim prestasi dan pengabdian. Ibaratnya, kalau kita memberi ruang nyaman tanpa memberi ancaman dan hadiah, daya kreativitas dan pengabdian akan melorot karena mereka merasa nyaman-nyaman saja.

Maaf, saya tidak sedang menghakimi para PNS. Saya hanya mengkritisi bahwa selama ini PNS masih kurang optimal dalam menjalankan perannya sebagai abdi negara. Senang atau tidak, kita harus mengakui bahwa pelayanan publik melalui abdi negara selama ini sangat sering kecolongan. Saya bahkan berani bertaruh bahwa pelayan swasta jauh lebih bermoral dan lebih bersahabat daripada para abdi Negara dan itu semua terjadi karena ada pergeseran nilai: dari yang harusnya abdi berubah menjadi tuan. Hal itu makin kompleks pula ketika kita selalu memberi ruang nayaman sehingga bukan prestasi yang didapatkan melainkan pengabaian.

Berikan Pengawasan!
Ilustrasinya, para abdi negara kita datang ke lokasi pukul 08.00. Setelah itu, mengopi dan sarapan di kantin hingga dua jam. Pukul 10.00, mereka datang ke kantor sambil megoperasikan laptop dan mencari atau bahkan men-download game. Ada tamu, bukan malah dilayani, melainkan disuruh melayani diri sendiri.

Pukul 12.00, mereka sudah istirahat. Kalau mereka bukan guru, mereka akan kembali masuk ke kantor pukul 14.00, itu pun kalau benar-benar kembali. Di sana, mereka kembali mengoperasikan laptop. Akhirnya, 15 menit sebelum waktu pulang datang mereka sudah uring-uringan ketika masyarakat datang.

Jawabannya, datang besok saja pukul 08.00! Kita datang pukul 08.00 besoknya, mereka masih asyik di kantin. Kita tunggu sampai pukul 10.00, mereka lebih sibuk dengan laptop. Apakah ini mental PNS yang kita ingingkan? Tidak! Tetapi di lapangan, kurang lebih seperti inilah yang kita temukan.

Lalu sekarang, apabila kita benar-benar tidak ingin dikibuli dan rugi dalam investasi PNS, tidak ada cara lain kecuali segera berbenah. Tata kelola perekrutan PNS ke depan harus dilakukan sedemikian rupa untuk bisa menjaring abdi-abdi negara terbaik yang profesional, berdedikasi, inovatif, dan berintegritas. Kita tidak ingin malah pelan-pelan PNS melucuti devisa negara melalui korupsi.

Caranya gampang, CPNS harus terbuka dan akuntabel. Artinya, alasan mengapa seseorang itu lulus atau tidak harus diumumkan. Bila perlu, LJK para CPNS harus dipampangkan luas layaknya hasil pilpres yang di-upload ke laman resmi pemerintah. Selain itu, pengumuman pemenang juga harus dilakukan sesaat setelah ujian berlangsung. Hal ini barangkali sulit secara teknis, tetapi kalau sudah utuh menggunakan teknik komputerisasi terkontrol pastinya pengumuman pemenang dengan cepat bukanlah hal mustahil. Yang janggal malah apabila pengumuman pemenang diundur, pada posisi negeri ini sudah melek teknologi.

Yang lebih penting, PNS yang sudah terpilih nantinya harus dikontrol. Berikan pengawasan sedemikian rupa. Jangan berikan kenyamanan berlebihan, sebab dengan kenyamanan mereka akan minim prestasi. Sebaliknya, berikan kepercayaan dan hadiah kepada mereka yang benar-benar mengabdi dan berprestasi.

Singkatnya, berikan hukuman kepada yang membelot melalui peringatan dan pemecatan, serta berikan hadiah kepada mereka yang benar-benar mengbadi terutama kalau mereka meraih prestasi. Dengan begitu, kita akan benar-benar mendapatkan generasi muda abdi negara, bukan tuan negara!

(Oleh : Riduan Situmorang)Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan konselor pendidikan di Prosus Inten Medan

0 comments: