Teologi Kebencian
Oleh: Riduan Situmorang
Sebenarnya kata teologi sangat tidak pantas disandingkan dengan kebencian. Keduanya berada pada posisi yang berseberangan atau antitesis. Yang satu menautkan hubungan transsendental dengan yang ilahi, sementara yang satu lebih pada relasi improduktif yang lebih condong pada narasi menghanyutkan yang diperalat iblis. Jika teologi merupakan ujung dari doa, maka kebencian tidak lain tidak bukan hanyalah ujung dari kekuatan magis dari iblis. Jadi pada prinsipnya, teologi dan kebencian adalah dua hal yang saling menikam.
Namun sialnya, narasi berseberangan inilah yang kemudian kerap kita saksikan. Di sisi lain, kita sendiri bahkan sering meleburkan dan menyatukannya secara paksa sehingga kita tertikam dan tercabik-cabik di dalamnya. Kita pun kerap terlalu gegabah sehingga secara tidak terduga teologi sering diolah menjadi bahan peledak kebencian. Sebaliknya, kebencian sering diartikan secara sempit sebagai wujud dari militansi iman terhadap Sang Pencipta. Akhirnya, jadilah Tuhan menjadi komoditas dagangan yang diobral.
Dililit Kebencian
Dengan nasib yang sama, agama pun diserang dengan pemahaman dangkal, tetapi terlalu militan dan radikal. Maka, fungsi agama yang adalah jalan menuju surga mendadak berubah menjadi alat peledak kebencian. Hal inilah yang kemudian mengantar kita pada paradigma baru, yaitu manusia untuk agama, bukan agama untuk manusia.
Agama bahkan direduksi menjadi bahan politisasi. Sialnya lagi adalah agama malah dipakai menjadi tameng pelindung dan legitimasi terhadap tindakan-tindakan radikal. Pada gilirannya, hal ini secara tumpang tindih akan membuat lingkaran setan. Di sana, kita tentu tidak dapat menimbang mana yang benar karena semua yang ada di ujung lingkaran itu hanyalah setan yang terbahak-bahak. Dengan kata lain, secara sepihak kita telah membenarkan tindakan kebencian itu atas dasar militansi yang terlalu sempit kepada agama.
Percayalah, selama ini kita telah dililit kebencian. Akhirnya, segala tindakan yang tidak kita kenal tiba-tiba saja dapat merongrong persaudaraan di antara kita yang sudah lama saling mengenal. Sebut, misalnya, tragedi dan peperangan yang telah menghantam Israel dan Palestina. Agresi militer Israel secara manusiawi memang telah menumbuhkan simpati kepada Palestina. Akan tetapi, simpati kita terhadap yang satu terlalu sering membuat antipati kepada pihak yang lain. Dalam konteks Indonesia, antipati bahkan lebih cepat berkecambah ketimbang simpati. Akhirnya, kita menyayangi yang satu lalu mengutuk yang lain. Sialnya lagi adalah ketika kita terbutakan pada kebencian atas dasar sentimen agama. Maka, kacamata kita memandang bahwa Palestina harus dibela atas dasar persaudaraan agama dan Israel harus dikutuk atas dasar beda mazhab.
Sekali lagi, percayalah bahwa kita sudah terlalu dalam terperosok dalam pelukan kebencian. Catat, saya tidak sedang menyalahkan tindakan kita yang barangkali terlalu menyayangi Palestina. Hanya saja, kita sudah terlalu kelewatan yang lalu membenci Israel. Maaf, saya tidak bermaksud menyalahkan tindakan kita yang terlalu memojokkan Israel, barangkali memang Israel pantas mendapatkan cemoohan kita. Hanya saja, jika memang kita ingin membebaskan Palestina sebagai saudara, maka kita harus mengambil posisi yang benar-benar antitesis dengan yang sekarang.
Saya menjadi teringat kalimat yang melegenda dari Nelson Mandela. Beliau pernah mengatakan bahwa apabila kita ingin berdamai dengan musuh, maka satu-satunya jalan bagi kita adalah harus bekerja sama dengan musuh. Artinya, siapa saja yang kita anggap sebagai musuh harus diajak bekerja sama, bukan malah menanam kebencian. Kebencian tidak menjadikan segala sesuatu menjadi lebih baik. Benar, boleh jadi kebencian akan membatasi ruang gerak mereka yang kita benci, tetapi bukankah kebencian juga justru membatasi ruang gerak kita?
Coba bayangkan, misalnya, apabila kita bersahabat dengan Israel! Saya yakin dengan posisi seperti ini kita akan lebih leluasa membujuk bahkan mengecam Israel. Akan tetapi, memosisikan diri seperti ini masih sangat sulit karena pemikiran masyarakat kita sudah telanjur digerogoti teologi kebencian. Barangkali dengan memosisikan diri seperti ini akan segera dibaca sebagai pengkhianatan terhadap Palestina atau bahkan pengkhianatan terhadap masyarakat Indonesia. Akan tetapi, bukankah menyayangi yang satu secara membabi buta juga beredefinisi sama dengan membenci yang satu secara membabi buta? Percayalah, kedua tindakan itu akan bermuara pada arah yang sama, yaitu jalan buntu.
Tandem, bukan Musuh Bebuyutan
Filsuf besar kebangsaan Jerman, Friedrich Nietzsche (1844–1900) pernah berkata, “Orang yang memiliki pengetahuan harus dapat bukan hanya mengasihi musuh-musuhnya, melainkan juga membenci sahabat-sahabatnya.” Nah, bukankah kita termasuk sebagai orang yang memiliki pengetahuan? Senada dengan itu, Dalai Lama juga pernah berkata, “Jadi, jika kita sungguh-sungguh ingin belajar, kita harus memandang musuh-musuh kita sebagai guru-guru terbaik bagi kita.” Sebagai lanjutannya, Dalai Lama juga berkata, “Kemarahan dan kebencian adalah musuh-musuh kita yang sesungguhnya.” Artinya, musuh kita yang sebenarnya bukanlah tindakan Israel yang membabi buta, melainkan tindakan kita yang terlalu digerogoti kebencian.
Supaya posisi saya jelas, saya sependapat dengan Presiden terpilih Jokowi yang berjanji akan mendukung Palestina. Akan tetapi, satu-satunya cara yang leluasa bagi kita adalah harus bisa mengorkestrasi Israel menjadi tandem, bukan musuh bebuyutan. Menjadikan mereka menjadi musuh bebuyutan justru akan memperparah keadaan, selain membatasi ruang gerak kita, juga akan mendapat respons sama, yaitu kebencian yang juga barangkali akan dilayangkan Israel. Nah, mungkinkah Israel akan mendengar seruan kita jika kita adalah musuh mereka?
Sekali lagi, mari mengubah teologi kebencian ini dengan hati jernih. Kita adalah bangsa beradab dan religius, bukan bangsa barbar. Kebencian tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Jadi, sebelum terlalu dalam terperosok dalam teologi kebencian, mengertilah bahwa tujuan akhir dari kebencian itu adalah peperangan. Adakah peperangan merupakan turunan langsung dari agama dan teologi? Apakah kita ingin melakukan genosida atas orang yang kita benci sebagai bentuk pelampiasan kebencian kita?
Saya mau tanya juga, apakah agama dan Tuhan yang masing-masing kita sembah memerintahkan kita untuk membasmi mereka yang kita benci? Saya yakin, pasti tidak. Agama kita adalah agama cinta. Saya juga yakin, Allah yang kita sembah juga mengasihi mereka yang kita benci sebagaimana Dia mengasihi kita. Lalu, kalau Tuhan yang kita sembah saja mengasihi mereka yang kita benci, mengapa kita yang mengaku sebagai pengikut Tuhan tidak lantas mengasihi mereka yang dulu kita benci? ***
Penulis adalah staff pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed
0 comments:
Post a Comment