Sebulan Menjadi WNA
|
PIALA Dunia memang selalu mempunyai cerita unik. Ibaratnya, Piala Dunia sudah menjadi candu bagi semua orang.
Barangkali, itulah yang menjadi dasar berpikir mengapa acara akbar empat
tahunan ini disebut dengan Piala Dunia.
|
Padahal, jika dilihat sekilas, mereka yang mencoba bertaruh di sana
hanya segelintir dari dunia. Indonesia misalnya, bahkan belum pernah
menjadi peserta Piala Dunia. Adapun pada 1938, masih dengan nama
Hindia-Belanda dan saat itu masih belum merdeka, jadi sebenarnya Negara
Indonesia belum pernah berkiprah di Piala Dunia.
Ironisnya,
justru Indonesia merupakan salah satu pecandu Piala Dunia dan boleh
dikatakan juga penyumbang konsumen candu Piala Dunia terbesar yang tidak
ikut berpartisipasi aktif di dalamnya. Indonesia sebagai negara
berpenduduk terbesar keempat di dunia harus menerima nasib apes, yaitu
hanya sebatas penikmat dan penonton. Tiongkok, Amerika Serikat, dan
India, misalnya, masih bisa berlega hati karena sudah sering menempatkan
perwakilannya di Piala Dunia.
Indonesia? Tidak ada, kecuali Hindia Belanda pada 1938, tujuh tahun sebelum Indonesia resmi merdeka.
Bangsa Penonton
Nah,
yang membuat kita lebih sedih lagi adalah ketika persepakbolaan kita
tidak pernah riuh, kecuali riuh karena permasalahan, bukan riuh karena
prestasi. Kadang PSSI berulah dan kadang pula sepak bola menjadi bahan
politisasi. Akhirnya, energi kita menjadi terkonsentrasi untuk membenahi
organisasi, bukan pada sepak bola itu sendiri. Padahal dalam Piala
Dunia yang dinilai bukan organisasi, melainkan kelihaian tim untuk
mengolah si kulit bundar.
Gilirinannya kemudian, jangankan turut
bersaing hingga babak akhir Zona Asia dalam perebutan tiket ke Piala
Dunia, emas SEA Games saja tetap gagal kita raih dalam 23 tahun
terakhir.
Alhasil, negeri ini pun hanya sebatas menonton dan
menjadi pangsa pasar penjualan tiket. Negeri ini bahkan menjadi salah
satu tempat favorit bagi tim-tim besar Eropa yang selalu berkunjung di
akhir musim menyambangi para fansnya di Tanah Air. Artinya, pelaku pasar
sepak bola di negeri ini bukan kita, melainkan mereka yang kita undang
dengan modal yang tidak tanggung-tanggung. Deliknya sama, yaitu supaya
dengan kedatangan tamu sepak bola dari Eropa dapat secara tidak langsung
memberi motivasi.
Akan tetapi pada praktiknya bukanlah
demikian. Kedatangan mereka hanyalah acara bernostalgia sehingga kita
hanya tergila-gila tanpa ada upaya substansial untuk memperbaiki
keruhnya persepakbolaan kita. Bahkan menjadi sangat ironis, misalnya,
ketika kita lebih mendukung mereka daripada tim kita. Ingat, bukankah
kita mendukung Chelsea, Liverpool, MU, dan Belanda tahun lalu ketika
mereka menggagahi Indonesia? Kita hampir tidak merasa bersalah ketika
tim kita kalah-kalah telak. Dengan senang hati kita mengaku, ya, kita
memang pantas kalah karena kualitas kita jauh di bawah mereka sehingga
kita hanya mengagungkan mereka dan pada saat yang sama, lupa memperbaiki
kualitas sepak bola kita.
Syukurlah, ketika kemudian
akhir-akhir ini Evan Dimas dan kawan-kawan sudah mulai menujukkan
performa gemilang. Masalahnya, apakah prestasi ini akan terus
berlangsung? Terus terang, saya tidak sedang meragukan kemajuan
persepakbolaan kita ke depan. Akan tetapi, kalau tata kelolanya masih
tetap amburadul, bahkan lebih mengedepankan politik daripada sepak
bolanya, jangankan berjalan di tempat, bisa-bisa sepak bola di tanah air
akan terpojok.
Sadarlah, sepak bola itu tidak terlalu
mementingkan birokrasi kaku demi kepentingan pragmatisme. Sepak bola itu
tidak mementingkan protokoler-protokoler yang sok berwibawa.
Sebaliknya, sepak bola hanya butuh pengertian dan pemahaman berupa
sportivitas dan keadilan. Singkatnya, sepaka bola itu hanyalah filosofi
keindahan dan keadilan, bukan kegundahan dan kelalaian.
Benar
saja bahwa sepak bola termasuk industri yang sangat menjanjikan. Tetapi
fokus industri di sini bukan menjadi legitimasi bahwa sepak bola itu
harus taat pada aturan organisasi yang sering memusingkan seakan-akan
sepak bola identik dengan organisasi dan kepengurusan. Memang, sepak
bola tidak melulu hanya tendang-menendang bola. Perlu ada kerja sama
yang apik dan tertata. Di dalamnya, kepercayaan dan kerja sama menjadi
indeks komplementer terhadap talenta-talenta untuk diintegrasikan
menjadi gerak indah dan terarah.
Karena dia gerak indah dan
terarah, berarti semua negara - kecil atau besar dan kaya atau miskin -
sebenarnya mempunyai kesempatan yang sama. Lihat, Bosnia saja bisa lolos
ke Brasil padahal kita tahu bahwa Bosnia masih segar akan luka-luka
Perang Balkan.
Jangan Hina Negeri Ini!
Hanya memang,
masalahnya tidak terlalu sesederhana itu. Selain kemauan dan bakat, kita
memerlukan pembibitan dan pendidikan yang taktis dan berkelanjutan.
Tidak perlu lagi mengulangi kesalahan lama seperti yang selama ini.
Perlu ada tindakan untuk memperjelas bagian demi bagian.
Batas-batas
antara organisasi, sepak bola, dan politik harus ada. Jangan
dicampurkan, apalagi dikaburkan! Dengan demikian, kita dapat bermimpi
melahirkan pemain sepak bola yang mudah-mudahan dapat membawa negeri ini
sebagai peserta Piala Dunia, bukan sebatas penonton.
Nah,
kendatipun demikian, kalaupun saat ini kita masih sebatas penonton,
jangan berkecil hati! Sepak bola memang indah yang walaupun kadang
getir. Getirnya ketika kita hanya sebatas menonton dan membela negara
lain seakan-akan negara kita adalah Argentina, Brasil, Inggris, Jerman,
Italia, dan lain-lain. Hanya, kalau kita memang sepakat bahwa sepak bola
adalah hiburan, mari nikmati hiburan ini! Silakan pilih jagoanmu untuk
sebulan menjadi warga negara Argentina, Brasil, Inggris, ataupun Italia!
Toh, hal itu tidak disalahkan dan tidak melanggar hukum sebab, tidak
mungkin kita mendukung Indonesia sementara Indonesia tidak ada di sana.
Kalaupun
kita mendukung Indonesia, itu namanya bukan nasionalisme, itu tidak
lain dan tidak bukan hanya penghinaan. Jadi, jangan hina negeri ini
dengan mendukung Indonesia! Intinya, mari sekarang menjadi warga negara
lain selama sebulan ini dalam rangka menghibur diri di dalam keriuhan
Piala Dunia. Kalau masih sempat, berpikirlah, kapan kita tidak lagi
menjadi warga negara lain ketika pesta Piala Dunia kembali digelar.
(Oleh : Riduan Situmorang) Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan konselor pendidikan di Prosus Inten Medan |
0 comments:
Post a Comment