Friday, 11 July 2014

Sebulan Menjadi WNA


Sebulan Menjadi WNA

PIALA Dunia memang selalu mempunyai cerita unik. Ibaratnya, Piala Dunia sudah menjadi candu bagi semua orang. Barangkali, itulah yang menjadi dasar berpikir mengapa acara akbar empat tahunan ini disebut dengan Piala Dunia.
Padahal, jika dilihat sekilas, mereka yang mencoba bertaruh di sana hanya segelintir dari dunia. Indonesia misalnya, bahkan belum pernah menjadi peserta Piala Dunia. Adapun pada 1938, masih dengan nama Hindia-Belanda dan saat itu masih belum merdeka, jadi sebenarnya Negara Indonesia belum pernah berkiprah di Piala Dunia.

Ironisnya, justru Indonesia merupakan salah satu pecandu Piala Dunia dan boleh dikatakan juga penyumbang konsumen candu Piala Dunia terbesar yang tidak ikut berpartisipasi aktif di dalamnya. Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia harus menerima nasib apes, yaitu hanya sebatas penikmat dan penonton. Tiongkok, Amerika Serikat, dan India, misalnya, masih bisa berlega hati karena sudah sering menempatkan perwakilannya di Piala Dunia.

Indonesia? Tidak ada, kecuali Hindia Belanda pada 1938, tujuh tahun sebelum Indonesia resmi merdeka.

Bangsa Penonton
Nah, yang membuat kita lebih sedih lagi adalah ketika persepakbolaan kita tidak pernah riuh, kecuali riuh karena permasalahan, bukan riuh karena prestasi. Kadang PSSI berulah dan kadang pula sepak bola menjadi bahan politisasi. Akhirnya, energi kita menjadi terkonsentrasi untuk membenahi organisasi, bukan pada sepak bola itu sendiri. Padahal dalam Piala Dunia yang dinilai bukan organisasi, melainkan kelihaian tim untuk mengolah si kulit bundar.

Gilirinannya kemudian, jangankan turut bersaing hingga babak akhir Zona Asia dalam perebutan tiket ke Piala Dunia, emas SEA Games saja tetap gagal kita raih dalam 23 tahun terakhir.

Alhasil, negeri ini pun hanya sebatas menonton dan menjadi pangsa pasar penjualan tiket. Negeri ini bahkan menjadi salah satu tempat favorit bagi tim-tim besar Eropa yang selalu berkunjung di akhir musim menyambangi para fansnya di Tanah Air. Artinya, pelaku pasar sepak bola di negeri ini bukan kita, melainkan mereka yang kita undang dengan modal yang tidak tanggung-tanggung. Deliknya sama, yaitu supaya dengan kedatangan tamu sepak bola dari Eropa dapat secara tidak langsung memberi motivasi.

Akan tetapi pada praktiknya bukanlah demikian. Kedatangan mereka hanyalah acara bernostalgia sehingga kita hanya tergila-gila tanpa ada upaya substansial untuk memperbaiki keruhnya persepakbolaan kita. Bahkan menjadi sangat ironis, misalnya, ketika kita lebih mendukung mereka daripada tim kita. Ingat, bukankah kita mendukung Chelsea, Liverpool, MU, dan Belanda tahun lalu ketika mereka menggagahi Indonesia? Kita hampir tidak merasa bersalah ketika tim kita kalah-kalah telak. Dengan senang hati kita mengaku, ya, kita memang pantas kalah karena kualitas kita jauh di bawah mereka sehingga kita hanya mengagungkan mereka dan pada saat yang sama, lupa memperbaiki kualitas sepak bola kita.

Syukurlah, ketika kemudian akhir-akhir ini Evan Dimas dan kawan-kawan sudah mulai menujukkan performa gemilang. Masalahnya, apakah prestasi ini akan terus berlangsung? Terus terang, saya tidak sedang meragukan kemajuan persepakbolaan kita ke depan. Akan tetapi, kalau tata kelolanya masih tetap amburadul, bahkan lebih mengedepankan politik daripada sepak bolanya, jangankan berjalan di tempat, bisa-bisa sepak bola di tanah air akan terpojok.

Sadarlah, sepak bola itu tidak terlalu mementingkan birokrasi kaku demi kepentingan pragmatisme. Sepak bola itu tidak mementingkan protokoler-protokoler yang sok berwibawa. Sebaliknya, sepak bola hanya butuh pengertian dan pemahaman berupa sportivitas dan keadilan. Singkatnya, sepaka bola itu hanyalah filosofi keindahan dan keadilan, bukan kegundahan dan kelalaian.

Benar saja bahwa sepak bola termasuk industri yang sangat menjanjikan. Tetapi fokus industri di sini bukan menjadi legitimasi bahwa sepak bola itu harus taat pada aturan organisasi yang sering memusingkan seakan-akan sepak bola identik dengan organisasi dan kepengurusan. Memang, sepak bola tidak melulu hanya tendang-menendang bola. Perlu ada kerja sama yang apik dan tertata. Di dalamnya, kepercayaan dan kerja sama menjadi indeks komplementer terhadap talenta-talenta untuk diintegrasikan menjadi gerak indah dan terarah.

Karena dia gerak indah dan terarah, berarti semua negara - kecil atau besar dan kaya atau miskin - sebenarnya mempunyai kesempatan yang sama. Lihat, Bosnia saja bisa lolos ke Brasil padahal kita tahu bahwa Bosnia masih segar akan luka-luka Perang Balkan.
Jangan Hina Negeri Ini!

Hanya memang, masalahnya tidak terlalu sesederhana itu. Selain kemauan dan bakat, kita memerlukan pembibitan dan pendidikan yang taktis dan berkelanjutan. Tidak perlu lagi mengulangi kesalahan lama seperti yang selama ini. Perlu ada tindakan untuk memperjelas bagian demi bagian.

Batas-batas antara organisasi, sepak bola, dan politik harus ada. Jangan dicampurkan, apalagi dikaburkan! Dengan demikian, kita dapat bermimpi melahirkan pemain sepak bola yang mudah-mudahan dapat membawa negeri ini sebagai peserta Piala Dunia, bukan sebatas penonton.

Nah, kendatipun demikian, kalaupun saat ini kita masih sebatas penonton, jangan berkecil hati! Sepak bola memang indah yang walaupun kadang getir. Getirnya ketika kita hanya sebatas menonton dan membela negara lain seakan-akan negara kita adalah Argentina, Brasil, Inggris, Jerman, Italia, dan lain-lain. Hanya, kalau kita memang sepakat bahwa sepak bola adalah hiburan, mari nikmati hiburan ini! Silakan pilih jagoanmu untuk sebulan menjadi warga negara Argentina, Brasil, Inggris, ataupun Italia! Toh, hal itu tidak disalahkan dan tidak melanggar hukum sebab, tidak mungkin kita mendukung Indonesia sementara Indonesia tidak ada di sana.

Kalaupun kita mendukung Indonesia, itu namanya bukan nasionalisme, itu tidak lain dan tidak bukan hanya penghinaan. Jadi, jangan hina negeri ini dengan mendukung Indonesia! Intinya, mari sekarang menjadi warga negara lain selama sebulan ini dalam rangka menghibur diri di dalam keriuhan Piala Dunia. Kalau masih sempat, berpikirlah, kapan kita tidak lagi menjadi warga negara lain ketika pesta Piala Dunia kembali digelar.

(Oleh : Riduan Situmorang) Penulis staf pengajar bahasa Indonesia dan konselor pendidikan di Prosus Inten Medan

0 comments: