Merawat Pluralisme
Oleh: Riduan Situmorang
Saya termasuk sebagai orang yang gelisah pada kelanggengan
multikulturalisme dan pluralisme di negeri ini. Kegelisahan ini menjadi
logis karena hampir setiap saat kita menyaksikan ada kebencian
antargolongan yang ter-publish secara blak-blakan. Bahkan, ada pula
tokoh publik seperti tokoh agama yang secara tegas melawan pluralisme.
Maaf, saya tidak akan menyebut nama itu di sini karena menurut saya, hal
itu akan memperuncing keadaan. Kalau Anda mau, silakan search di
internet siapa-siapa saja orang itu.
Berkaitan dengan hal itu, ketika menghadiri acara pengumuman para
pemenang Lomba Puisi Esai yang diadakan oleh Yayasan Denny J.A. pada 24
Juni kemarin di Jakarta, saya juga menangkap bahwa kegelisahan itu juga
turut dirasakan oleh teman-teman di sana. Hal itu secara jelas dapat
tertangkap dan terangkum pada kumpulan buku puisi esai yang dituliskan
oleh beberapa penyair. Kebetulan pada acara tersebut, saya termasuk
sebagai juara kedua dan karya saya dibukukan pada buku yang sama dengan
karya saudara Burhan Siddiq dari Bandung sebagai juara pertama serta
karya Isbedy Setiawan Z.S. dari Lampung sebagai juara ketiga.
Kurang lebih, di dalam buku yang diberi judul Konspirasi Suci itu,
para penulis puisi tersebut juga mengungkapkan kegelisahan terhadap
adanya sebuah kekuatan yang sedang mencoba memaksa menyatukan beberapa
pandangan. Berita bagusnya adalah bahwa ternyata dalam buku tersebut
tersirat kegeraman hati para penulis yang imperatif terhadap kita untuk
sesegera mungkin berbuat sesuatu yang lalu melawan kekuatan yang
mencelakakan itu.
Tidak Cukup Sebatas Mengkaji
Di nada yang sama, budayawan kawakan sekaliber Romo Franz Magnis
Suseno yang hari itu juga diundang sebagai pembicara tunggal dengan
pidato kebudayaannya yang bertajuk “Merawat Pluralisme” pun
menggelisahkan kekhawatiran yang sama. Di sana, Romo Magnis
mengungkapkan bahwa pluralisme di Indonesia memang masih terawat. Akan
tetapi, tak dapat dimungkiri bahwa kebhinekaan Indonesia juga sedang
dicoba diruntuhkan oleh beberapa pihak yang radikal yang sedikit alergi
terhadap keberagaman. Dalam kamusnya, Romo Magnis Suseno mengatakan
bahwa kita sedang berada di lereng yang licin. Dan, jika saja tidak
hati-hati, tidak mustahil bahwa kita akan jatuh terperosok pada
pertengkaran yang kelam.
Seperti kata Romo Magnis, kita memang tidak sebergejolak perang
sektarian yang ada di daerah Timur Tengah. Hanya, jika pemerintah tetap
acuh tak acuh pada sekelompok orang yang sudah buka-bukaan pada niatnya
untuk menghapuskan demokrasi dan pluralisme, sudah dapat dipastikan
bahwa negeri ini pun bisa mengikuti jejak perang saudara yang seperti
itu. Dan, inilah kekhawatiran tersebut, yaitu ketika pada akhirnya
keberagaman hanya sebatas semboyan yang tidak mendarat pada substansi
kebangsaan. Sekarang, bagaimana kita menanggapi hal tersebut? Apakah
cukup sebatas mengkaji? Mengutuk? Atau sebatas menasihati?
Rasanya tidak. Buktinya, selama ini kita sudah banyak mengkaji,
termasuk melalui berbagai pendalaman ilmiah dan survei-survei. Kita pun
hampir saja selalu berusaha menjadi yang terdepan untuk mengutuk
manakala terjadi kekerasan atas dasar sentimen yang dapat mengoyak
keberagaman seperti yang baru-baru ini terjadi di Sleman. Tidak lupa,
kita bahkan telah memberi nasihat, baik melalui tokoh agama, tokoh
masyarakat, maupun pemerintah. Sialnya, tindakan kekerasan yang dapat
mengoyak keberagaman ini tidak pernah berhenti. Bahkan ada kecenderungan
makin intens. Lihatlah, masih saja ada penyekatan yang harus kita akui
keberadaannya di masyarakat, yaitu dikotomi istilah kafir dan benar.
Istilah inilah yang kemudian terawat dan tertanam di masyarakat.
Apalagi, kita tidak mengenal yang namanya pembelajaran agama yang
bersifat inter-religius, kecuali monoreligius. Nah, melalui pembelajaran
agama yang bersifat monoreligius seperti inilah siswa kemudian digiring
mempelajari agamanya sendiri sehingga secara tidak terduga, di benak
siswa tertanam pengakuan sepihak bahwa agamanyalah yang benar, sementara
agama yang lain salah atau kafir. Yakinlah, secara tidak langsung,
pembelajaran agama yang seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab
runtuhnya keberagaman.
Jangan Tergelincir!
Mari, tidak usah berpura-pura yang lalu sama-sama mengutuk kekerasan
atas dasar sentimen SARA. Mengutuk saja tidak cukup, apalagi pada saat
yang sama kita malah mendorong supaya hal tersebut dilakukan lagi.
Sederhana saja, kalau benar-benar ingin merawat pluralisme, kita harus
berani berembuk bersama.
Saya rumuskan begini, jika agama menjadi dasar perpecahan, mari
sedikit mungkin hilangkan embel-embel agama. Tidak perlu ada
sebutan-sebutan agama secara spesial di lapangan. Agama adalah urusan
personal, bukan publik. Jika saja urusan agama itu digeneralisasikan
menjadi urusan publik, di saat itulah kita sudah gagal merawat
keberagaman yang lalu menciderai makna agama yang sebenarnya bermakna
tidak kacau.
Nah, di sinilah, pemerintah perlu hadir secara tegas. Jangan
mengulur-ulur, apalagi bersifat acuh tak acuh. Yakinlah, sikap acuh tak
acuh ini telah dibaca secara keliru oleh mereka yang berpandangan
radikal. Dan, saya percaya, kekerasan yang menyentuh hal-hal sensitif
ini kerap terjadi karena memang pemerintah-kita selalu gagal untuk
menderadikalisasi oknum-oknum yang terlibat di dalamnya. Pada saat yang
sama, masyarakat pun tidak dicoba disadarkan akan betapa pentingnya
keberagaman. Pelan-pelan, dalam diri masyarakat tertanam sebuah
pembelajaran dan pemahaman sepihak bahwa keberagaman itu adalah murka,
bukan anugerah. Akhirnya, rakyat pun saling mencurigai yang berbuntut
pada tindakan saling mengintip. Bagi mereka, manusia benar-benar menjadi
binatang seperti pada terminologi Aristoteles, animale rationale. Nalar
pun terjungkal sehingga kekuatan logika runtuh karena logika kekuatan,
terutama logika kekerasan.
Maka, sebelum kita tergelincir di lereng yang licin ini, marilah
melalui pemerintah untuk tidak lagi diam, apalagi mendiamkan. Jangan
hanya banyak berkoar, tetapi sedikit penyelesaian. Jangan pula melulu
berdebat, tetapi miskin ide sebagai solusi alternatif. Bila perlu, mari
mencontek dari negara yang boleh dikatakan sudah sukses merawat
pluralisme. Seperti Korea, misalnya, telah berhasil membuat bandaranya
memiliki tempat ibadah tiap-tiap agama. Di London sebagai negara yang
bahkan cenderung kapitalisme pun membuat hal yang sama, tepatnya di
Bandara Heathrow ada tulisan Interfaith Prayer and Meditation Room. Kini
di Indonesia, apakah kita dapat melakukan hal yang sama demi merawat
pluralisme untuk kemudian tidak tergelincir di lereng yang licin ini?
Semoga! ***
Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor
Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed,
aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.
0 comments:
Post a Comment