Friday, 11 July 2014

Merawat Pluralisme

Merawat Pluralisme

Oleh: Riduan Situmorang
Saya termasuk sebagai orang yang gelisah pada kelanggengan multikulturalisme dan pluralisme di negeri ini. Kegelisahan ini menjadi logis karena hampir setiap saat kita menyaksikan ada kebencian antargolongan yang ter-publish secara blak-blakan. Bahkan, ada pula tokoh publik seperti tokoh agama yang secara tegas melawan pluralisme. Maaf, saya tidak akan menyebut nama itu di sini karena menurut saya, hal itu akan memperuncing keadaan. Kalau Anda mau, silakan search di internet siapa-siapa saja orang itu.
Berkaitan dengan hal itu, ketika menghadiri acara pengumuman para pemenang Lomba Puisi Esai yang diadakan oleh Yayasan Denny J.A. pada 24 Juni kemarin di Jakarta, saya juga menangkap bahwa kegelisahan itu juga turut dirasakan oleh teman-teman di sana. Hal itu secara jelas dapat tertangkap dan terangkum pada kumpulan buku puisi esai yang dituliskan oleh beberapa penyair. Kebetulan pada acara tersebut, saya termasuk sebagai juara kedua dan karya saya dibukukan pada buku yang sama dengan karya saudara Burhan Siddiq dari Bandung sebagai juara pertama serta karya Isbedy Setiawan Z.S. dari Lampung sebagai juara ketiga.
Kurang lebih, di dalam buku yang diberi judul Konspirasi Suci itu, para penulis puisi tersebut juga mengungkapkan kegelisahan terhadap adanya sebuah kekuatan yang sedang mencoba memaksa menyatukan beberapa pandangan. Berita bagusnya adalah bahwa ternyata dalam buku tersebut tersirat kegeraman hati para penulis yang imperatif terhadap kita untuk sesegera mungkin berbuat sesuatu yang lalu melawan kekuatan yang mencelakakan itu.
Tidak Cukup Sebatas Mengkaji
Di nada yang sama, budayawan kawakan sekaliber Romo Franz Magnis Suseno yang hari itu juga diundang sebagai pembicara tunggal dengan pidato kebudayaannya yang bertajuk “Merawat Pluralisme” pun menggelisahkan kekhawatiran yang sama. Di sana, Romo Magnis mengungkapkan bahwa pluralisme di Indonesia memang masih terawat. Akan tetapi, tak dapat dimungkiri bahwa kebhinekaan Indonesia juga sedang dicoba diruntuhkan oleh beberapa pihak yang radikal yang sedikit alergi terhadap keberagaman. Dalam kamusnya, Romo Magnis Suseno mengatakan bahwa kita sedang berada di lereng yang licin. Dan, jika saja tidak hati-hati, tidak mustahil bahwa kita akan jatuh terperosok pada pertengkaran yang kelam.
Seperti kata Romo Magnis, kita memang tidak sebergejolak perang sektarian yang ada di daerah Timur Tengah. Hanya, jika pemerintah tetap acuh tak acuh pada sekelompok orang yang sudah buka-bukaan pada niatnya untuk menghapuskan demokrasi dan pluralisme, sudah dapat dipastikan bahwa negeri ini pun bisa mengikuti jejak perang saudara yang seperti itu. Dan, inilah kekhawatiran tersebut, yaitu ketika pada akhirnya keberagaman hanya sebatas semboyan yang tidak mendarat pada substansi kebangsaan. Sekarang, bagaimana kita menanggapi hal tersebut? Apakah cukup sebatas mengkaji? Mengutuk? Atau sebatas menasihati?
Rasanya tidak. Buktinya, selama ini kita sudah banyak mengkaji, termasuk melalui berbagai pendalaman ilmiah dan survei-survei. Kita pun hampir saja selalu berusaha menjadi yang terdepan untuk mengutuk manakala terjadi kekerasan atas dasar sentimen yang dapat mengoyak keberagaman seperti yang baru-baru ini terjadi di Sleman. Tidak lupa, kita bahkan telah memberi nasihat, baik melalui tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun pemerintah. Sialnya, tindakan kekerasan yang dapat mengoyak keberagaman ini tidak pernah berhenti. Bahkan ada kecenderungan makin intens. Lihatlah, masih saja ada penyekatan yang harus kita akui keberadaannya di masyarakat, yaitu dikotomi istilah kafir dan benar.
Istilah inilah yang kemudian terawat dan tertanam di masyarakat. Apalagi, kita tidak mengenal yang namanya pembelajaran agama yang bersifat inter-religius, kecuali monoreligius. Nah, melalui pembelajaran agama yang bersifat monoreligius seperti inilah siswa kemudian digiring mempelajari agamanya sendiri sehingga secara tidak terduga, di benak siswa tertanam pengakuan sepihak bahwa agamanyalah yang benar, sementara agama yang lain salah atau kafir. Yakinlah, secara tidak langsung, pembelajaran agama yang seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya keberagaman.
Jangan Tergelincir!
Mari, tidak usah berpura-pura yang lalu sama-sama mengutuk kekerasan atas dasar sentimen SARA. Mengutuk saja tidak cukup, apalagi pada saat yang sama kita malah mendorong supaya hal tersebut dilakukan lagi. Sederhana saja, kalau benar-benar ingin merawat pluralisme, kita harus berani berembuk bersama.
Saya rumuskan begini, jika agama menjadi dasar perpecahan, mari sedikit mungkin hilangkan embel-embel agama. Tidak perlu ada sebutan-sebutan agama secara spesial di lapangan. Agama adalah urusan personal, bukan publik. Jika saja urusan agama itu digeneralisasikan menjadi urusan publik, di saat itulah kita sudah gagal merawat keberagaman yang lalu menciderai makna agama yang sebenarnya bermakna tidak kacau.
Nah, di sinilah, pemerintah perlu hadir secara tegas. Jangan mengulur-ulur, apalagi bersifat acuh tak acuh. Yakinlah, sikap acuh tak acuh ini telah dibaca secara keliru oleh mereka yang berpandangan radikal. Dan, saya percaya, kekerasan yang menyentuh hal-hal sensitif ini kerap terjadi karena memang pemerintah-kita selalu gagal untuk menderadikalisasi oknum-oknum yang terlibat di dalamnya. Pada saat yang sama, masyarakat pun tidak dicoba disadarkan akan betapa pentingnya keberagaman. Pelan-pelan, dalam diri masyarakat tertanam sebuah pembelajaran dan pemahaman sepihak bahwa keberagaman itu adalah murka, bukan anugerah. Akhirnya, rakyat pun saling mencurigai yang berbuntut pada tindakan saling mengintip. Bagi mereka, manusia benar-benar menjadi binatang seperti pada terminologi Aristoteles, animale rationale. Nalar pun terjungkal sehingga kekuatan logika runtuh karena logika kekuatan, terutama logika kekerasan.
Maka, sebelum kita tergelincir di lereng yang licin ini, marilah melalui pemerintah untuk tidak lagi diam, apalagi mendiamkan. Jangan hanya banyak berkoar, tetapi sedikit penyelesaian. Jangan pula melulu berdebat, tetapi miskin ide sebagai solusi alternatif. Bila perlu, mari mencontek dari negara yang boleh dikatakan sudah sukses merawat pluralisme. Seperti Korea, misalnya, telah berhasil membuat bandaranya memiliki tempat ibadah tiap-tiap agama. Di London sebagai negara yang bahkan cenderung kapitalisme pun membuat hal yang sama, tepatnya di Bandara Heathrow ada tulisan Interfaith Prayer and Meditation Room. Kini di Indonesia, apakah kita dapat melakukan hal yang sama demi merawat pluralisme untuk kemudian tidak tergelincir di lereng yang licin ini? Semoga! ***
Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.

0 comments: