Antisipasi Manipulasi Suara
Oleh: Riduan Situmorang
Pilpres akhirnya sudah usai. Sebagai hajatan terbesar demokrasi, kita tentunya bangga
karena sudah berhasil melewatinya dengan berbagai catatan di sana-sini.
Akan tetapi, terlepas dari berbagai catatan itu, kita pantas berbangga
hanya karena memang kita sudah melewatinya.
Nah, karena kita sepakat bahwa Pilpres adalah pesta terbesar yang
tentunya menggelontorkan banyak modal, baik materi, sosial, psikologis,
maupun waktu, kita pun secara moral menjadi diwajibkan untuk
mengevaluasi, merayakan, mengantisipasi, terutama mengawal suara itu
dengan aman hingga ke KPU pusat. Memang, selepas perayaan pada setiap
pesta mahabesar, kita akan kelelahan. Hanya saja, kelelahan tidak
menjadi dasar pertimbangan untuk kembali acuh tak acuh terhadap
pengawalan suara. Yang penting, kita tidak boleh terlalu larut dalam
euforia hanya karena sudah usai melaksanakan hajatan. Kita harus
mengawal suara dan mencoba mengantispasi potensi kecurangan yang
bisa-bisa saja terjadi di segala lini.
Beban Moral yang Berat
Pengawalan ini pun menjadi penting karena hal itu merupakan langkah
aktif bagi kita sebagai antisipasi untuk menghasilkan pemimpin yang
terbaik untuk bangsa ini. Apalagi, pada Pilpres kali ini, sosok yang
ditawarkan kepada kita hanya dua pasangan. Keadaan inilah yang kemudian
menampilkan sekaligus dua wajah kepada kita. Wajah pertama, misalnya,
kita akan terasa gampang untuk menentukan pilihan, sementara wajah
lainnya, kita akan terlihat gamang karena belakangan ini
sentimen-sentimen negatif selalu saja berisik menerpa kedua pasangan.
Syukurnya, keberisikan sentimen-sentimen negatif melalui kampanye
hitam atau bahkan fitnah ini secara tidak terduga telah mengaktifkan
libido masyarakat untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi di
balik itu semua. Hanya saja, yang kita takutkan kemudian adalah ketika
masyarakat mudah terpengaruh, apalagi terprovokasi sehingga mereka
memilih sebatas prosedural dan semata dilandasi hanya karena kesamaan
primordial, bukan karena kedekatan emosional.
Percayalah, Pilpres dan Pileg merupakan dua hal yang berbeda. Pada
Pileg, kita tentunya hanya akan memilih satu tokoh dan akan menghasilkan
banyak tokoh. Jika saja, misalnya, kita salah memilih dalam Pileg,
beban moral kita tidak terlalu besar karena tokoh yang kita pilih masih
bisa ditegur oleh tokoh lainnya melalui rapat di DPR. Artinya, tokoh
yang barangkali kita keliru memilihnya ketika Pileg masih bisa
diantisipasi oleh tokoh lain yang dipilih orang lain. Akan tetapi, dalam
hal Pilpres, beban moral kita berlipat-lipat akan lebih berat apabila
dibandingkan dengan Pileg. Sederhananya begini, kita hanya memilih satu
tokoh saja dan hanya akan menghasilkan satu tokoh pula. Jika dia salah,
tentu kesempatan untuk menegurnya sangat kecil. Benar, impeachment atau
bahkan pemakzulan dapat dilakukan. Hanya, impeachment dan pemakzulan
sangat sulit dilakukan.
Nah, karena beban moral yang berat inilah yang tentunya mewajibkan
kita supaya secara aktif untuk ikut terus mengawal keabsahan suara. Saya
tidak mengatakan bahwa Pilpres kali ini telah menghasilkan banyak
kecurangan. Hanya saja, kita tidak boleh menganggap sepele, apalagi
menisbikan potensi kecurangan. Hal itu wajar karena bagaimanapun, kedua
pasangan jauh di dalam hati hanya bersiap menang. Mereka tidak bersiap
kalah. Kalaupun misalnya tokoh yang dijagokan bersiap kalah, apakah hal
itu sudah paralel bahwa para pendukung terutama timses dan partai
pengusung dari setiap pasangan juga sudah bersiap kalah?
Tidak Ikhlas Kalah
Belum tentu! Bukti kasarnya adalah kampanye hitam. Yakinlah, kampanye
hitam merupakan gejala awal bahwa kedua pasangan tidak ikhlas untuk
kalah. Nah, gejala ini pulalah yang kemudian mengantarkan kedua pasangan
pada posisi abu-abu yang sukar untuk ditafsirkan dan sukar pula untuk
tidak diakui keberadaannya, yaitu bahwa masing-masing pasangan tidak
ikhlas untuk menerima kekalahan. Akhirnya, seperti kata Komaruddin
Hidayat, salah satu pasangan belum tentu akan menang karena dia benar.
Begitu juga sebaliknya. Hal ini tentu paralel dengan statement yang
menyatakan bahwa kebenaran yang tidak terorganisasi dengan baik dapat
dikalahkan dengan kebatilan yang terkoordinasi dengan apik. Artinya,
potensi kecurangan masih sangat besar, apalagi kalau kedua pasangan
didasarkan pada ambisi, bukan pada niat, apalagi amanah.
Karena itu, marilah sama-sama menjaga serta mengantisipasi agar suara
rakyat tidak digadaikan dengan berbagai modus. Kita harus berani
berkaca pada Pileg 2014 yang baru saja kita hajatkan. Dimana pada Pileg 9
April kemarin, kecurangan bahkan sudah ada mulai dari tahap persiapan,
pelaksanaan, pasca-pencoblosan yang melibatkan berbagai pihak seperti
KPUD, Bawaslu Daerah, KPPS, PPS, dan PPK. Nah, jika Pileg ini kita
paralelkan dengan Pilpres, tentu Pilpres pun rawan dengan tindakan
kecurangan.
Pada akhirnya, jika misalnya semua kekhawatiran kita, yaitu
manipulasi suara benar-benar terbukti, kita sendirilah pertama-tama yang
patut dipersalahkan. Dengan kata lain, kita pelakunya dan kita pulalah
yang menjadi korban. Karena itu, marilah sama-sama mengawal suara
Pilpres ini agar kemenangan rakyat benar-benar menjadi kebenaran rakyat
yang diperoleh melalui suara yang jujur, bukan manipulasi. Jangan kita
biarkan suara rakyat terbentur pada segala kepentingan, apalagi kalau
terbentur pada kecurangan hanya karena politik kepentingan, terutama
ambisi dan klaim sepihak. ***
Penulis adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor
Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed,
aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.





0 comments:
Post a Comment