Tuesday, 15 July 2014

Antisipasi Manipulasi Suara

Antisipasi Manipulasi Suara


Oleh: Riduan Situmorang
Pilpres akhirnya sudah usai. Sebagai hajatan terbesar demokrasi, kita tentunya bangga karena sudah berhasil melewatinya dengan berbagai catatan di sana-sini. Akan tetapi, terlepas dari berbagai catatan itu, kita pantas berbangga hanya karena memang kita sudah melewatinya. 
Nah, karena kita sepakat bahwa Pilpres adalah pesta terbesar yang tentunya menggelontorkan banyak modal, baik materi, sosial, psikologis, maupun waktu, kita pun secara moral menjadi diwajibkan untuk mengevaluasi, merayakan, mengantisipasi, terutama mengawal suara itu dengan aman hingga ke KPU pusat. Memang, selepas perayaan pada setiap pesta mahabesar, kita akan kelelahan. Hanya saja, kelelahan tidak menjadi dasar pertimbangan untuk kembali acuh tak acuh terhadap pengawalan suara. Yang penting, kita tidak boleh terlalu larut dalam euforia hanya karena sudah usai melaksanakan hajatan. Kita harus mengawal suara dan mencoba mengantispasi potensi kecurangan yang bisa-bisa saja terjadi di segala lini.
Beban Moral yang Berat
Pengawalan ini pun menjadi penting karena hal itu merupakan langkah aktif bagi kita sebagai antisipasi untuk menghasilkan pemimpin yang terbaik untuk bangsa ini. Apalagi, pada Pilpres kali ini, sosok yang ditawarkan kepada kita hanya dua pasangan. Keadaan inilah yang kemudian menampilkan sekaligus dua wajah kepada kita. Wajah pertama, misalnya, kita akan terasa gampang untuk menentukan pilihan, sementara wajah lainnya, kita akan terlihat gamang karena belakangan ini sentimen-sentimen negatif selalu saja berisik menerpa kedua pasangan.
Syukurnya, keberisikan sentimen-sentimen negatif melalui kampanye hitam atau bahkan fitnah ini secara tidak terduga telah mengaktifkan libido masyarakat untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi di balik itu semua. Hanya saja, yang kita takutkan kemudian adalah ketika masyarakat mudah terpengaruh, apalagi terprovokasi sehingga mereka memilih sebatas prosedural dan semata dilandasi hanya karena kesamaan primordial, bukan karena kedekatan emosional.
Percayalah, Pilpres dan Pileg merupakan dua hal yang berbeda. Pada Pileg, kita tentunya hanya akan memilih satu tokoh dan akan menghasilkan banyak tokoh. Jika saja, misalnya, kita salah memilih dalam Pileg, beban moral kita tidak terlalu besar karena tokoh yang kita pilih masih bisa ditegur oleh tokoh lainnya melalui rapat di DPR. Artinya, tokoh yang barangkali kita keliru memilihnya ketika Pileg masih bisa diantisipasi oleh tokoh lain yang dipilih orang lain. Akan tetapi, dalam hal Pilpres, beban moral kita berlipat-lipat akan lebih berat apabila dibandingkan dengan Pileg. Sederhananya begini, kita hanya memilih satu tokoh saja dan hanya akan menghasilkan satu tokoh pula. Jika dia salah, tentu kesempatan untuk menegurnya sangat kecil. Benar, impeachment atau bahkan pemakzulan dapat dilakukan. Hanya, impeachment dan pemakzulan sangat sulit dilakukan.
Nah, karena beban moral yang berat inilah yang tentunya mewajibkan kita supaya secara aktif untuk ikut terus mengawal keabsahan suara. Saya tidak mengatakan bahwa Pilpres kali ini telah menghasilkan banyak kecurangan. Hanya saja, kita tidak boleh menganggap sepele, apalagi menisbikan potensi kecurangan. Hal itu wajar karena bagaimanapun, kedua pasangan jauh di dalam hati hanya bersiap menang. Mereka tidak bersiap kalah. Kalaupun misalnya tokoh yang dijagokan bersiap kalah, apakah hal itu sudah paralel bahwa para pendukung terutama timses dan partai pengusung dari setiap pasangan juga sudah bersiap kalah?
Tidak Ikhlas Kalah
Belum tentu! Bukti kasarnya adalah kampanye hitam. Yakinlah, kampanye hitam merupakan gejala awal bahwa kedua pasangan tidak ikhlas untuk kalah. Nah, gejala ini pulalah yang kemudian mengantarkan kedua pasangan pada posisi abu-abu yang sukar untuk ditafsirkan dan sukar pula untuk tidak diakui keberadaannya, yaitu bahwa masing-masing pasangan tidak ikhlas untuk menerima kekalahan. Akhirnya, seperti kata Komaruddin Hidayat, salah satu pasangan belum tentu akan menang karena dia benar. Begitu juga sebaliknya. Hal ini tentu paralel dengan statement yang menyatakan bahwa kebenaran yang tidak terorganisasi dengan baik dapat dikalahkan dengan kebatilan yang terkoordinasi dengan apik. Artinya, potensi kecurangan masih sangat besar, apalagi kalau kedua pasangan didasarkan pada ambisi, bukan pada niat, apalagi amanah.
Karena itu, marilah sama-sama menjaga serta mengantisipasi agar suara rakyat tidak digadaikan dengan berbagai modus. Kita harus berani berkaca pada Pileg 2014 yang baru saja kita hajatkan. Dimana pada Pileg 9 April kemarin, kecurangan bahkan sudah ada mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, pasca-pencoblosan yang melibatkan berbagai pihak seperti KPUD, Bawaslu Daerah, KPPS, PPS, dan PPK. Nah, jika Pileg ini kita paralelkan dengan Pilpres, tentu Pilpres pun rawan dengan tindakan kecurangan.
Pada akhirnya, jika misalnya semua kekhawatiran kita, yaitu manipulasi suara benar-benar terbukti, kita sendirilah pertama-tama yang patut dipersalahkan. Dengan kata lain, kita pelakunya dan kita pulalah yang menjadi korban. Karena itu, marilah sama-sama mengawal suara Pilpres ini agar kemenangan rakyat benar-benar menjadi kebenaran rakyat yang diperoleh melalui suara yang jujur, bukan manipulasi. Jangan kita biarkan suara rakyat terbentur pada segala kepentingan, apalagi kalau terbentur pada kecurangan hanya karena politik kepentingan, terutama ambisi dan klaim sepihak. ***
Penulis adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed.

0 comments: