Partai Memecat Kadernya
Oleh: Riduan Situmorang
Pilpres kali ini
memang sangat unik dan terkesan sangat sengit. Akhirnya, timses dari
kedua capres pun bekerja keras untuk memenangkan jagoannya. Hanya,
kemudian hari kita dengar, ada beberapa kampanye hitam yang merupakan
turunan langsung dari fitnah berkelindan dengan bebas. Bahkan, ada
majalah yang khusus untuk menyerang satu pasangan kandidat. Ironisnya,
walaupun majalah itu benar-benar berisi kampanye hitam, pemerintah
tampak diam dan tidak
langsung menindak siapa yang sebenarnya bersembunyi di balik pendirian
majalah tersebut. Jangankan berusaha untuk mencegat, majalah itu bahkan
dengan bebasnya terbit untuk kesekian kalinya. Ada apa gerangan?
Nah, hal yang paling membuat miris kemudian adalah ketika ada
beberapa partai yang memecat kadernya dengan alasan politis yang tidak
cukup kuat. Sebut saja Golkar yang baru-baru ini memecat beberapa
kadernya hanya karena kader tersebut memilih kandidat yang tidak
dijagokan oleh partainya. Dengan alasan itulah kemudian partai beringin
ini memanipulasi rakyat yang lalu menggantinya dengan secara suka-suka
partai. Apakah hal ini cerminan demokrasi yang sehat? Saya curiga, kalau
hal ini dibiarkan begitu saja, sudah pasti Golkar tidak lagi mendengar
suara rakyat, tetapi mendengar suara politik
elite-elitenya. Jelas, bukankah Agus Gumiyang, Nusron Wahid, dan
Poempida Hidayatulloh adalah anggota DPR terpilih yang dipilih oleh
rakyat? Nah, kalau Golkar menggantinya hanya karena kasus beda pendapat,
apakah hal itu adil dan apakah hal itu merupakan cerminan dari
demokrasi yang sehat?
Pergeseran Nilai
Jujur, saya bukan anggota partai apa pun. Jadi, saya tidak tahu
persis bagaimana aturan partai. Yang saya tahu, setiap partai adalah
tempat untuk pendidikan politisi. Dan, politisi itu kemudian akan
disayembarakan melalui yang namanya Pemilu atau bahkan Pileg. Setelah
melalui sayembara itu, politisi tersebut akan terpilih berdasarkan suara
terbanyak. Artinya, partai hanya memberi tokoh, bukan menempatkan
tokoh. Jadi, kalau ada partai yang lalu menolak dan menangguhkan
kedudukan seorang tokoh di kursi DPR atau eksekutif hanya karena kasus
beda pendapat dan bukan karena tindakan kriminal, hal itu merupakan
pencideraan terhadap suara rakyat. Lagipula, partai pun harus tunduk
pada aturan negara. Partai
tidak bisa suka-suka hati mengganti seorang tokoh hanya karena perbedaan
pendapat. Bukankah perbedaan pendapat adalah hanya sebatas beda cara
memandang?
Nah, di sinilah saya kemudian membaca bahwa telah terjadi pergeseran
nilai tata demokrasi. Demokrasi sudah lebih mendengar suara partai
ketimbang suara rakyat. Partai sudah identik dengan gerombolan para
pencuri rente kekuasaan,
bukan penyaring pemimpin. Alhasil, apa pun akan dilakukan yang penting
kekuasaan dapat diraih, terlepas apakah hal itu diraih secara fair atau
malah kotor. Maka. Jangan heran jika selama ini kita melihat parpol
hanya sibuk dengan jargon-jargonnya yang hanya berusaha untuk meraih
simpatik, bukan menumbuhkan simpatik melalui berbagai kegiatan yang
dapat menumbuhkan kesadaran berpolitik yang sehat.
Lihat, selama ini sejumlah partai yang menjadi rahim para pemimpin
kita hanya dipenuhi sosok-sosok yang sangat konroversial dan apabila
boleh dikatakan sangat kotor. Di sinilah kita kemudian terjebak, yaitu
ketika partai tidak kuasa bahkan tidak berniat untuk memecat kadernya
yang sudah terbukti korupsi. Partai lebih leluasa memecat kadernya yang
beda pendapat, tapi ragu menghukum kadernya yang sudah jelas-jelas
terjerat korupsi. Bahkan, berita yang mengikuti kemudian yang kita
saksikan adalah ketika partai terkesan berusaha untuk menyelamatkan
kadernya yang korupsi. Ada apa gerangan? Mengapa partai melindungi
kadernya yang korupsi dan menghukum mereka yang beda pendapat? Apakah
partai lebih mengutamakan kepentingan daripada kebebasan berpandangan?
Lalu, bukankah pada prinsipnya loyalitas kepada partai akan berakhir
ketika loyalitas kepada negara dimulai?
Sejatinya memang demikian. Akan tetapi di negeri
ini, semua regulasi dijungkirbalikkan. Nalar dan logika pun
terbirit-birit ditindih kepentingan. Orang yang baik bahkan hampir tidak
akan bisa menempuh puncak
karier kalau mereka hanya mengandalkan kejujuran. Tameng kebersahajaan
dan membela rakyat hanyalah nama lain dari pencitraan sehingga tujuan
mulia dari politik itu menjadi terabaikan. Akhirnya, demi kepentingan,
perbedaan pendapat pun menjadi hal yang haram. Karena itu, sesuatu yang
tidak wajar menjadi dianggap wajar. Itulah politik. Dia hanya akan
dililit kepentingan. Sekarang bisa saja dipecat, tapi ke depan bisa
malah dipuja.
Sekali lagi, itulah dinamika politik. Hanya yang kita khawatir dan
kita sesalkan adalah ketika partai selalu kekeh dengan pendiriannya yang
sudah usang. Kita bahkan tidak akan habis pikir ketika partai hanya
berani memecat kadernya yang membelot, tidak malah memecat kadernya yang
sudah terbukti mencuri uang rakyat. Pertanyaannya, apakah kita akan
selalu membiarkan hal ini terus terjadi tanpa ada intervensi edukatif
dari kita sebagai korban dari politisasi yang ada di lingkaran elite
partai? Atau, apakah kita akan bergerak dan mulai bijak untuk
menempatkan diri pada situasi-situasi genting seperti ini? Saya tidak
tahu. Yang saya tahu, kita akan selalu saja tetap menjadi korban,
apalagi kalau kita hanya sebatas menerima tanpa mau memberi gugatan dan
jalan keluar. Intinya, semuanya kembali kepada kita dan kita menjadi
terbebani secara moral untuk
segera ikut dalam membenahinya jika memang kita benar-benar merindukan
perubahan. Mudah-mudahan ke depan kita tidak lagi menjadi korban
politik! ***
Penulis adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia
dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St.
Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus
Unimed
0 comments:
Post a Comment