Friday, 4 July 2014

Partai Memecat Kadernya

Partai Memecat Kadernya

Oleh: Riduan Situmorang
Pilpres kali ini memang sangat unik dan terkesan sangat sengit. Akhirnya, timses dari kedua capres pun bekerja keras untuk memenangkan jagoannya. Hanya, kemudian hari kita dengar, ada beberapa kampanye hitam yang merupakan turunan langsung dari fitnah berkelindan dengan bebas. Bahkan, ada majalah yang khusus untuk menyerang satu pasangan kandidat. Ironisnya, walaupun majalah itu benar-benar berisi kampanye hitam, pemerintah tampak diam dan tidak langsung menindak siapa yang sebenarnya bersembunyi di balik pendirian majalah tersebut. Jangankan berusaha untuk mencegat, majalah itu bahkan dengan bebasnya terbit untuk kesekian kalinya. Ada apa gerangan?
Nah, hal yang paling membuat miris kemudian adalah ketika ada beberapa partai yang memecat kadernya dengan alasan politis yang tidak cukup kuat. Sebut saja Golkar yang baru-baru ini memecat beberapa kadernya hanya karena kader tersebut memilih kandidat yang tidak dijagokan oleh partainya. Dengan alasan itulah kemudian partai beringin ini memanipulasi rakyat yang lalu menggantinya dengan secara suka-suka partai. Apakah hal ini cerminan demokrasi yang sehat? Saya curiga, kalau hal ini dibiarkan begitu saja, sudah pasti Golkar tidak lagi mendengar suara rakyat, tetapi mendengar suara politik elite-elitenya. Jelas, bukankah Agus Gumiyang, Nusron Wahid, dan Poempida Hidayatulloh adalah anggota DPR terpilih yang dipilih oleh rakyat? Nah, kalau Golkar menggantinya hanya karena kasus beda pendapat, apakah hal itu adil dan apakah hal itu merupakan cerminan dari demokrasi yang sehat?
Pergeseran Nilai
Jujur, saya bukan anggota partai apa pun. Jadi, saya tidak tahu persis bagaimana aturan partai. Yang saya tahu, setiap partai adalah tempat untuk pendidikan politisi. Dan, politisi itu kemudian akan disayembarakan melalui yang namanya Pemilu atau bahkan Pileg. Setelah melalui sayembara itu, politisi tersebut akan terpilih berdasarkan suara terbanyak. Artinya, partai hanya memberi tokoh, bukan menempatkan tokoh. Jadi, kalau ada partai yang lalu menolak dan menangguhkan kedudukan seorang tokoh di kursi DPR atau eksekutif hanya karena kasus beda pendapat dan bukan karena tindakan kriminal, hal itu merupakan pencideraan terhadap suara rakyat. Lagipula, partai pun harus tunduk pada aturan negara. Partai tidak bisa suka-suka hati mengganti seorang tokoh hanya karena perbedaan pendapat. Bukankah perbedaan pendapat adalah hanya sebatas beda cara memandang?
Nah, di sinilah saya kemudian membaca bahwa telah terjadi pergeseran nilai tata demokrasi. Demokrasi sudah lebih mendengar suara partai ketimbang suara rakyat. Partai sudah identik dengan gerombolan para pencuri rente kekuasaan, bukan penyaring pemimpin. Alhasil, apa pun akan dilakukan yang penting kekuasaan dapat diraih, terlepas apakah hal itu diraih secara fair atau malah kotor. Maka. Jangan heran jika selama ini kita melihat parpol hanya sibuk dengan jargon-jargonnya yang hanya berusaha untuk meraih simpatik, bukan menumbuhkan simpatik melalui berbagai kegiatan yang dapat menumbuhkan kesadaran berpolitik yang sehat.
Lihat, selama ini sejumlah partai yang menjadi rahim para pemimpin kita hanya dipenuhi sosok-sosok yang sangat konroversial dan apabila boleh dikatakan sangat kotor. Di sinilah kita kemudian terjebak, yaitu ketika partai tidak kuasa bahkan tidak berniat untuk memecat kadernya yang sudah terbukti korupsi. Partai lebih leluasa memecat kadernya yang beda pendapat, tapi ragu menghukum kadernya yang sudah jelas-jelas terjerat korupsi. Bahkan, berita yang mengikuti kemudian yang kita saksikan adalah ketika partai terkesan berusaha untuk menyelamatkan kadernya yang korupsi. Ada apa gerangan? Mengapa partai melindungi kadernya yang korupsi dan menghukum mereka yang beda pendapat? Apakah partai lebih mengutamakan kepentingan daripada kebebasan berpandangan? Lalu, bukankah pada prinsipnya loyalitas kepada partai akan berakhir ketika loyalitas kepada negara dimulai?
Sejatinya memang demikian. Akan tetapi di negeri ini, semua regulasi dijungkirbalikkan. Nalar dan logika pun terbirit-birit ditindih kepentingan. Orang yang baik bahkan hampir tidak akan bisa menempuh puncak karier kalau mereka hanya mengandalkan kejujuran. Tameng kebersahajaan dan membela rakyat hanyalah nama lain dari pencitraan sehingga tujuan mulia dari politik itu menjadi terabaikan. Akhirnya, demi kepentingan, perbedaan pendapat pun menjadi hal yang haram. Karena itu, sesuatu yang tidak wajar menjadi dianggap wajar. Itulah politik. Dia hanya akan dililit kepentingan. Sekarang bisa saja dipecat, tapi ke depan bisa malah dipuja.
Sekali lagi, itulah dinamika politik. Hanya yang kita khawatir dan kita sesalkan adalah ketika partai selalu kekeh dengan pendiriannya yang sudah usang. Kita bahkan tidak akan habis pikir ketika partai hanya berani memecat kadernya yang membelot, tidak malah memecat kadernya yang sudah terbukti mencuri uang rakyat. Pertanyaannya, apakah kita akan selalu membiarkan hal ini terus terjadi tanpa ada intervensi edukatif dari kita sebagai korban dari politisasi yang ada di lingkaran elite partai? Atau, apakah kita akan bergerak dan mulai bijak untuk menempatkan diri pada situasi-situasi genting seperti ini? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, kita akan selalu saja tetap menjadi korban, apalagi kalau kita hanya sebatas menerima tanpa mau memberi gugatan dan jalan keluar. Intinya, semuanya kembali kepada kita dan kita menjadi terbebani secara moral untuk segera ikut dalam membenahinya jika memang kita benar-benar merindukan perubahan. Mudah-mudahan ke depan kita tidak lagi menjadi korban politik! ***
Penulis adalah Staf Pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed

0 comments: