Pilpres, Puasa, dan Uang Haram
Oleh: Riduan Situmorang
Pilpres kali ini boleh dikatakan sangat unik. Unik karena memang selain
diikuti oleh dua pasangan saja, Pilpres kali ini pun bertepatan pada
bulan puasa, yaitu bulan yang di dalamnya umat diarahkan untuk menjadi
saleh dan menentang segala hawa nafsu. Dan, kesalehan yang diharapkan
pun tidak sebatas kesalehan ritual, tetapi juga harus terliput dalam
kesalehan sosial. Artinya, tidak perlu selalu rajin beribadah kalau
substansinya tidak ada. Dalam ranah kampanyenya, tidak perlu ada janji
dan retorika, tetapi perlu pembuktian, setidaknya pembuktian dari rekam
jejak.
Masalahnya adalah, seringkali negara kita hanya kaya akan
ritual-ritual dan lambang-lambang yang peruntukan dan arahnya tidak kita
ketahui. Seringkali pula kita sebagai mahluk yang mengaku religius
tergopoh-gopoh yang lalu mengatasnamakan Tuhan sebagai penguatan
terhadap obralan janji-janji.
Bahkan, dalam kampanye yang kita saksikan, ada tokoh-tokoh masyarakat
yang mengkafirkan salah satu kandidat melalui kampanye hitam. Sialnya,
ada pula yang terlanjur mengatakan bahwa kontestasi Pilpres kali ini
adalah ibarat Perang Badar. Terlepas dari itu semua, kita harus sadar
bahwa hal itu merupakan hal yang sangat antitesis dengan semangat
kereligiusan dan puasa kita.
Dalam Tameng Agama
Memang, jika kita lihat di berbagai media, tampak kedua pasangan
berlomba-lomba untuk memesrai media melalui iklan dan ucapan-ucapan
selamat berpuasa seakan mereka adalah sosok yang sangat religius. Tetapi
dalam praktiknya sangat jauh berbeda. Di lapangan, kita diramaikan
dengan acara buka puasa bersama gratis dalam tanda kutip di tempat para
timses kedua pasangan capres-cawapres. Tidak dapat kita bantah, beberapa
dari timses itu pun memberi amplop sebagai pengganti buka puasa.
Sialnya, kita menganggap hal itu semua adalah wajar sehingga tanpa
merasa bersalah, kita malah menggadaikan suara hanya karena sebuah
amplop buka puasa.
Sekali lagi, hal itu sangat antitesis dengan semangat demokrasi kita.
Kita mengharamkan dinasti, tetapi kita menghalalkan politik uang yang
diselundupkan melalui tameng-tameng ritual agama. Kita merindukan
pemimpin bersih, tetapi mata kita masih saja silau pada
lembaran-lembaran uang yang ditabur para timses.
Sialnya lagi, kita tidak mau memilih hanya karena tidak mendapat
jatah yang pas dengan porsi yang kita inginkan. Artinya, kita merindukan
perubahan, tetapi kita sendiri tidak mau berubah dan bertindak sehingga
kita tetap saja menjadi pribadi yang tidak bergerak. Akhirnya, jadilah
kita dengan mudah digiring oleh salah satu pasangan hanya karena alasan
materi dan primordialisme.
Dengan secara terbuka, makna dan substansi puasa pun direduksi. Puasa
benar-benar menjadi tameng dan sarana untuk berkampanye. Maaf, saya
tidak mengatakan kampanye pada masa puasa sebagai sebuah kesalahan.
Hanya saja, sejauh saya memandang, masa puasa ini lebih condong
ditunggangi oleh mereka yang telah terkungkung pada pola pikir
pragmatisme dan oportunisme. Maka, jadilah puasa sebagai tameng dan
ritual yang tidak menyentuh definisinya yang paling mendasar. Padahal,
kampanye pada masa puasa sebenarnya dapat diorkestrasi menjadi sebuah
kampanye jujur. Alasannya jelas, dalam masa puasa, orang per orang,
terutama mereka yang Islam diharuskan untuk berperilaku jujur.
Akan tetapi, apa yang kita harapkan ternyata tidak kesampaian. Masih
jauh panggang dari api. Akhirnya, uang haram Pilpres pun berkelindan di
tengah masyarakat. Bahkan, ada kesan politik uang makin deras.
Memang, tampilannya dibungkus dalam tameng agama, tetapi isinya penuh
dengan maksud-maksud politik uang. Maka, suara pun direduksi menjadi
sebatas alat transaksi, bukan aspirasi. Pelan-pelan, mereka yang
terpilih melalui transaksi suara ini pun secara tidak kita sadari akan
menjadikan rakyat sebagai alat respirasi, bukan sumber inspirasi. Dengan
begitu, korupsi akan menjadi budaya yang terus berkembang.
Korupsi sebagai Kebudayaan
Percayalah, sampai detik ini kita masih tetap dililit korupsi karena
memang selama ini kita masih bersikap permisif terhadap guyuran politik
uang. Sikap inilah yang kemudian mengubah wajah korupsi dari kutukan
menjadi kebudayaan. Lihat, KPK memang makin gencar memburu para
koruptor, tetapi siapa yang dapat membantah kalau jumlah koruptor kian
hari kian jamak?
Koruptor tidak lagi mempunyai rasa malu karena bagi mereka korupsi
bukan lagi sebuah kesalahan, melainkan kebudayaan yang harus
dilestarikan. Hal itu memang ironis, tetapi hal itu merupakan cerminan
kenyataan yang selalu kita saksikan yang tidak bisa kita sanggah.
Buktinya banyak, yaitu pejabat kita lebih cenderung menyebut
tersangka korupsi sebagai korban, bukan pelaku. Para pejabat kita pun
berujar bahwa tersangka korupsi sedang bernasib apes. Kalau tidak,
koruptornya dinilai tidak pintar untuk berkelit. Artinya, pejabat kita
sudah mengamini bahwa korupsi itu adalah sebuah budaya. Dia tidak lagi
aib sehingga kolega koruptor sering sowan menjenguk teman mereka yang
lagi apes.
Dan, hal ini semua dipaksakan diubah menjadi sebuah kewajaran karena
pejabat kita meraih kedudukan bukan dengan cara bersih, melainkan dengan
provokasi massal melalui transaksi suara. Nah, di titik inilah saya
yakin, uang haram telah beredar. Uang haram itu bahkan makin banyak
justru di bulan puasa karena Pilpres makin sengit. Di titik ini pulalah
saya makin curiga dan makin khawatir. Kekhawatiran itu tidak lain dan
tidak bukan adalah bahwa negara ini akan tetap berjalan di tempat,
bahkan akan berjalan mundur justru karena ulah kita masing-masing.
Kini pertanyaannya dibalikkan kepada kita, apakah kita hanya sebatas
diam dan mendiamkan sendi-sendi filosofi negara dan demokrasi ini
digerogoti uang haram? Mudah-mudahan kita masih berani untuk sekadar
menjawab Tidak! ***
Penulis staf pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor
Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed,
aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed
0 comments:
Post a Comment