Sunday, 6 July 2014

Pilpres, Puasa, dan Uang Haram

Pilpres, Puasa, dan Uang Haram

Oleh: Riduan Situmorang
Pilpres kali ini boleh dikatakan sangat unik. Unik karena memang selain diikuti oleh dua pasangan saja, Pilpres kali ini pun bertepatan pada bulan puasa, yaitu bulan yang di dalamnya umat diarahkan untuk menjadi saleh dan menentang segala hawa nafsu. Dan, kesalehan yang diharapkan pun tidak sebatas kesalehan ritual, tetapi juga harus terliput dalam kesalehan sosial. Artinya, tidak perlu selalu rajin beribadah kalau substansinya tidak ada. Dalam ranah kampanyenya, tidak perlu ada janji dan retorika, tetapi perlu pembuktian, setidaknya pembuktian dari rekam jejak.
Masalahnya adalah, seringkali negara kita hanya kaya akan ritual-ritual dan lambang-lambang yang peruntukan dan arahnya tidak kita ketahui. Seringkali pula kita sebagai mahluk yang mengaku religius tergopoh-gopoh yang lalu mengatasnamakan Tuhan sebagai penguatan terhadap obralan janji-janji.
Bahkan, dalam kampanye yang kita saksikan, ada tokoh-tokoh masyarakat yang mengkafirkan salah satu kandidat melalui kampanye hitam. Sialnya, ada pula yang terlanjur mengatakan bahwa kontestasi Pilpres kali ini adalah ibarat Perang Badar. Terlepas dari itu semua, kita harus sadar bahwa hal itu merupakan hal yang sangat antitesis dengan semangat kereligiusan dan puasa kita.
Dalam Tameng Agama
Memang, jika kita lihat di berbagai media, tampak kedua pasangan berlomba-lomba untuk memesrai media melalui iklan dan ucapan-ucapan selamat berpuasa seakan mereka adalah sosok yang sangat religius. Tetapi dalam praktiknya sangat jauh berbeda. Di lapangan, kita diramaikan dengan acara buka puasa bersama gratis dalam tanda kutip di tempat para timses kedua pasangan capres-cawapres. Tidak dapat kita bantah, beberapa dari timses itu pun memberi amplop sebagai pengganti buka puasa. Sialnya, kita menganggap hal itu semua adalah wajar sehingga tanpa merasa bersalah, kita malah menggadaikan suara hanya karena sebuah amplop buka puasa.
Sekali lagi, hal itu sangat antitesis dengan semangat demokrasi kita. Kita mengharamkan dinasti, tetapi kita menghalalkan politik uang yang diselundupkan melalui tameng-tameng ritual agama. Kita merindukan pemimpin bersih, tetapi mata kita masih saja silau pada lembaran-lembaran uang yang ditabur para timses.
Sialnya lagi, kita tidak mau memilih hanya karena tidak mendapat jatah yang pas dengan porsi yang kita inginkan. Artinya, kita merindukan perubahan, tetapi kita sendiri tidak mau berubah dan bertindak sehingga kita tetap saja menjadi pribadi yang tidak bergerak. Akhirnya, jadilah kita dengan mudah digiring oleh salah satu pasangan hanya karena alasan materi dan primordialisme.
Dengan secara terbuka, makna dan substansi puasa pun direduksi. Puasa benar-benar menjadi tameng dan sarana untuk berkampanye. Maaf, saya tidak mengatakan kampanye pada masa puasa sebagai sebuah kesalahan. Hanya saja, sejauh saya memandang, masa puasa ini lebih condong ditunggangi oleh mereka yang telah terkungkung pada pola pikir pragmatisme dan oportunisme. Maka, jadilah puasa sebagai tameng dan ritual yang tidak menyentuh definisinya yang paling mendasar. Padahal, kampanye pada masa puasa sebenarnya dapat diorkestrasi menjadi sebuah kampanye jujur. Alasannya jelas, dalam masa puasa, orang per orang, terutama mereka yang Islam diharuskan untuk berperilaku jujur.
Akan tetapi, apa yang kita harapkan ternyata tidak kesampaian. Masih jauh panggang dari api. Akhirnya, uang haram Pilpres pun berkelindan di tengah masyarakat. Bahkan, ada kesan politik uang makin deras.
Memang, tampilannya dibungkus dalam tameng agama, tetapi isinya penuh dengan maksud-maksud politik uang. Maka, suara pun direduksi menjadi sebatas alat transaksi, bukan aspirasi. Pelan-pelan, mereka yang terpilih melalui transaksi suara ini pun secara tidak kita sadari akan menjadikan rakyat sebagai alat respirasi, bukan sumber inspirasi. Dengan begitu, korupsi akan menjadi budaya yang terus berkembang.
Korupsi sebagai Kebudayaan
Percayalah, sampai detik ini kita masih tetap dililit korupsi karena memang selama ini kita masih bersikap permisif terhadap guyuran politik uang. Sikap inilah yang kemudian mengubah wajah korupsi dari kutukan menjadi kebudayaan. Lihat, KPK memang makin gencar memburu para koruptor, tetapi siapa yang dapat membantah kalau jumlah koruptor kian hari kian jamak?
Koruptor tidak lagi mempunyai rasa malu karena bagi mereka korupsi bukan lagi sebuah kesalahan, melainkan kebudayaan yang harus dilestarikan. Hal itu memang ironis, tetapi hal itu merupakan cerminan kenyataan yang selalu kita saksikan yang tidak bisa kita sanggah.
Buktinya banyak, yaitu pejabat kita lebih cenderung menyebut tersangka korupsi sebagai korban, bukan pelaku. Para pejabat kita pun berujar bahwa tersangka korupsi sedang bernasib apes. Kalau tidak, koruptornya dinilai tidak pintar untuk berkelit. Artinya, pejabat kita sudah mengamini bahwa korupsi itu adalah sebuah budaya. Dia tidak lagi aib sehingga kolega koruptor sering sowan menjenguk teman mereka yang lagi apes.
Dan, hal ini semua dipaksakan diubah menjadi sebuah kewajaran karena pejabat kita meraih kedudukan bukan dengan cara bersih, melainkan dengan provokasi massal melalui transaksi suara. Nah, di titik inilah saya yakin, uang haram telah beredar. Uang haram itu bahkan makin banyak justru di bulan puasa karena Pilpres makin sengit. Di titik ini pulalah saya makin curiga dan makin khawatir. Kekhawatiran itu tidak lain dan tidak bukan adalah bahwa negara ini akan tetap berjalan di tempat, bahkan akan berjalan mundur justru karena ulah kita masing-masing.
Kini pertanyaannya dibalikkan kepada kita, apakah kita hanya sebatas diam dan mendiamkan sendi-sendi filosofi negara dan demokrasi ini digerogoti uang haram? Mudah-mudahan kita masih berani untuk sekadar menjawab Tidak! ***
Penulis staf pengajar Bahasa Indonesia dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St. Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus Unimed

0 comments: