Ketika MA Menghukum KPK
|
MASIH ingat dengan Syarifuddin? Dialah salah seorang
dari deretan hakim yang mestinya mengawal hukum dan kenyamanan, tetapi
justru merambah menjadi koruptor dan meresahkan. Hakim Syarifuddin
tersandung korupsi pada kasus suap pengurusan kepailitan PT SkyCamping
Indonesia.
|
Sebenarnya, banyak hakim meresahkan, seperti Ibrahim
yang disogok Adner Sirait dalam kasus sengketa lahan antara PT Sabar
Ganda dan Pemprov DKI Jakarta,
Muhtadi Asnun yang diseret karena kasus suap Gayus Tambunan, Imas
Dianasari, Tejocahyono, lalu Heru Kisbandono yang menyuap Kartini
Juliana Marpaung. Dua nama terakhir bahkan paling tragis karena sesama
hakim pun saling menyuap.
Akan tetapi, yang kemudian makin meresahkan adalah hakim Syarifuddin, sepertinya mengamuk dan balas
dendam. Tidak tanggung-tanggung, hakim Syarifuddin melalui putusan MA
pada Juni 14 2014 malah balik menyerang dan menghukum KPK dengan nilai
nominal Rp 100 juta.
KPK bahkan sudah mental karena gugatan kasasinya kandas dan harus
membayar gugatan sebanyak Rp100 juta. Dalam amar putusannya, MA menilai
KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses penyitaan
barang milik Syarifudin. Ternyata pertimbangan itu diamini oleh majelis
kasasi yang terdiri dari M. Saleh, Abdul Manan, dan Syamsul Maarif.
Putusan yang mengantongi nomor perkara 2407 K/PDT/2012 diketok pada 27
Agustus 2013 lalu. Syamsul sendiri merupakan majelis hakim yang
menghukum KPK untuk membayar Rp 100 juta ke Syarifudin.
Tebang Pilih
Sebenarnya, jika kasus ini berdiri sendiri, rasanya tidak masalah memberi standing aplaus kepada MA karena dengan begitu, KPK akan lebih teliti ketika akan menyidik.
Hanya
saja, jika kasus ini kemudian kita bandingkan dengan kasus serupa, kita
akan sangat menyesal karena ada kecenderungan MA sangat tidak adil dan
terkesan menebang pilih. Lihat, Ket San yang dilepaskan oleh MA karena
menilai kasus yang mebelitnya adalah rekayasa polisi. Kala itu, Ket San
dituduh polisi memiliki dua pil ekstasi saat ditangkap di Jalan Raya Sebangkau No. 7, Kecamatan Selakau, Sambas, Kalimantan Barat,
pada 20 Juni 2009. Oleh Pengadilan Negeri (PN) Sambas dan Pengadilan
Tinggi (PT) Pontianak, Ket San dihukum 4 tahun penjara. Vonis ini
kemudian dianulir MA karena ternyata hal itu hanya rekayasa polisi
belaka.
Setelah yakin hanya terjebak pada rekayasa belaka, akhirnya, Ket San
tidak tinggal diam. Dia merasa dirugikan dengan perbuatan polisi yang
telah menyiksa dan memerasnya Rp 100 juta. Ket San pun melayangkan
gugatan ke Kapolri, Kapolda Kalimantan Barat, dan Kapolres Sambas pada
26 Oktober 2010. Ket San menggugat ketiga petinggi polisi tersebut
sebesar Rp 381 juta untuk kerugian imateril dan Rp 1 miliar untuk
kerugian imaterial. Akan tetapi, Ket San bukanlah Syarifuddin. Ket San
bukan mantan hakim. Dia hanya masyarakat sipil biasa yang tidak
mempunyai jabatan struktural di birokrasi. Karena itu, segala gugatannya
tidak dikabulkan MA. Bahkan di tingkat pertama, gugatannya tidak
direspons sehingga Ket San terpaksa gigit jari sampai di tingkat banding.
Alasannya
sederhana dan memang sangat yuridis, yaitu bahwa tindakan penyidik
menangkap, menyidik, dan menahan yang diduga menyalahgunakan
psikotropika merupakan tugas penyidikan dan tindakan ini merupakan hak
wewenang yang diberikan KUHAP pasal 7 dan pasal 20 tentang penahanan dan
pasal 21 serta ayat 4 yang semuanya itu dilakukan guna kepentingan
pemeriksaan terhadap terdakwa serta saksi maupun bukti lain. Akhirnya,
Ket San rugi secara tumpang tindih. Sudahlah disiksa polisi, gugatannya
untuk mengembalikan wibawanya yang merupakan haknya justru tidak
dikabulkan.
Padahal, jika mengacu pada hukuman yang ditimpakan
MA kepada KPK, harusnya kepolisian, khususnya yang berkaitan dengan
kasus Ket San juga harus ditindak dan dituntut sama untuk membayar ganti
rugi layaknya KPK yang harus membayar ganti rugi. Bahkan lebih karena
pada dasaranya Ket San tidak bersalah. Beda dengan Syarifuddin yang
benar-benar korupsi. Bahkan, jika ingin menimbulkan efek jera terutama
karena tidak memberi teladan, Hakim Syarifuddin malah bisa diganjar
dengan hukuman lebih. Alasannya sederhana, Syarifuddin adalah seorang
hakim dan wakil Tuhan yang mestinya menangani perkara dengan
berkeadilan. Nah, karena dia wakil Tuhan yang membelot, mestinya secara
etis pengadilan harus mempersempit daya jangkaunya terhadap hukum.
Tetapi memang, pola pengadilan dan hukum kita masih sangat tradisional
sehingga hukum hanya akan benar-benar tajam bagi mereka yang miskin dan
akan tumpul bagi mereka yang mempunyai jaringan di pemerintahan
Masih Bisa Ditoleransi
Akan
halnya hukuman MA kepada KPK ini pun harus benar-benar menjadi bahan
evaluasi kepada KPK supaya lebih teliti dalam menyidik. Hanya yang kita
khawatirkan kemudian adalah jika pada akhirnya KPK menjadi terkesan
sangat teliti. Yakinlah, sikap terlalu teliti akan bermuara pada rasa
segan menangkap mereka yang terduga korupsi. Jika hal ini kemudian yang
terjadi, saya curiga daya gencar KPK untuk membasmi para koruptor yang
semakin masif akan mengalami jalan buntu. Nah, kalau ini yang terjadi,
yakinlah, koruptor di negeri ini akan makin berkeliaran.
Jujur,
kita tidak dapat menyalahkan MA jika memang KPK benar-benar bersalah.
Hanya saja, kesalahan KPK masih bisa ditoleransi. Kesalahan KPK hanya
pada prosedur, bukan salah tangkap dan rekayasa seperti Polisi terhadap
Ket San. Artinya, KPK memang menangkap orang benar, yaitu Syarifuddin
yang benar-benar korupsi. Akan menjadi beda, misalnya, jika KPK
menangkap orang yang salah. Lagipula, apakah tidak bisa disamakan bahwa
KPK juga berhak menyidik barang-barang yang dapat diduga layaknya
psikotropika yang menjerat Ket San?
Bagaimanapun, kita apresiasi
langkah MA menghukum KPK. Hanya yang kita harapkan kemudian semoga
kekhawatiran kita kepada KPK yang akan terlalu berhati-hati menangkap
terduga koruptor tidak benar-benar terjadi. Selain itu, kita pun
berharap supaya langkah serupa yang dilakukan Hakim Syarifuddin yang
terhormat tidak diikuti oleh koruptor lain. Kalau ini yang terjadi dan
MA lagi-lagi prokoruptor dan menghukum KPK, maka ini merupakan salah
satu langkah mundur besar bagi kita dalam memberantas korupsi. Mestinya,
akan lebih bijak jika MA hanya memberi koreksi kepada KPK, bukan
hukuman yang membebani. Sekali lagi, kita khawatir kalau langkah serupa
akan diikuti oleh semua koruptor.
(Oleh : Riduan Situmorang) Penulis konselor pendidikan di Prosus Inten Medan |
0 comments:
Post a Comment