Tuesday, 1 July 2014

Ketika MA Menghukum KPK

Ketika MA Menghukum KPK

MASIH ingat dengan Syarifuddin? Dialah salah seorang dari deretan hakim yang mestinya mengawal hukum dan kenyamanan, tetapi justru merambah menjadi koruptor dan meresahkan. Hakim Syarifuddin tersandung korupsi pada kasus suap pengurusan kepailitan PT SkyCamping Indonesia.
Sebenarnya, banyak hakim meresahkan, seperti Ibrahim yang disogok Adner Sirait dalam kasus sengketa lahan antara PT Sabar Ganda dan Pemprov DKI Jakarta, Muhtadi Asnun yang diseret karena kasus suap Gayus Tambunan, Imas Dianasari, Tejocahyono, lalu Heru Kisbandono yang menyuap Kartini Juliana Marpaung. Dua nama terakhir bahkan paling tragis karena sesama hakim pun saling menyuap.

Akan tetapi, yang kemudian makin meresahkan adalah hakim Syarifuddin, sepertinya mengamuk dan balas dendam. Tidak tanggung-tanggung, hakim Syarifuddin melalui putusan MA pada Juni 14 2014 malah balik menyerang dan menghukum KPK dengan nilai nominal Rp 100 juta. KPK bahkan sudah mental karena gugatan kasasinya kandas dan harus membayar gugatan sebanyak Rp100 juta. Dalam amar putusannya, MA menilai KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses penyitaan barang milik Syarifudin. Ternyata pertimbangan itu diamini oleh majelis kasasi yang terdiri dari M. Saleh, Abdul Manan, dan Syamsul Maarif. Putusan yang mengantongi nomor perkara 2407 K/PDT/2012 diketok pada 27 Agustus 2013 lalu. Syamsul sendiri merupakan majelis hakim yang menghukum KPK untuk membayar Rp 100 juta ke Syarifudin.

Tebang Pilih
Sebenarnya, jika kasus ini berdiri sendiri, rasanya tidak masalah memberi standing aplaus kepada MA karena dengan begitu, KPK akan lebih teliti ketika akan menyidik.

Hanya saja, jika kasus ini kemudian kita bandingkan dengan kasus serupa, kita akan sangat menyesal karena ada kecenderungan MA sangat tidak adil dan terkesan menebang pilih. Lihat, Ket San yang dilepaskan oleh MA karena menilai kasus yang mebelitnya adalah rekayasa polisi. Kala itu, Ket San dituduh polisi memiliki dua pil ekstasi saat ditangkap di Jalan Raya Sebangkau No. 7, Kecamatan Selakau, Sambas, Kalimantan Barat, pada 20 Juni 2009. Oleh Pengadilan Negeri (PN) Sambas dan Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak, Ket San dihukum 4 tahun penjara. Vonis ini kemudian dianulir MA karena ternyata hal itu hanya rekayasa polisi belaka.

Setelah yakin hanya terjebak pada rekayasa belaka, akhirnya, Ket San tidak tinggal diam. Dia merasa dirugikan dengan perbuatan polisi yang telah menyiksa dan memerasnya Rp 100 juta. Ket San pun melayangkan gugatan ke Kapolri, Kapolda Kalimantan Barat, dan Kapolres Sambas pada 26 Oktober 2010. Ket San menggugat ketiga petinggi polisi tersebut sebesar Rp 381 juta untuk kerugian imateril dan Rp 1 miliar untuk kerugian imaterial. Akan tetapi, Ket San bukanlah Syarifuddin. Ket San bukan mantan hakim. Dia hanya masyarakat sipil biasa yang tidak mempunyai jabatan struktural di birokrasi. Karena itu, segala gugatannya tidak dikabulkan MA. Bahkan di tingkat pertama, gugatannya tidak direspons sehingga Ket San terpaksa gigit jari sampai di tingkat banding.

Alasannya sederhana dan memang sangat yuridis, yaitu bahwa tindakan penyidik menangkap, menyidik, dan menahan yang diduga menyalahgunakan psikotropika merupakan tugas penyidikan dan tindakan ini merupakan hak wewenang yang diberikan KUHAP pasal 7 dan pasal 20 tentang penahanan dan pasal 21 serta ayat 4 yang semuanya itu dilakukan guna kepentingan pemeriksaan terhadap terdakwa serta saksi maupun bukti lain. Akhirnya, Ket San rugi secara tumpang tindih. Sudahlah disiksa polisi, gugatannya untuk mengembalikan wibawanya yang merupakan haknya justru tidak dikabulkan.

Padahal, jika mengacu pada hukuman yang ditimpakan MA kepada KPK, harusnya kepolisian, khususnya yang berkaitan dengan kasus Ket San juga harus ditindak dan dituntut sama untuk membayar ganti rugi layaknya KPK yang harus membayar ganti rugi. Bahkan lebih karena pada dasaranya Ket San tidak bersalah. Beda dengan Syarifuddin yang benar-benar korupsi. Bahkan, jika ingin menimbulkan efek jera terutama karena tidak memberi teladan, Hakim Syarifuddin malah bisa diganjar dengan hukuman lebih. Alasannya sederhana, Syarifuddin adalah seorang hakim dan wakil Tuhan yang mestinya menangani perkara dengan berkeadilan. Nah, karena dia wakil Tuhan yang membelot, mestinya secara etis pengadilan harus mempersempit daya jangkaunya terhadap hukum. Tetapi memang, pola pengadilan dan hukum kita masih sangat tradisional sehingga hukum hanya akan benar-benar tajam bagi mereka yang miskin dan akan tumpul bagi mereka yang mempunyai jaringan di pemerintahan
Masih Bisa Ditoleransi

Akan halnya hukuman MA kepada KPK ini pun harus benar-benar menjadi bahan evaluasi kepada KPK supaya lebih teliti dalam menyidik. Hanya yang kita khawatirkan kemudian adalah jika pada akhirnya KPK menjadi terkesan sangat teliti. Yakinlah, sikap terlalu teliti akan bermuara pada rasa segan menangkap mereka yang terduga korupsi. Jika hal ini kemudian yang terjadi, saya curiga daya gencar KPK untuk membasmi para koruptor yang semakin masif akan mengalami jalan buntu. Nah, kalau ini yang terjadi, yakinlah, koruptor di negeri ini akan makin berkeliaran.

Jujur, kita tidak dapat menyalahkan MA jika memang KPK benar-benar bersalah. Hanya saja, kesalahan KPK masih bisa ditoleransi. Kesalahan KPK hanya pada prosedur, bukan salah tangkap dan rekayasa seperti Polisi terhadap Ket San. Artinya, KPK memang menangkap orang benar, yaitu Syarifuddin yang benar-benar korupsi. Akan menjadi beda, misalnya, jika KPK menangkap orang yang salah. Lagipula, apakah tidak bisa disamakan bahwa KPK juga berhak menyidik barang-barang yang dapat diduga layaknya psikotropika yang menjerat Ket San?

Bagaimanapun, kita apresiasi langkah MA menghukum KPK. Hanya yang kita harapkan kemudian semoga kekhawatiran kita kepada KPK yang akan terlalu berhati-hati menangkap terduga koruptor tidak benar-benar terjadi. Selain itu, kita pun berharap supaya langkah serupa yang dilakukan Hakim Syarifuddin yang terhormat tidak diikuti oleh koruptor lain. Kalau ini yang terjadi dan MA lagi-lagi prokoruptor dan menghukum KPK, maka ini merupakan salah satu langkah mundur besar bagi kita dalam memberantas korupsi. Mestinya, akan lebih bijak jika MA hanya memberi koreksi kepada KPK, bukan hukuman yang membebani. Sekali lagi, kita khawatir kalau langkah serupa akan diikuti oleh semua koruptor.

(Oleh : Riduan Situmorang) Penulis konselor pendidikan di Prosus Inten Medan

0 comments: