Memaknai Puasa
Oleh: Riduan Situmorang
Secara harafiah dirunut dari KBBI, puasa itu adalah menghindari makan
dan minum secara sengaja dan tentu ihwal menghindari itu adalah sebuah
kesengajaan dan kesadaran untuk menolak musuh terbesar: hawa nafsu.
Karena itu, berpuasa atau berpantang secara tidak langsung sebenarnya
menjadi ajang pembuktian diri.
Berpuasa juga menjadi alat untuk mengartikulasikan eksistensi
keutamaan manusia berikut predikatnya sebagai mahluk Tuhan yang paling
luhur. Jadi, pada hakikatnya, puasa itu tidak mendiskreditkan cobaan,
bahkan pada tataran ideal,
puasa itu harus dibarengi dengan berbagai cobaan sebagai ujian apakah
manusia itu lulus dalam berpuasa atau tidak. Hanya saja di negeri ini,
kita sering kali menisbikan berbagai unit wujud cobaan. Padahal, puasa
adalah tentang bagaimana kita menolak cobaan, bukan meniadakan cobaan.
Akhirnya, marak kita temukan sekelompok orang yang menyisir berbagai
tempat pemaksiatan seperti narkoba dan prostitusi. Tidak ada yang salah
dengan tindakan itu. Hanya saja, tindakan itu sangat tidak elok karena
hanya dilakukan pada masa puasa. Artinya, tindakan itu dilakukan untuk
menghilangkan cobaan, bukan menghadapi cobaan.
Memang, di satu sisi, kita geli melihat negeri ini.
Kita begitu mengharamkan narkoba sehingga pemerintah menutup akses
perdagangan narkoba. Pemerintah juga menyiapkan berbagai sanksi tegas
bagi orang-orang yang terlibat pada narkoba baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tapi anehnya, di negeri yang bukan liberal
ini, narkoba sepertinya bebas dan bukan lagi menjadi barang haram dan
langka. Marak ditemukan oknum-oknum tertentu yang menjadi pengonsumsi
bahkan pengedar barang tersebut. Logikanya kalau ada pengedar dan
pengonsumsi, berarti barang langka itu masih ada di pasaran.
Hanya Tutup Bulan Puasa
Beda halnya dengan negara-negara maju seperti Amerika
dan Eropa. Baik negara Eropa maupun AS tidak terlalu alergi terhadap
narkoba, tetapi pemakaiannya begitu terkontrol pada dunia medis dan
akademis. Kita menjadi perlu bertanya, apakah negeri ini memang menganut
paham liberal atau hanya memakai seragam Pancasila saja? Perhatikan,
misalnya, pemerintah kita selalu saja gencar menangkap semua orang yang
terkait dengan alur ekonomis narkoba, tetapi kita begitu menyayangkan
kelengahan pemerintah karena ada juga orang yang sudah dipenjarakan
malah mengonsumsi narkoba, bahkan mengedarkannya dari balik jeruji.
Kita kembali pada ihwal puasa tadi, apalagi dalam satu bulan lebih ini, kaum
Muslim akan memulai pergumulan mereka dengan puasa. Masih teringat
jelas di benak saya ketika tahun lalu Munarman, sekretaris FPI (Front
Pembela Islam), menyiram segelas teh manis ke wajah Thamrin, seorang
sosiolog UI, pada acara live TVOne.
Awal tragedi memalukan itu karena ketidasepahaman mereka perihal sweeping
terhadap lokasi-lokasi yang dapat mengacaukan ibadah puasa.
Ketidaksepahaman kala itu adalah karena menurut Munarman menyisir
tempat-tempat hiburan malam dan sejenisnya oleh sekelompok orang menjadi hal yang legal.
Di sisi lain, Thamrin berpandangan bahwa yang berhak yang menyisirnya
adalah polisi. Saya berpandangan, langkah Munarman sebenarnya sangat
baik. Hanya saja hal itu sangat disayangkan. Disayangkan tidak saja
karena sudah melangkahi tugas polisi, tetapi juga karena kita meminta
lokasi-lokasi haram tersebut ditutup hanya pada bulan puasa. Saya
memandang, ini adalah langkah menghilangkan cobaan. Menurut saya, akan
menjadi lebih elok kalau memang harus ditutup, iya, ditutup saja
sepanjang tahun, jangan hanya pada masa puasa.
Tetapi, terlepas dari pergunjingan dan perdebatan itu, mari
kita mempelajari kembali tentang bagaimana dan apa sebenarnya hakikat
puasa itu. Puasa itu sejatinya adalah sebuah kompetisi untuk memenangi
setiap pergulatan di tengah cobaan.
Menaklukkan, Bukan Menghilangkan
Di sisi lain, puasa itu sejatinya adalah pembelajaran. Pembelajaran
bahwa kita harus sadar bahwa negeri ini majemuk. Karena majemuk, pasti
tidak semua orang melakukan puasa. Artinya, orang yang tidak berpuasa
harus menghormati orang yang berpuasa, dan, orang yang berpuasa pun
harus menghormati orang yang tidak berpuasa. Yakinlah, wujud
penghormatan seperti ini juga nama lain dari puasa.
Akhirnya, puasa itu hanya akan menemukan definisi terbaiknya manakala
puasa itu tidak menisbikan cobaan. Saya tidak sedang mengatakan, ayo,
tambahkan cobaan. Hanya, mari hadapi cobaan itu dengan senang dan dengan
keteguhan hati. Silakan tempat hiburan tetap ada dengan syarat kita
yang puasa jangan pergi ke sana. Silakan tempat hiburan yang banjir
dengan miras ditutup, tetapi jangan ditutup hanya ketika bulan-bulan
puasa.
Harus dicatat, penulis tidak menyarankan pemerintah melegitimasi
keberadaan tempat-tempat maksiat. Penulis juga tidak menyarankan supaya
kita memiliki sikap permisif terhadap berbagai hal yang dapat
menumbuhkan benih dosa. Tetapi jauh pada hakikat saran itu, penulis
berpandangan bahwa hidup ini akan selalu menghadapi cobaan. Kita tidak
akan pernah menghilangkan cobaan. Yang bisa kita antisipasi adalah
kemampuan kita untuk menaklukkan semua cobaan.
Bahkan, pemerintah sendiri yang bercokol dan yang menjadi mutan-mutan
iblis birokrat dengan berbagai tanduk-tanduk iblisnya adalah cobaan
yang harus kita taklukkan. Siapa yang tahu, Pilpres sekarang pun
merupakan cobaan. Apakah kita akan memilih karena faktor subjektif, karena sama partai, atau karena bayaran?
Singkatnya, mari berpuasa dan menemukan definisi terbaik dari puasa
itu sendiri! Yang pasti, definisi terbaik puasa itu adalah menaklukkan
berbagai cobaan, bukan menghilangkan cobaan. Selamat berpuasa! ***
Penulis staf pengajar Bahasa Indonesia
dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KMK St.
Martinus Unimed, aktif di KDM (Kelompok Diskusi Menulis) St. Martinus
Unimed, aktif di Teater KMK Unimed, Redaktur Majalah Riuk Unimed.
0 comments:
Post a Comment