Sunday, 15 June 2014

Tetap Memilih Media Cetak


Tetap Memilih Media Cetak
Oleh Riduan Situmorang
Saat ini, informasi seakan menjadi Tuhan. Hal itu dapat kita lihat dari lahapnya manusia untuk mengonsumsi berita-berita, terlepas berita tersebut bersifat edukatif atau malah menjerumuskan. Lalu, untuk memenuhi kebutuhan informasi tersebut, beragam media mulai bermunculan, mulai dari media cetak, televisi, dan terakhir media on line. Beragam cara yang mereka tawarkan untuk menjaring konsumen. Dan, di sinilah awal masalah itu mulai timbul. Demi keinginan—catat, keinginan dan bukan kebutuhan—para awak media memboomingkan kecepatan. Banyak media mengaku sebagai yang terdepan, tercepat, yang lalu sering kedodoran pada kualitas berita yang disajikan. Sebutlah dari segi buruknya bahasa karena mengangkangi kaidah kebahasaan, juga kurang mendalamnya analisis sehingga semua berita dianggap sah untuk ditayangkan tanpa ada sensor.
Tanpa menghakimi mereka yang menyebut sebagai yang terdepan, kita juga dirasa sangat perlu untuk mengevaluasi “definisi” kecepatan, apalagi keakuratan. Seringkali karena dalih kecepatan yang konon menjadi nabi pengantar dari informasi yang berkedudukan sebagai Tuhan, berita yang disampaikan menjadi terkesan mengambang. Ironisnya, berita terdepan inilah yang sering diburu para penikmat informasi. Akhirnya, banyak orang menjadi tersesat karena lebih memilih informasi terdepan.
Menjadi Tumbal Kecepatan
Media on line—cenderung masuk pada kategori informasi tercepat—memang harus kita syukuri sebagai anugerah karena melalui media on line ini, batasan geografis yang dulu begitu menyulitkan nenek moyang tidak lagi menyulitkan kita. Dengan gampang, kita dapat langsung mengetahui Sukardi tewas dalam tugas, toko emas digasak, anak Ahmad Dhani menabrak orang-orang tak berdosa, serta sederet berita lainnya tanpa harus menunggu waktu yang lebih lama. Hanya saja, seringkali karena dalih kecepatan ini, aspek-aspek yang lebih substansial serta aturan-aturan yang mengikutinya dicopot tanpa sengaja—atau mungkin sengaja, mungkin juga karena tidak diketahui.
Selain itu, hadirnya media on line juga menjadi ancaman bagi media cetak yang kerap disebut sebagai media konvensional yang akurat. Banyak media cetak yang harus tumbang karena dunia on line, sebut saja Washington Post. Artinya, sering kali kita menumbalkan barang-barang bagus hanya karena alasan kecepatan.
Pada saat ini, penulis tidak sedang menguber keberadaan media on line, apalagi mengutuknya. Memang media on line saat ini sangat merakyat. Merakyat artinya karena dengan media on line, semua orang dapat mengonsumsi berita tanpa harus merogoh kocek untuk membeli koran, majalah, tabloid, serta sederet media cetak lainnya. Media on line—selain membonceng kecepatan—juga pada umumnya membonceng isu-isu berita menyesatkan karena tidak terlalu memerhatikan pengeditan. Bahkan, seringkali berita-berita yang dimuat di media on line tidak layak disebut sebagai berita, malah condong pada imaji-imaji negatif. Imaji itu kemudian dikemas menjadi berita yang propokatif. Tidak jarang pula, media on line itu malah menyulut perpecahan, peperangan, dan terorisme. Lihat, hampir segala hal terdapat dalam media on line, termasuk video-video maksiat, ramalan-ramalan, cara merakit bom, cara kerja teroris, cara membuat senapan, berita-berita sensitif seperti mobilisasi pindah agama yang seringkali mengejek dan menghina agama lainnya. Memang, hal-hal negatif tersebut adalah sebuah peristiwa—atau katakanlah calon-calon peristiwa karena masih ada pada tataran ide dan imajinasi—tapi, bukankah setiap peristiwa ada yang tidak pantas untuk diberitakan?
Kalau media on line umumnya condong pada kecepatan yang mendiskreditkan keakuratan, media cetak tergolong sangat selektif dan benar-benar memilih berita yang layak untuk diberitakan karena media cetak sangat terbatas pada jumlah halaman dan kolom-kolomnya. Akan tetapi, faktor keterbatasan berita media cetak di sini bukan menjadi aspek kelemahan. Justru, keterbatasan berita ini menjadi keunggulan karena berita yang diangkat sudah benar-benar melewati meja redaksi. Pemilihan kata-katan serta penerapan kaidah kebahasaan juga sudah lebih baik daripada media on line yang terlalu mengutamakan citizen journalism. Hanya saja, media cetak tidak bisa menawarkan kecepatan karena harus menunggu sampai berita tersebut diedit, dicetak, kemudian terakhir sampai ke tangan kita melalui agen pengantar koran.
UU yang Tegas
Begitupun, media cetak  sejatinya harus menjadi pilihan kita. Kita tidak ingin media on line lenyap. Pada saat yang sama, kita juga mestinya sangat tidak ingin media cetak terkapar seperti media cetak yang akhir-akhir ini di AS dan Jerman terpaksa tutup karena para konsumen begitu cepat beralih ke media on line. Kita harus sadar bahwa media cetak datang dengan berita-berita selektif, sementara media on line datang dengan isu kecepatan. Dan, kalau akhirnya konsumen harus lebih memilih media on line, kita sangat mengharapkan ada UU yang jelas serta tegas untuk mengatur media on line. Bila perlu dan memang sangat perlu, pemerintah harus mengemas UU yang tegas dan tidak fleksibel. Artinya, segala kesalahan berita—termasuk dari segi substansi berita maupun kaidah berbahasa—harus diganjar. Hal ini sangat perlu karena dengan perlakuan seperti ini media on line menjadi lebih baik. Tidak lagi asal-asalan, apalagi sampai harus menabrak isu-isu perpecahan, kemaksiatan, dan ketidakjelasan. Media on line harus digembleng.
Pemerintah juga tidak boleh sebatas tegas, melainkan juga harus ikut mengawal isi-isi berita. Manakala isi berita sangat bertentangan dan menabrak nilai-nilai humanitas, sesegera mungkin pemerintah harus menindak tegas yang lalu memblokirnya. Sebab, seringkali media-media on line menjadi media tersembunyi bagi para teroris dan bandar narkoba. Oleh karena itu, pemerintah harus jeli melihat perkembangan media on line serta membatasinya dengan seabrek aturan substansi berita yang ideal dan edukatif serta pengharusan penerapan kaidah berbahasa yang benar. Memang, dari lubuk hati paling dalam, kita menginginkan media cetak lebih bergengsi, setidaknya—baik media cetak maupun media on line—dapat berjalan beriringan. Tidak saling menggilas. Dan, kita masih mengharapkan kejayaan media cetak masih mengawal perkembangan zaman, tidak malah didiskualifikasi zaman. Mudah-mudahan media cetak masih jaya dan masih tetap menjadi sebuah pilihan. 

0 comments: