Tetap
Memilih Media Cetak
Oleh
Riduan Situmorang
Saat ini, informasi
seakan menjadi Tuhan. Hal itu dapat kita lihat dari lahapnya manusia untuk
mengonsumsi berita-berita, terlepas berita tersebut bersifat edukatif atau
malah menjerumuskan. Lalu, untuk memenuhi kebutuhan informasi tersebut, beragam
media mulai bermunculan, mulai dari media cetak, televisi, dan terakhir media on line. Beragam cara yang mereka
tawarkan untuk menjaring konsumen. Dan, di sinilah awal masalah itu mulai
timbul. Demi keinginan—catat, keinginan dan bukan kebutuhan—para awak media memboomingkan kecepatan. Banyak media
mengaku sebagai yang terdepan, tercepat, yang lalu sering kedodoran pada
kualitas berita yang disajikan. Sebutlah dari segi buruknya bahasa karena
mengangkangi kaidah kebahasaan, juga kurang mendalamnya analisis sehingga semua
berita dianggap sah untuk ditayangkan tanpa ada sensor.
Tanpa menghakimi
mereka yang menyebut sebagai yang terdepan, kita juga dirasa sangat perlu untuk
mengevaluasi “definisi” kecepatan, apalagi keakuratan. Seringkali karena dalih kecepatan
yang konon menjadi nabi pengantar dari informasi yang berkedudukan sebagai
Tuhan, berita yang disampaikan menjadi terkesan mengambang. Ironisnya, berita
terdepan inilah yang sering diburu para penikmat informasi. Akhirnya, banyak
orang menjadi tersesat karena lebih memilih informasi terdepan.
Menjadi Tumbal Kecepatan
Media on line—cenderung masuk pada kategori
informasi tercepat—memang harus kita syukuri sebagai anugerah karena melalui
media on line ini, batasan geografis
yang dulu begitu menyulitkan nenek moyang tidak lagi menyulitkan kita. Dengan
gampang, kita dapat langsung mengetahui Sukardi tewas dalam tugas, toko emas
digasak, anak Ahmad Dhani menabrak orang-orang tak berdosa, serta sederet
berita lainnya tanpa harus menunggu waktu yang lebih lama. Hanya saja,
seringkali karena dalih kecepatan ini, aspek-aspek yang lebih substansial serta
aturan-aturan yang mengikutinya dicopot tanpa sengaja—atau mungkin sengaja,
mungkin juga karena tidak diketahui.
Selain itu, hadirnya
media on line juga menjadi ancaman
bagi media cetak yang kerap disebut sebagai media konvensional yang akurat. Banyak
media cetak yang harus tumbang karena dunia on
line, sebut saja Washington Post. Artinya,
sering kali kita menumbalkan barang-barang bagus hanya karena alasan kecepatan.
Pada saat ini, penulis
tidak sedang menguber keberadaan media on
line, apalagi mengutuknya. Memang media on
line saat ini sangat merakyat. Merakyat artinya karena dengan media on line, semua orang dapat mengonsumsi
berita tanpa harus merogoh kocek untuk membeli koran, majalah, tabloid, serta
sederet media cetak lainnya. Media on
line—selain membonceng kecepatan—juga pada umumnya membonceng isu-isu
berita menyesatkan karena tidak terlalu memerhatikan pengeditan. Bahkan,
seringkali berita-berita yang dimuat di media on line tidak layak disebut sebagai berita, malah condong pada
imaji-imaji negatif. Imaji itu kemudian dikemas menjadi berita yang propokatif.
Tidak jarang pula, media on line itu
malah menyulut perpecahan, peperangan, dan terorisme. Lihat, hampir segala hal
terdapat dalam media on line, termasuk
video-video maksiat, ramalan-ramalan, cara merakit bom, cara kerja teroris,
cara membuat senapan, berita-berita sensitif seperti mobilisasi pindah agama
yang seringkali mengejek dan menghina agama lainnya. Memang, hal-hal negatif
tersebut adalah sebuah peristiwa—atau katakanlah calon-calon peristiwa karena
masih ada pada tataran ide dan imajinasi—tapi, bukankah setiap peristiwa ada
yang tidak pantas untuk diberitakan?
Kalau media on line umumnya condong pada kecepatan
yang mendiskreditkan keakuratan, media cetak tergolong sangat selektif dan
benar-benar memilih berita yang layak untuk diberitakan karena media cetak
sangat terbatas pada jumlah halaman dan kolom-kolomnya. Akan tetapi, faktor
keterbatasan berita media cetak di sini bukan menjadi aspek kelemahan. Justru,
keterbatasan berita ini menjadi keunggulan karena berita yang diangkat sudah
benar-benar melewati meja redaksi. Pemilihan kata-katan serta penerapan kaidah
kebahasaan juga sudah lebih baik daripada media on line yang terlalu mengutamakan citizen journalism. Hanya saja, media cetak tidak bisa menawarkan
kecepatan karena harus menunggu sampai berita tersebut diedit, dicetak,
kemudian terakhir sampai ke tangan kita melalui agen pengantar koran.
UU yang Tegas
Begitupun, media
cetak sejatinya harus menjadi pilihan
kita. Kita tidak ingin media on line lenyap.
Pada saat yang sama, kita juga mestinya sangat tidak ingin media cetak terkapar
seperti media cetak yang akhir-akhir ini di AS dan Jerman terpaksa tutup karena
para konsumen begitu cepat beralih ke media on
line. Kita harus sadar bahwa media cetak datang dengan berita-berita
selektif, sementara media on line datang
dengan isu kecepatan. Dan, kalau akhirnya konsumen harus lebih memilih media on line, kita sangat mengharapkan ada UU
yang jelas serta tegas untuk mengatur media on
line. Bila perlu dan memang sangat perlu, pemerintah harus mengemas UU yang
tegas dan tidak fleksibel. Artinya, segala kesalahan berita—termasuk dari segi
substansi berita maupun kaidah berbahasa—harus diganjar. Hal ini sangat perlu
karena dengan perlakuan seperti ini media on
line menjadi lebih baik. Tidak lagi asal-asalan, apalagi sampai harus
menabrak isu-isu perpecahan, kemaksiatan, dan ketidakjelasan. Media on line harus digembleng.
Pemerintah juga tidak
boleh sebatas tegas, melainkan juga harus ikut mengawal isi-isi berita.
Manakala isi berita sangat bertentangan dan menabrak nilai-nilai humanitas,
sesegera mungkin pemerintah harus menindak tegas yang lalu memblokirnya. Sebab,
seringkali media-media on line menjadi
media tersembunyi bagi para teroris dan bandar narkoba. Oleh karena itu,
pemerintah harus jeli melihat perkembangan media on line serta membatasinya dengan seabrek aturan substansi berita
yang ideal dan edukatif serta pengharusan penerapan kaidah berbahasa yang
benar. Memang, dari lubuk hati paling dalam, kita menginginkan media cetak
lebih bergengsi, setidaknya—baik media cetak maupun media on line—dapat berjalan beriringan. Tidak saling menggilas. Dan,
kita masih mengharapkan kejayaan media cetak masih mengawal perkembangan zaman,
tidak malah didiskualifikasi zaman. Mudah-mudahan media cetak masih jaya dan
masih tetap menjadi sebuah pilihan.
0 comments:
Post a Comment