Politik Balas Budi
Oleh: Riduan Situmorang
Menurut saya, karakter yang membuat Indonesia
tetap terpuruk adalah karakter yang enggan untuk mengungkap bahkan
membeberkan masalah. Selain itu, Indonesia juga terlalu terkungkung pada
perasaan berutang manakala mereka pernah ditolong oleh seseorang.
Alhasil, ketika di negeri ini sudah jelas-jelas ada gejala penyelewengan
kekuasaan seperti korupsi, kita masih saja tetap sibuk mencari-cari
bukti. Pada saat yang tidak kita duga-saat pemerintah mencari
bukti-berita korupsi tadi malah tertelan berita lainnya. Pada akhirnya,
berita semula menjadi tertutupi dan tidak dikupas secara mendalam
sehingga masalah korupsi yang sebenarnya sudah terdeteksi sejak awal
kembali tidak ditangani.
Nah, penyakit yang lebih mengenaskan adalah sifat Indonesia yang
selalu berutang, tepatnya berutang budi. Memang, pada prinsipnya utang
harus dibayar dengan persyaratan ukuran kualitas dan kuantitas harus
sama. Misalnya, kalau saya meminjam uang kepada Anda sebanyak
Rp5.000,00, saya paling tidak harus membayarkan Rp5.000,00 kepada Anda.
Kalau Anda mematok bunga, saya bahkan harus membayar lebih dari
Rp5.000,00. Akan tetapi, jika Anda berbaik hati dengan merelakan uang
tadi sebagai sumbangan, saya merasa tidak wajib untuk membayarnya.
Hanya saja, tanpa saya sadari, ternyata kebaikan
Anda itu di kemudian hari bisa menjadi bumerang. Memang, Anda tidak
akan menagihnya. Akan tetapi, saya yang menerima kebaikan Anda akan
merasa berutang, tepatnya berutang budi. Nah, apakah utang budi wajib
dibayar?
Jujur saja, sebelum membaca kamus, saya menduga bahwa utang budi itu
adalah sumbangan yang tidak harus dibalas. Akan tetapi, daripada didera
rasa penasaran, saya akhirnya membuka kamus. Saya kemudian menjadi
sangat terkejut. Betapa tidak, utang budi yang selama ini saya anggap sebagai keikhlasan ternyata malah jauh dari kata ikhlas. Tidak percaya? Baca pengertian utang budi berikut!
Dalam KBBI, utang budi adalah mendapat kebaikan hati dari orang lain
dan wajib dibalas? Sampai di sini, apakah Anda masih mau berutang budi?
Jujur, kalau utang budi wajib dibalas, menurut saya, hal itu bukanlah
sebuah kebaikan. Alih-alih bantuan, apalagi kebaikan, hal itu malah akan
membuat kita menjadi sapi perah. Kita tentunya akan merasa tersiksa
karena kita akan selalu kepikiran untuk membayarnya di kemudian hari.
Dampaknya jelas, ketika si pemberi utang budi itu melakukan
kesalahan, pasti kita yang menerima kebaikan atau utang budi tadi tidak
akan kuasa untuk membeberkannya. Yang ada, kita malah akan
menutup-nutupi kesalahan sehingga masalah itu tetap abadi dan tidak
terselesaikan. Yang lebih menyedihkan lagi, kita tentunya senantiasa
akan berada pada bayang-bayang sehingga ketika pemberi kebaikan tadi
menyuruh kita, kita seakan selalu diwajibkan untuk menurutinya. Tanpa
kita sadari, melalui kebaikan tadi, kita malah ditransformasi menjadi
budak. Akhirnya jelas, utang budi memang dibawa mati.
Saling Menutupi
Yakinlah, pemahaman seperti inilah yang membuat penyakit kronis seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri
ini tetap terawat. Gejalanya jelas! Pada kasus korupsi, misalnya, sudah
barang tentu uang hasil korupsi itu tidak seratus persen utuh untuk
koruptor. Pasti ada jatahnya. Sekian persen untuk perantara, sekian
persen untuk pemberi jalan, dan sekian persen untuk yang lainnya. Ada
pula yang tidak bekerja malah menerima hasil uang korupsi tadi. Mungkin,
pada posisi ini, kedudukan mereka ada pada sebagai penerima utang
budi.
Nah, ketika, misalnya, KPK secara kebetulan mencium gelagat buruk,
orang-orang yang ada pada lingkaran korupsi tadi malah berdiam dan tidak
memberi tahu. Ketika salah satu dari mereka dipanggil menjadi saksi
aktor utama koruptor, mereka pun saling menyembunyikan. Padahal, mereka
sebenarnya tahu, tetapi seperti tadi, Indonesia memang berkarakter tidak
mau membeberkan masalah, belum lagi karena mereka sudah dililit utang
budi yang harus dibalas, dibawa, dan hampir tidak dapat dilunasi hingga
ajal menjemput. Bukankah utang budi dibawa mati?
Memang, sebaiknya, utang budi mestinya tidak harus, apalagi wajib
dibalas. Hal itu akan membuat penyakit klasik kita akan tetap terawat.
Kalau tidak, setidaknya, jangan karena utang budi ini, kita yang
berutang menjadi merasa wajib untuk melayani pemberi utang budi. Jangan
pula karena utang budi ini, kita malah tidak berhak untuk melawan karena
kita bukan sapi perah. Yakinlah, politik balas budi ini akan selalu menyesatkan! ***
* Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia
di Prosus Inten Medan, Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif
di KDM-KMK St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis)
0 comments:
Post a Comment